Hari Ketujuh, Senin - 3

37 11 1
                                    

—Fadila

Kelas sudah kosong ketika kami kembali. Waktu pelajaran olahraga. Si Cebol mengumpat, pergi ke toilet sambil marah-marah buat ganti pakaian. Aku menunggunya di kelas—jangankan baju ganti, tas saja aku tak bawa.

Sambil menunggu, aku jelalatan ke sekeliling. Kutemukan angka satuku di mejaku sendiri, ditoreh menembus pelitur, besarnya tak lebih dari tulisan normal. Apa yang bakal terjadi sekarang? Aku tak tahu. Cuma gertakan? Atau betulan ancaman? Lagi, aku tak tahu. Aku tak takut, tapinya. Si Cebol bilang ini bukan ulah hantu tapi manusia. Manusia bisa aku hajar.

Tak lama kemudian, kami pergi ke lapangan. Kudapati Hamster yang sedang celingukan di dekat tiang basket. Wajahnya polos dan bersih dari segala dosa. Ingin rasanya aku berteriak buat memperingatinya, tapi si Cebol mendahuluiku.

"Iqla! Sini!" serunya.

Hamster mengangguk riang, berlari-lari kecil, tak tahu apa yang sedang menunggunya. "Ada apa, Zaki?" Dia tak memanggil saudaranya Cebol atau bahkan Ki, tapi Zaki—kedengaran mesra betul.

"Temenin bentar." Si Cebol meraih tangan Hamster, yang disambut oleh sang gadis tanpa keberatan. Sambil bergandengan, pasangan itu pergi ke belakang gudang. Terdengar suara jeritan.

Aku diam di tempat, keringat dingin membasahi pelipis. Lima menit kemudian, si Cebol kembali sambil menepuk-nepuk tangan. Hamster menyusul belakangan, lengan menggosok mata, bahu sesenggukkan.

Buru-buru aku menghampiri Hamster dan memeluknya. Hal keparat apa yang si Cebol lakukan pada saudarinya ini? Aku tak berani membayangkan. Yang jelas pasti tak bermoral. Nah, ini salah aku juga, sih—sesumbar bahwa dialah orang yang cerita hubungan asli Raisa dan Cebol.

"Terus?" tanya si Cebol galak. Hamster memekik dan sembunyi di belakangku. "Kenapa si Zulfa bisa jadi naksir gue?"

"Di hari pembagian rapot, Raisa mau nembak lo lagi, kan?" jelasku. "Itu kesempatan terakhir dia. Raisa bilang soal ini ke Zulfa. Zulfa gak suka. Mereka marahan. Kenapa bisa begitu? Jawab: dia juga naksir lo."

"Ngaco."

"Di hari H, Zulfa ajak Raisa ke air terjun. Mereka cekcok ributin lo. Raisa, yang waktu itu sakit, keok dan akhirnya kedorong jatuh."

"Makin ngaco."

"Ini juga jelasin kenapa Zulfa panik waktu gue gali bekas makam Raisa. Sebab dia pelakunya!"

Si Cebol melepas kacamatanya dan pijat pangkal hidung. "Saudara Buntut Kuda yang budiman, asal Bung tahu saja, jangankan dekat, si Zulfa sama gue ngomong aja kagak pernah."

"Cinta menolak logika."

"Cinta tai anjing. Gue pinter, oke? Gue akuin. Gue stabil, gue bisa diandelin, gue baik sama yang gue sayang. Tapi apakah gue ganteng? Heloooo! Perkenalin gue cowok 147 senti. Gak ada cewek normal yang rebutin gue."

"Cinta itu buta."

"Udah menolak logika, buta pula. Gak guna. Lagian gue jatuhnya ke cantik. Cewek gak suka gue; cewek iri sama gue."

"Cinta kadang lesbi."

"'Keh. Okeh. Kita tanyain langsung aja ke orangnya." Si Cebol merenggangkan badan. "Perhatiin bae-bae. Kalo sedikiiiit aja dia salting, lo bener."

"Eh?"

Dan dia pun lari ke arah Zulfa.

"Bent—woy! Yang waras aja!"

Si Cebol tak ragu. Tanpa tahu malu, dia memanggil Zulfa—yang menghampirinya dengan malas. Cebol buka mulut sambil menengadah, menyatakan cinta. Zulfa menampar wajahnya, lalu meludah tiga kali.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang