—Zaki
Hari itu, untuk yang pertama kali di bulan itu, aku berangkat ke sekolah. Matematika adalah mapel kedua, jadi tak ada alasan buat datang pagi-pagi. Mengayuh sepeda ontel kecintaanku—Phoenix—aku meluncur melewati gerbang SMA dan pergi ke parkiran.
Kutaruh sepedaku di samping Kawasaki Ninja 150 kepunyaan salah satu murid sultan. Agak lama aku menatapinya, sedikit merasa iri. Ada kemungkinan aku tak bakal pernah bisa pakai kendaraan macam itu—bukan sebab kemahalan, tapi sebab ketinggian. Kakiku tak sampai ke tanah.
Tak ada orang di sekitar. Pelajaran sudah dimulai. Aku naik ke atas motor, coba menegakkannya dan ... hmm. Tak seburuk yang aku pikir. Kakiku masih sampai—cuma perlu jinjit. Mungkin aku masih bisa mengendarainya andai pakai sepatu bersol tebal.
"Ngapain kamu, Zaki?"
Aku menoleh, mendapati guru wali kelasku—Bu Ilma—menonton di pinggir parkiran. "Keren, gak, Bu?"
Bu Ilma mengernyit, raut wajah khawatir. "Kamu masih kelewat kecil buat naik motor, Zaki."
"Kecil ukuran? Kecil umur?"
"Eeh ... umur." Bu Ilma jalan menghampiri. Caranya melangkah macam ABG—setengah lari, setengah melompat. Ralat. Bukan ABG. Bocil. "Ulangan MTK, kan? Mapel kedua udah mau mulai."
"Kalem. Ulangan mah sepuluh menit juga beres."
Bu Ilma manyun. Sejenak, dia mengingatkanku pada Iqla. "Gak sopan sama Bu Winri, Zaki."
Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. Bu Ilma adalah satu-satunya guru yang masih benar-benar aku hormati. Secara intelektual, mungkin kami tak berbeda jauh, tapi Bu Ilma lebih dewasa dariku. Jangan tertipu prilakunya.
"Kenapa kamu gak datang tiap hari aja? Kayak anak-anak lain? Jangan pas ulangan doang." Kedua alis Bu Ilma naik penuh harap.
"Bu, jujur ke saya."
"Hmm?"
"Menurut Ibu, pembelajaran di sekolah efektif, gak, sih?"
Berdasarkan pengalamanku, buku untuk satu semester bisa kau pelajari dalam tiga hari—paling banter enam, kalau kau pemalas. Katakanlah ada enam belas mapel—enam belas kali enam: 96 hari (alias tiga bulan). Kau bisa memotong waktu belajarmu 50% dengan otodidak.
Tanyakan pada setiap guru, dan mereka akan bilang kalau sekolah itu tidak efisien. Mengajar 90 – 180 menit per minggu mana cukup untuk menyampaikan sebuah mapel secara lengkap. Makanya mereka selalu menekankan perkara belajar di rumah.
"Kamu bener." Bu Ilma meringis. "Tapi, Zaki? Sekolah bukan tempat belajar aja."
"Gimana?"
"Orang bilang sekolah itu tempat cari ilmu, jadi gak boleh main-main. Ibu, sih, gak setuju. Kamu bener—belajar lebih efektif kalo sendiri. Manfaat utama sekolah itu ada di akses sosialnya, buat cari pengalaman bermasyarakat sama bangun koneksi. Buat dewasain mental. Kalo kamu mau datang cuma buat main, datang aja."
Nah. Apa aku bilang. Dia dewasa. "Biar aku pikirin lagi." Aku turun dari motor dan jalan ke kelas. Bu Ilma membuntut.
"Kenapa, Bu?" Aku melepas topiku dan menyelipkannya di punggung celana.
"E-eeh ... ada yang pengen Ibu minta ke kamu ...."
"Soal si anak baru?"
"Kamu udah tau?"
"Iqla kasih tau." Aku menaikkan kacamataku. "Dia ngebacot soal anak kelas tiap hari. Padahal gak ada yang nanya."
"Zaki. Bahasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat yang Berjalan (ed. revisi)
Mystère / ThrillerRaisa Uktala mati, jatuh dari air terjun saat karya wisata sekolah. Bunuh diri? Dibunuh? Atau kecelakaan? Tak ada yang tahu. Mayat Raisa hilang ditelan arus sungai, menjadi misteri serupa kasusnya .... .... Sampai akhirnya, mayatnya berjalan. ***