—Fadila
Aku terbengong. Bu Ilma sudah keluar sejak tadi, meninggalkan Cebol sendirian bersamaku yang tersembunyi. Tak ada pembicaraan, tak ada suara. Dan di tengah-tengah keheningan itu, aku membantin, Si Cebol pelakunya!
Kok, bisa?
Siswa Baru pernah bilang kalau Cebol merupakan tersangka utama, tapi ... entah kenapa rasanya tidak nyata. Lagian buat apa Bu Ilma pake ikut-ikutan segala? Mungkinkah Raisa semacam pernah memergok si Cebol berbuat cabul dengan guru itu? Sebentar. Yang barusan itu tidak mustahil, bleh!
Entah kenapa aku mendadak jadi takut. Fadila Rahmah. Takut. Maksudku ... bagaimana cara aku keluar sekarang? Kalau si Cebol pelakunya, dia bakal membunuhku gara-gara menguping!
Gawat.
Gawat, bleh.
Haruskah aku membunuhnya duluan sebelum dia membunuhku? Bukannya mustahil—mudah, malah. Aku lebih kuat dari Cebol.
Lama aku berpikir. Pada akhirnya, aku keluar dari persembunyianku, berdiri dengan kepala menunduk dan tangan terjalin di depan perut—pose siswa yang sedang diomeli. "Zaki."
"...."
"G-gue gak sengaja nguping."
"...."
"Sori. Gue ... gue beneran gak sengaja! Sumpah!"
"...."
"Kita ... kita masih temen, kan?"
Tak ada jawaban. Untuk sesaat, aku takut buat mengangkat wajah. Aku takut ... ketika aku mendongak ... aku dapati Cebol yang sedang ambil kuda-kuda dengan pisau karambit di tangan. Oke. Aku akui yang barusan itu terlalu absurd, tapi tetap ngeri, bukan?
Alih-alih, aku menemukan Cebol yang sedang melotot. Bukan melotot marah—melotot melongo. Dia mirip orang yang kena ayan. Tak bakal jadi aneh kalau sekarang mulutnya mengeluarkan busa.
"Zaki?"
"Uh ... ah ...." Cebol mangap-mangap. "Nong—anjing. Nongol dari mana lo?"
Aku menunjuk ransel. Pinggirannya jebol gara-gara kena sikutku.
"'Gak sengaja' dengkulmu."
"Ta-tadi itu gue ngantuk. Masa iya, kan, gue molor di ranjang lo kayak Hamster? Gak senonoh! Zinah! Jadi ... jadi gue molor di ransel lo. Waktu gue bangun ... yah ... lo sama Bu Ilma lagi ngobrol."
"Lo lecehin IQ gue apa gimana?"
"Kita ... kita masih temen, kan? Gue gak peduli kalo lo penjahat! Sumpah! Gue bakal selalu nunggu lo dibebasin dari penjara—"
Zaki menangkup wajahnya.
"Zaki, jangan nangis."
"Kalopun gue mewek, gue gak bakal lakuin itu di depan manusia macem lo." Cebol menghela, lalu menepuk pinggiran ranjangnya. "Duduk sini. Gue kasih tau cerita lengkapnya."
Aku mundur, curiga. "Asal lo tau aja ... gue lebih kuat dari lo."
"Iya, iya, paham, Mbak Jagoan. Kapok gue ribut sama lo." Cebol melambaikan tangan di depan wajah. "Lagian lo gak percaya sama gue? Kita temen, kan?"
Jadi, aku pun duduk di sampingnya. "Lo beneran udah bunuh Raisa?"
"Bu Ilma bilang enggak ... tapi gue sama Zulfa pikir emang begitu. Gue yang bunuh dia." Cebol mundur, menyandarkan punggung di tumpukan bantal. "Kasusnya gak macem yang lo bayangin."
"Terus? Gimana?"
Cebol buka mulut, berpikir, lalu urung menjelaskan. "Kita latih sedikit otak lo biar agak enceran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat yang Berjalan (ed. revisi)
Mistério / SuspenseRaisa Uktala mati, jatuh dari air terjun saat karya wisata sekolah. Bunuh diri? Dibunuh? Atau kecelakaan? Tak ada yang tahu. Mayat Raisa hilang ditelan arus sungai, menjadi misteri serupa kasusnya .... .... Sampai akhirnya, mayatnya berjalan. ***