Hari Ketujuh, Senin - 4

32 10 0
                                    

—Zaki

Begitu sekolah bubar, kusuruh Iqla segera pulang naik Phoenix. Jika pelakunya memang ada di lingkungan kelas, maka sudah pasti dia sedang panik sekarang, mungkin bersiap melancarkan serangan balasan.

Aku sama sekali tak takut. Ada Buntut Kuda di sampingku. Kekerasan adalah bakat tidak terpendam miliknya. Sayang, Iqla lain kasus. Melindungi orang lain jauh lebih sulit ketimbang melindungi diri sendiri. Keamanan dia mesti terjamin dulu sebelum aku bisa bergerak bebas.

"Inget? Langsung pulang. Dan pake rute yang ini." Aku menyelipkan peta yang kugambar ke sakunya. "Begitu nyampe, SMS gue. Paham?"

Iqla mengangguk. "Kamu sendiri hati-hati, Zaki. Janji pulang selamet." Dia mengacungkan kelingkingnya.

"Gak ah. Tolol."

"Zaki."

Aku menghela napas dan berjanji kelingking dengan saudariku, macam yang biasa kami lakukan ketika masih suka mandi bersama. Rasanya memalukan sampai buat aku ingin mampus.

Aku dan Buntut Kuda pergi ke ujung kompleks kelas. Ada bangunan dua lantai di sana, bekas laboratorium yang kini direnovasi sebagai ruangan ekskul. Benteng sekolah berdiri tepat di belakangnya. Seharusnya, ada lubang sebesar kepala Iqla di situ—aku ingat pernah memaksa si gadis masuk ke sana dalam rangka mencari jalur minggat, yang mana berakhir heboh sebab kepalanya malah tersangkut.

"Udah berserak rumput juga," Buntut Kuda mengerang protes, tapi tetap kasak-kusuk buat bantu mencari. Dia menemukan lokasinya dalam sekejap—naluri pembolosnya memang luar biasa.

Sayangnya, lubang itu sudah ditutup. Tak ingat kapan penjaga sekolah memperbaikinya, tapi kelihatan sudah lama sebab berlumut. Pasti beberapa minggu sebelum semester satu berakhir. Dengan begini, teori memindahkan mayat Raisa lewat lubang benteng pun gugur.

Aku menengadah, menatap puncak dinding yang mencegah siswa-siswa badung untuk melakukan praktik minggat. Tiga meter tingginya, ditambah satu meter pagar berduri—empat meter. Kalau seseorang ingin melempar mayat melewatinya, si jenazah mestilah dimutilasi dulu.

"Cebol. Mikir apaan lo?" tanya Buntut Kuda sambil mencabuti rumput dari rambutnya.

Holmes sering meminta pendapat Watson meskipun tahu sang dokter lebih bodoh darinya—konon untuk memancing ide-ide segar. Buntut Kuda jelas lebih dungu dari John Watson, tapi tak ada salahnya mencoba.

"Cara pindahin mayat dari luar ke dalem sekolah," jawabku.

"Buat apaan?"

Oke. Aku rasa dia jauh lebih dungu dari yang aku duga. "Buat mindahin mayat Raisa dari air terjun ke sini."

"Bukannya lo yang bilang kalo Raisa gak pernah dipindahin ke sini?"

"Bisa jadi. Bisa jadi ini dua kasus yang beda, bisa jadi ini kasus yang sama. Siapa tau? Tidak terbukti bukan ekuivalen terbukti salah."

Buntut Kuda garuk kepala. Untuk sesaat, dia memasang ekspresi beloon, sebelum akhirnya mendadak teringat sesuatu. "Mayat kedua," cetusnya. "Siswa Baru pernah bilang soal mayat kedua."

"Siswa Baru?"

"Lo lupa? Gue pernah cerita soal dia kemaren."

Aku coba mengingat-ingat. "Oh. Nama dia bukan Siswa Baru, anjir. Lagian gue yakin dia bukan siswa lagi."

"Lo kenal?"

"Kakak kelas waktu SMP."

"Pinter?"

"Pinter, tapi beda tipe sama gue." Aku menggeleng. Ngapain kami malah membahas manusia setengah setan itu? "Dia ngomong apaan?"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang