—Fadila
"Kenalin, Fadila Rahmah."
Guru wali kelasku, Bu Ilma, adalah seorang perempuan berbadan mungil. Dia tersenyum canggung dan berteriak dengan suara kecilnya, "Emm ... ada yang mau nanya?"
Seisi kelas sepi, semua mata menatapku dengan pandangan mati. Jujur, ini tak seperti yang aku bayangkan. Aku murid baru, aku perempuan, aku cantik seksi—tak jadi perkara aneh kalau aku dapat satu-dua kedipan dan beberapa suitan.
"Oookeee ...." Bu Ilma melirikku. "Ibu yang nanya kalo gitu. Emm ... Fadila, kan? Kalo Ibu boleh tau, alasan kamu pindah sekolah?"
Jawaban standarnya adalah Papah aku dipindahtugasin ke sini sama perusahaan, tapi usai aku pikir lagi, berbohong itu bukan prilaku baik. "Gara-gara ini," kataku sembari mengacungkan tinju. Semua orang, termasuk Bu Ilma, menatap ke sana. Semua orang, termasuk Bu Ilma, sadar kalau buku tanganku lecet dan merah.
Hening—kalau situasi sebelumnya belum bisa disebut hening.
"Hahaha," Bu Ilma tertawa canggung, tapi sebab tak ada yang mengikutinya, dia diam. Mungkin sebab tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat, dia menyuruhku untuk duduk di bangku yang kosong. Hanya ada satu. Di sana, di barisan kiri belakang. Karena suatu alasan, aku mencium bau-bau kesuraman yang menyengat. Aku jalan menghampiri, lalu sadar dari mana asal aura kesuraman itu.
Sungguh meja yang butut! Diselimuti debu dan dihias sarang laba-laba. Reyot ketika disentuh, bergoyang dan berderit. Dua kakinya terserang osteoporosis. Apa ini masih bisa disebut meja? Haram zadah. Kenapa bisa ada artefak megalitikum di sini? Aku nyaris percaya saja kalau tempat ini adalah museum dan benda di depanku bukanlah meja melainkan peninggalan peradaban kuno yang UNESCO nyatakan sebagai warisan dunia.
Dengan jengkel, kuseka permukaan meja dengan lenganku, dan seluruh kelas menoleh, menatapku, tercengang. Aku balik menatap, sedikit merasa takut. "Pa'an?" tanyaku. Jangan bilang kalau benda ini memang artefak warisan dunia.
"Anak-anak ...?" Bu Ilma memanggil dengan canggung, dan satu per satu murid kembali menoleh ke depan. "Kalo gitu ... Ibu udah dulu. Kalian lanjut belajar lagi. Baik-baik sama Fadila, ya?"
Aku duduk, mata menatap sekitar dengan waswas. Apaan?
Dan ketika itulah aku sadar, ada yang aneh dengan kelas ini. Kupikir sudah aneh kenapa belum ada anak cowok yang mengedipiku, tapi kini aku makin yakin sekarang. Ketika Bu Ilma keluar dan guru jadwal jam pertama masuk, keganjilan berlanjut.
"Afar Ramdani?" panggilnya, buku absen di tangan.
"Hadir."
"Ahmad Zaki?"
"...."
"Ahmad Zaki gak ada?"
"Alpa, Pak."
"Masih belum nongol ini anak?" Guruku garuk kening dengan bokong puplen. "Anissa Wati?"
"Hadir."
Si Ahmad Zaki memang cukup menarik, tapi hal paling aneh terjadi setelah ini, ketika absen tiba di tengah-tengah daftar.
"Raisa Uktala?"
"...."
"Raisa Uktala gak ada?"
"...."
"Raisa Uktala gimana?"
Berbeda dengan kasus sebelumnya, tak ada yang menjawab. Keresahan ganjil menyebar. Semua murid saling lirik dengan ekor mata mereka, sebelum akhirnya buru-buru menunduk seolah tak ingin terseret masalah. Seolah malu. Seolah ... takut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayat yang Berjalan (ed. revisi)
Misterio / SuspensoRaisa Uktala mati, jatuh dari air terjun saat karya wisata sekolah. Bunuh diri? Dibunuh? Atau kecelakaan? Tak ada yang tahu. Mayat Raisa hilang ditelan arus sungai, menjadi misteri serupa kasusnya .... .... Sampai akhirnya, mayatnya berjalan. ***