Hari Kelima, Sabtu - 5

39 11 10
                                    

—Fadila

Ada kafe di sebelah lobi hotel. Aku duduk di teras luarnya, menenggak gelas kedua iced chocolate, mengendus ketiak, lalu menimang-nimang apakah aku perlu mandi atau tidak. Pisau kater tergeletak di pinggir meja. Aku ragu kalau kutukan arwah gentayangan mungkin dilawan dengan pisau kater belaka, tapi apa yang bisa digorok sanggup aku gorok.

Seorang abang-abang berseragam pramuka lari menghampiriku dari pinggir jalan. Ganteng. Mendadak aku ingat jenis kelaminku dan menyesal belum mandi dulu. Buru-buru kurapikan rambut dan pakaianku. Percuma. Semuanya acak-acakan akibat huru-hara pagi ini.

Kukutuk Dudi dan Cebol sejuta kali.

"Hai," kata laki-laki itu. Dia tinggi dan berisi. Berkacamata tapi tak culun. Ketika kami bersalaman, kulihat lengannya yang padat dan dirambati pembuluh. Aku ingin pingsan. "Alma?"

"Hah?" Salting membuatku lupa soal nama palsu. "Oh. Iya. Alma." Aku penasaran siapa yang bakal menang andai kami berkelahi. Aku tak suka pria yang lebih lemah dariku. "Ini abangnya Hau-Hau?"

Dia cuma mengangguk, tak memberiku namanya sendiri. Aku langsung illfeel. Macamnya aku lebih suka yang ramah ketimbang yang cool. "Langsung aja, ya. Ini soal Ahmad Zaki."

"He'em."

"Aku pernah liat dia jalan sama Hau-Hau."

"...." Gak nanya, sumpah.

"Gue kejar dia, tapi 'tuh anak malah kabur ke gang, lemparin segala barang-rongsok-sampah ke gue, terus ngilang abis buat gue bingung."

Aku ingin bilang kalau aku paham, tapi makhluk di depanku membuatku sedikit takut. Dia tidak normal.

"Gue bo—" Si Abang menggeleng, sadar kalau dia terbawa emosi. "Aku boleh tanya?"

"Pake gue juga gak papa, Bang."

"Gantengkah si Zaki ini?"

Aku garuk kepalaku. "Ganteng ... sih enggak."

"Jelek?"

"Gak."

"B-aja?"

"Gak." Melihat si Abang melotot, aku buru-buru menambahkan, "Cantik! Dia cantik! Kecil-kecil, wajah halus, bulu mata lentik. Kalo punya rambut panjang, susah bedain dia sama ciwi."

"Gue ... gak sadar Hau-Hau demen yang kayak gitu ...."

"Selera orang beda-beda, Bang."

"Gue pikir dia sukanya cowok macho gitu! Kenapa ... kenapa mesti yang kek banci begitu?"

"Tren? Belakangan kalo cowok disebut cute itu pujian." Ngapain aku bahas selera cewek asing bersama cowok asing? Kurang kerjaan banget. "Bang, maaf-maaf, nih, maaf-maaf. Aku ada urusan sama si Zaki. Jadi, macem yang aku bilang tadi di telepon, boleh minta nomor kontak itu ceb—"

"Abang!" Seorang gadis muncul. Usia sebaya denganku, rambut lebat sebahu, kepang kecil di pelipis, tubuh mungil dan kulit halus. Dia lari mendekat dan melakukan rider kick pada abangnya.

Aku menghela napas. Lewat konteks aku sadar kalau makhluk manis ini adalah Hau-Hau kita. Gue sumpahin darah haid lo gede macem banjir bandang. Gara-gara dia, aku mesti berurusan dengan abangnya yang aneh ini.

"Ish!" Hau-Hau berdesis macam kobra. "Kalo bukan abang sendiri aja udah aku basmi pula."

"Hau." Si Abang bangkit, jejak sepatu masih tercetak jelas di perut. "Apa hubungan kamu sama si Ahmad Zaki?"

Hau-Hau terdiam, menjatuhkan diri di kursi, lalu memutar bola matanya. "Dia mantan pacar aku waktu SMP."

Tentu aku kaget. Bagaimana ceritanya seorang Ahmad Zaki—manusia cebol berwajah cantik—bisa memikat hati gadis secantik ini, aku tak paham. Kagetku kalah oleh si Abang, tapinya. Tampak pria itu yang sedang mangap-mangap macam ikan gurame, wajah merah karena lupa napas.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang