Hari Ketujuh, Senin - 2

38 11 0
                                    

—Zaki

"Ini boleh dimakan, gak, sih?" Buntut Kuda—dengan tak tahu malunya—meraup permen di mangkuk. Bu Ilma cuma tersenyum lemah, tak berdaya di hadapan kelakuan barbar murid barunya.

"Itu punya Pak Daha ...." Bu Ilma tak melanjutkan. Buat apa? Permennya sudah masuk ke mulut Buntut Kuda—dan bukan cuma dua atau tiga biji pula—untuk kemudian dia kunyah. Gila, memang.

"Daha? Siapa?"

"Pak Daha. Guru BK."

Buntut Kuda melotot, wajah memucat. Tampaknya dia punya trauma pada guru BK. Buru-buru si gadis merogoh uang dan menaruhnya di mangkuk permen.

Sebagai anak emas di sekolah, aku sering dipanggil ke ruangan kepsek. Aku belum pernah masuk bilik konseling. Nuansanya beda betul. Sudah sempit, sepi, kursinya keras pula.

"Zaki? Hari ini ada ulangan?" tanya Bu Ilma.

"Enggak."

"Terus ngapain kamu masuk?"

"Main?"

Guruku terkekeh. Main. Dia masih ingat obrolan kami Jumat lalu. "Ya udah. Bagus kamu masuk. Kamu sama Fadila sekarang temenan?"

Aku ambil sebutir permen. "Bisa dibilang gitu."

Ibu Ilma tersenyum sebentar, lalu pasang wajah serius lagi. "Fadila. Sekarang hari Senin. Kenapa kamu pake baju pramuka?"

Buntut Kuda cuma nyengir.

"Kamu ... uh. Lupain itu dulu. Kepala sekolah nyariin kamu gara-gara kejadian minggu kemarin."

"Aku yang dikeroyok satu kelas itu?" sahut si gadis arogan. "Itu bukan aku yang mulai. Aku cuma bela diri."

"Itu, sama kejadian waktu kamu nyiksa Dudi."

Buntut Kuda langsung layu. "Oh," ujarnya. "Oh. Bener. Bener juga. Aku lupa yang itu." Diam sejenak. "Dia masih idup?"

"Masih, Fadila."

"Oh. Syukur, deh."

"Dia di rumah sakit."

"Sekarat?"

"Enggak ...."

"Oh. Syukur, deh."

"Fadila, tangan dia patah, wajah dia rusak, kepala dia botak."

"Tapi masih napas, kan?"

"Bukan itu masalahnya."

"Oh. Syukur, de—"

"Fadila!"

Buntut Kuda terperanjat.

"Kamu ... uh. Kamu anak cewek." Bu Ilma menghela napas. "Ibu tau kamu punya masalah keluarga—"

"Ibu tau?" Buntut Kuda menyipit curiga.

"Dia tau," bisikku ke telinganya. "Percaya sama gue. Dia jenis guru yang tau seluk-beluk murid dia."

Bu Ilma tersenyum lembut. "Jadi cewek kuat itu gak buruk, Fad. Tapi jangan kamu buang semua nilai-nilai feminin kamu cuma karena itu gak guna. Bakal ada orang yang butuhin itu nanti."

"Siapa?"

"Pasangan hidup kamu."

Buntut Kuda terdiam.

"Untungnya," Bu Ilma melanjutkan, "ayah kamu nelepon Ibu. Dia bicara sama kepsek juga orang tuanya Dudi. Mereka bilang gak bakal manjangin masalah asal kamu datang buat minta maaf."

Buntut Kuda menyipit, lalu menoleh padaku. "Kepsek lo korup."

"Gimana?"

"Bokap nelepon terus masalah beres? Hmm! Bau-bau suap."

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang