Hari Ketujuh, Senin - 7

32 11 4
                                    

—Zaki

Zulfa menatapku dengan sinis. "Bukannya lo gak percaya yang dikubur di belakang kelas itu Raisa?"

"Lebih tepatnya gue ragu," sahutku. "Dikubur terus ditemuin tiga minggu kemudian—pasti bentuknya luar biasa. Lembek, bengkak, retak, busuk, berantakan." Aku mengernyit, lalu berbisik, "Gimana pula lo bisa kenal dia?"

Zulfa diam sejenak. "Lo curiga sama gue."

"Gue curiga sama lo. Sama Yulsa juga, sama Gani, sama Bu Ilma, sama Elli, sama Robi, sama Dudi, sama semua anak kelas, sama makhluk ini." Aku melotot ke arah Ketua. "Gue curiga sama semua orang. Dan asal lo tau, Buntut Kuda ngotot kalo lo pelakunya."

"Et bleh!" Buntut Kuda memekik, kejang-kejang, menusuk keras pinggangku dengan telunjuknya. Rasanya macam anjing edan. "Ngapain lo bilang-bilang, babi!" desisnya.

"Lo tau dari pakean dia?" tanyaku.

Zulfa tak bereaksi, wajahnya skeptis macam biasa, lalu mendengus. "Raisa telanjang."

"Terus? Lo tau dari mana?"

Kembali, Zulfa tak bereaksi.

"Jangan bilang kalo lo tau begitu aja tanpa ada alesan—"

"Dia pake gelang," Zulfa akhirnya berkata, penuh dengan kebencian. "Gelang yang lo kasih."

"Gimana?" Buntut Kuda menoleh padaku, kaget. "Gelang apaan?"

Kini, giliranku yang terdiam. "Lo liat gelang itu di tangan si mayat?"

"Iya."

"Lo pikir dia Raisa? Terus lo ngejerit?"

"Iya."

"Habis itu?"

"Bu Ilma datang." Zulfa menggeleng pelan, seolah coba membuang sisa rasa ngeri yang menjalar di tengkuknya. "Gue dikasih ke Yulsa yang nyusul. Dia ... macemnya dengerin ocehan panik gue. Makanya kabar soal mayat Raisa bisa nyebar."

"Gak aneh. Dia makelar gosip." Buntut Kuda mendengus.

"Fa," panggilku. "Lo masih inget kondisi mayat Raisa?"

"Gimana?"

"Badan dia. Dia ... dimutilasi?"

"Hah?" Zulfa terperangah untuk beberapa saat. "Dari mana lo bisa punya pikiran kek gitu?"

"...."

"Kepala dia pecah ... kebuka. Gue bisa liat retak di tengkoraknya." Zulfa mengambil jeda, mungkin untuk mengingat, mungkin juga untuk mengarang—siapa tahu? "Kaki dia bengkok juga. Tapi dia gak dimutilasi."

Tanda-tanda cedera jatuh. Bukti bahwa Raisa memang telah terjun bebas dari puncak air terjun. "Ada lagi?"

Zulfa kelihatan mulai mual.

"Fa, plis. Ini penting. Inget-inget."

"Gue gak yakin," kata dia akhirnya, "tapi isi perut dia keluar. Mungkin gara-gara ngebusuk?"

Tubuh utuh. Satu keterangan itu meruntuhkan teori yang aku bangun selama ini. Raisa tak bisa dipindahkan dari luar ke dalam sekolah dengan cara dilempar melewati benteng. Jika begitu, kemungkinan yang tersisa adalah melalui gerbang .... Tapi mungkinkah? Pos satpam dan parkiran punya CCTV—andai ada hal mencurigakan, pastilah bakal terekam dan menarik perhatian polisi.

Kesaksian Zulfa membuatku bingung.

—Zaki

Ketika Ketua sadar, kami sudah mengikatnya pada kursi. Lima simpul sekaligus—perut, kedua tangan, kedua kaki. Mulutnya kembali disumpal, mencegah makhluk itu menjerit. Dia menatap ke arahku dan Buntut Kuda dengan pandangan horor, lalu melirik pada Zulfa. Orang sintingnya nambah! pikir dia—mungkin, aku cuma menebak.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang