“Ujian paling berat adalah ujian saat dimana orang yang kita cintai pergi untuk selama-lamanya.”
~~Rajes Maula~~Happy reading...
# # # # # # # # # #
Wiiiuuu... Wiiiiuuuu.. Wiiiiiiuuuu...
Suara sirine ambulan terdengar tepat di depan kediaman rumah Pak Yasa yang mengibarkan bendera warna kuning. Kedua sopir ambulan dan beberapa warga menggotong kedua jenazah masuk ke dalam rumah, melewati para tamu yang berpakaian serba hitam.
Setelah jenazah Pak Yasa dan Bu Utami sudah berada di ruang tamu, Putri dan kak Niken pun segera memeluk mereka untuk terakhir kalinya.
“Abii . .” Kak Niken menangis memeluk ayah kandungnya, Pak Yasa Abraham. Sedangkan Putri memeluk ibu kandungnya, Ibu Utami.
“Umi . . . Bangun umi!” Putri menggoyang-goyangkan jenazah ibunya agar terbangun kembali. Tapi, usahanya hanya sia-sia.
“Umi, bangun! Katanya umi mau berangkat umroh.” Air mata Putri semakin deras melewati pipi mulusnya.
“Iyah, Abi juga udah janji sama Niken mau bawain oleh-oleh air zamzam.” Ucap Kak Niken menangis kencang, hingga terdengar ke seluruh penjuru ruangan.
Bu Sinta duduk di sebelah Putri dan mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan menantu kesayangannya. “Yang sabar yah put.”
“Tapi Bu, umi . . .” Ucap Putri menampakkan wajah sedihnya.
Melihat ekspresi tersebut membuat Bu Sinta jadi tidak tega, dan kemudian menarik tubuh ke dalam dekapannya.
Brruugghh
“Astaghfirullah haladzim.”
Seketika semua pasang mata tertuju kepada kak Niken yang tiba-tiba terjatuh pingsan. “Tolong angkat!”
Dengan sigap, Rajes langsung mengangkat tubuh kak Niken yang sudah lelah karena menangis terus sejak malam.
“Langsung bawa ke kamar aja, jes.” Rajes pun menuruti perintah ibunya, dan segera membawa kak Niken ke dalam kamar.
* * * * *
Tak terasa matahari sudah terbenam meninggalkan kesedihan yang amat sangat dalam di lubuk hati Putri. Dan entah kenapa bintang-bintang pun juga enggan menerangi malam yang sangat kelam ini.
Disaat itu, Putri terlihat duduk merenung di bangku taman rumah. Dia teringat kembali kenangan-kenangan saat masih hidup berdua dengan ibunya. Salah satunya adalah saat ia pertama kali masak untuk ibunya yang baru pulang dari kantor.
* Flashback On *
“Putri, umi pulang.”
Mendengar suara ibunya, Putri (saat usianya masih 13 tahun) pun cepat-cepat berlari menghampiri Bu Utami yang baru saja pulang kerja. “Umi, pesanan aku mana?”
“Nih.” Bu Utami langsung memberikan pesanan es boba yang sedari tadi ia cangking kepada Putri.
“Yeay... makasih umi.” Putri dengan gesit mengambil es boba tersebut, dan kemudian meminumnya. “Ouh iya, umi udah makan belum?”
“Belum.”
“Pas banget kalau gitu.”
Setelah mengucapkan hal tersebut, tiba-tiba Putri mendorong Bu Utami dari belakang, layaknya anak kecil yang sedang bermain kereta-keretaan menuju meja makan.
“Woow.” Bu Utami terpukau melihat masakan yang dibuat oleh anak semata wayangnya itu. “Kamu masak sendiri?”
“Iya dong.” Putri kemudian menyajikan nasi, sayur asem, tempe goreng, dan sambal ke atas piring ibunya.
“Bentar deh put, ini ikan apa?” Tanya Bu Utami menunjuk ikan berwarna hitam yang tak Putri sajikan untuknya.
“Hehehe... itu namanya ikan negro. Rasanya nggak enak.” Ngeles Putri terkekeh, padahal ikan tersebut adalah ikan kakap yang gosong karena telat diangkat. “Umi makan yang ini aja.”
“Ya udah, umi makan yah.”
Hupp
Seketika Bu Utami mematung merasakan rasa sayur asem yang berubah menjadi sayur asin.
“Gimana mi rasanya?”
“Asin.”
Mendengar jawaban uminya, Putri sedikit tidak percaya, dan langsung mencicipi sayur asem tersebut.
“Uweekk.” Baru satu suapan saja perut Putri sudah ingin muntah. “Kok asin yah?” Lanjut Putri heran. Padahal tadi ia sudah memasak sesuai dengan buku resep buatan uminya, tapi kok asin yah?
“Mungkin kamu kasih garamnya kebanyakan.” Jawab Bu Utami menerka-nerka.
“Nggak kok mi, aku cuma kasih satu sendok doang.” Bantah Putri. Dia masih ingat betul, kalau dia cuma kasih satu sendok garam sesuai dengan resep.
“Satu sendok apa?”
“Satu sendok makan.”
“Hahaha” Bu Utami tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban anak kesayangan tersebut. “Pantesan aja sayurnya asin. Harusnya kamu kasih garamnya satu sendok teh aja.”
“Ouh, gitu yah.” Putri membulatkan bibirnya hingga berbentuk lingkaran. “Harusnya umi juga tulis dong, kalau garamnya satu sendok teh, jangan satu sendok doang.”
* Flashback Off *
“Putri.” Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Putri dari belakang. “Kamu ngapain disini sendirian?”
Putri memutar kepalanya, melirik ke arah Bu Sinta yang tadi menepuk pundaknya. “Ouh, ternyata ibu. Kenapa bu?”
“Kamu ngapain ngelamun disini sendirian? Masuk yuk, kita makan!” Ajak Bu Sinta kepada Putri yang dari pagi belum mengisi perutnya sedikitpun.
“Nggak lah bu, Putri nggak laper.”
Mendengar tolakan menantunya, membuat Bu Sinta seperti sedang melihat dirinya sendiri saat itu.
“Ya udah, ibu nggak maksa.” Bu Sinta ikut duduk di sebelah Putri.
“Lihat kamu kayak gini, ibu jadi inget waktu itu.” Putri mengerutkan keningnya, penasaran apa yang akan ibu mertuanya ceritakan. Apakah ada sangkut pautnya dengan uminya atau tidak?
“Waktu dimana ibu kehilangan anak wanita satu-satunya.” Sambung Bu Sinta.
# # # # # # # # # #
Maaf yah semuanya, akhir-akhir ini author lagi banyak masalah dan banyak pikiran. Jadi lupa buat update cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love (End)
Roman pour Adolescents⚠️WARNING!!⚠️ CERITA INI MENGANDUNG FIKTIF BELAKA, DAN TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN SIAPAPUN. JIKA ADA KESAMAAN NAMA ORANG, TEMPAT, DAN KEJADIAN MAKA SAYA SELAKU PENULIS MEMINTA MAAF SEBESAR-BESARNYA. DILARANG KERAS UNTUK MENCOPY ATAU MEMPLAGI...