Perubahan Yang Terasa

4.1K 386 14
                                    

"Mama juga tidur, ya."

Pesan itu diberikan oleh Rinjani kepadaku saat aku mengantarkannya ke kamar tidur. Bersama kami berdua membereskan ruang makan dari segala makan malam dan kue yang akhirnya menjadi sia-sia karena kejutan ulang tahun untuk suamiku sudah gagal, aku sempat mengira jika Rinjani sudah tidur namun rupanya gadis kecilku itu kembali membuka mata saat aku hendak beranjak pergi.

Perih rasanya mendapati sikap suamiku yang berubah. Hatiku begitu sakit saat aku harus memungut setiap piring makanan yang aku siapkan penuh cinta dan yang paling menyedihkan adalah saat aku harus mengangkat kue ulang tahun yang aku buat bersama dengan Rinjani. Putri kecilku yang dua bulan lagi akan berusia 8 tahun ini begitu antusias saat menyiapakn lemon cake kesukaan Papanya nyatanya harus menelan pil kecewa. Cinta pertama putriku pada akhirnya mengecewakannya dan aku pun turut merasakan sakitnya.

Aku meraih tangan mungil tersebut, menggenggamnya pelan sebelum tersenyum. "Iya, Mama juga tidur. Jani tidur ya, besok kan sekolah."

Putri kecilku tersebut mengangguk, usai meyakinkan dirinya sendiri jika Mamanya akan menuruti apa yang diminta olehnya, akhirnya aku beranjak dan mulai mematikan lampu kamar mungilnya sebelum aku keluar.

Tidak, aku tidak tidur seperti yang diminta oleh Rinjani. Bagaimana aku akan tidur jika kepalaku begitu penuh, sebagai wanita dan istri yang sudah mengenal suaminya luar dalam tentu aku merasakan perubahan hebat di diri suamiku. Kehangatannya menghilang dan kini justru aku yang tersiksa dengan sikap dingin yang dia berikan karena aku tidak rela hangatnya rumah tanggaku harus menghilang. Masih terbayang dengan jelas bagaimana indahnya kisah cintaku dan Mas Juan sampai akhirnya kami menikah dan di karuniai Rinjani.

Rinjani, bahkan nama indah putriku tersebut di ambilnya dari tempat pertama dia memboyongku usai kami menikah. Sebagai seorang Perwira muda yang meniti karier tanpa nama besar orangtuanya, Mas Juan ditempatkan begitu jauh di NTB sana, tapi hal tersebut tidak mengurangi performa pengabdiannya. Semangat Mas Juan begitu ingin membuktikan bagaimana hebatnya dia sampai akhirnya dua tahun yang lalu akhirnya kami bisa pindah kembali ke Jawa. Kerja kerasnya diiringi dengan pendidikan lanjutan yang membuatku harus jungkir balik menyokong dana pendidikannya terbayar saat akhirnya kini kami bisa dekat dengan keluarga. Dan yang lebih membuatku bangga adalah akhirnya suamiku menjadi seorang Komandan Kompi mengomandoi ratusan kepala.

Mas Juan pernah mengatakan jika dia melakukan semua hal ini agar aku dan Rinjani bangga memilikinya namun belakangan ini rupanya suamiku mulai terlena dengan apa yang dimilikinya.
Mas Juan mulai bersikap dingin dan arogan, bahkan padaku dia mulai menjauh, saat aku menegur sikapnya dia bahkan menyebutku sebagai istri yang suka ikut campur dan tidak tahu apa-apa tentang masalahnya di militer, bahkan dia pernah mencemoohku dengan kalimat yang bahkan tidak akan pernah aku lupakan.

"Nggak usah sok komentar, Dek. Tahumu cuma lakban sama gunting buat packing rak saja sok-sok nimbrung kalau aku ngomong. Diam saja kamu, biar nggak kelihatan bodohnya orang SMA yang tahunya cuma jualan perabotan. Yang ada disini itu orang pendidikan tinggi semua."

Ya, semenyakitkan itu kata-katanya hingga membuatku rendah diri. Bodohnya aku sempat berharap jika Mas Juan akan sadar jika dia menyakitiku dan mengatakan maaf namun itu adalah hal sia-sia karena selanjutnya kata-kata menyakitkan lebih sering aku dengar.
Entah berapa lama aku termenung di dalam gelapnya kamarku sendiri, mungkin sangat lama sampai akhirnya aku tidak tahan lagi dengan semua hal yang sepertinya akan membuatku gila.

Aku tahu apa yang akan aku lakukan ini akan membuat Mas Juan murka kepadaku. Tapi aku sudah tidak punya pilihan lain lagi selain menuntaskan rasa penasaranku, kuraih ponselku untuk menghubungi seorang yang begitu dekat dengan suamiku untuk tahu sebenarnya apa yang tengah suamiku lakukan.

Perlu dua kali panggilan aku lakukan sampai akhirnya sambungan telepon itu diangkatnya olehnya, dan tanpa basa-basi sedikit pun aku langsung menodong seorang di seberang sana.

"Dimana Juanda? Katakan dengan jujur, kamu punya Ibu dan adik perempuan, posisikan jika merekalah yang ada di posisiku sekarang."

SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang