14. Tangis Terakhirku

3.8K 411 25
                                    

Yang disebut tua sama Mbak Kowad

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang disebut tua sama Mbak Kowad

"Oohhh, hati-hati Mbak Juan kalau begitu."

Percakapan singkat dengan seorang yang mengangguk sembari berlalu, seorang yang sebelumnya aku kenali hanya sebagai Om Good looking favorit Rinjani, namun siapa yang menyangka jika Dio Raharja, Kapten Tampan yang membangun tembok tinggi usai kematian istrinya dengan berjuta rahasia di dalamnya tersebut akan terlibat jauh ke dalam hidupku.

Sama seperti aku yang kehilangan cinta, masalalu yang belum tuntas juga menunggu untuk diselesaikan.

Aku kembali menekuni ponselku untuk order taksol, menganggap percakapanku dengan Kapten favorit para wanita single tersebut sudah selesai, namun nyatanya aku keliru karena Kapten Dio kembali bersuara.

"Mbak Juan, Anda tahu Letnan Mentari Yunika?"

Reflek aku menoleh dengan cepat, begitu cepat hingga aku merasa kepalaku nyaris terpuntir karena terburu-buru menoleh ke arah Kapten Dio, senyum tipis penuh rahasia itu tersungging di bibirnya saat di melepaskan AirPod yang dipakainya.

"Berhati-hatilah dengan wanita ular macam dia, Mbak. Saya melihat gelagat tidak wajar dan aroma skandal diantara dirinya dan Ndan Juan."

Jika aku mendengar hal semacam ini sebelum aku tahu semuanya mungkin aku akan syok, terkejut, lengkap dengan kernyitan dahi yang menganggap Kapten Dio ini aneh, tapi luar biasanya, meski hatiku mendapati skandal suamiku dan anggotanya ini sudah merebak di antara para prajurit, aku tidak sesakit saat pertama kali melihat postingan mesra Sang Letnan. Senyuman yang muncul di wajahku yang menunjukkan jika aku baik-baik saja membuat Kapten Dio mengernyit heran.

"Saya tahu kok, Om. Yang namanya bau busuk mau di sembunyiin pakai kain emas pun tetap akan tercium. Nih saya mau nyamperin mereka."

Pria yang berdiri jauh dariku tersebut mengulum senyum saat dia menurunkan tangannya yang berkacak pinggang, mungkin Kapten Dio bingung bagaimana menanggapiku yang rupanya tahu apa yang tengah terjadi diantara suamiku dan juga rekannya tersebut. Tampak dia hendak kembali berbicara namun detik berikutnya aku sudah mengangkat tanganku melambaikan tanganku mengakhiri percakapan tidak penting ini selain memang karena mobil pesananku sudah sampai.

Masalahku berat, namun aku tidak berminat untuk mengumbarnya dengan orang lain apalagi orang itu laki-laki. Dalam asrama Batalyon, segala hal bisa menyebar begitu cepat lebih dari yang bisa kita bayangkan. Tanpa melihat ke belakang lagi aku masuk ke dalam mobil, perlahan mobil ini meninggalkan Batalyon menuju rumah mertuaku yang tidak terlalu jauh.

Dalam perjalanan tidak hentinya aku berdoa, menguatkan hati dan menyiapkan mental untuk menghadapi apapun yang terjadi di sana. Dan seolah semesta mendengar apa yang tengah aku semogakan, ditengah perjalananmu membuntuti suamiku, hal yang tidak pernah aku lakukan selama 10 tahun membersamainya, sebuah video masuk ke dalam ponselku.

Dari Sissy, rupanya adik ipar sepupu tersebut memenuhi janjinya. Jantungku berdegup kencang, detik demi detik dimana aku menunggu seluruh file terdownlod hingga bisa aku buka sepenuhnya tersebut terasa begitu lama, sampai akhirnya saat seluruh file lengkap pun aku tidak punya keberanian.

Tanpa sadar tawaku mengudara, lebih tepatnya aku menertawakan diriku sendiri, namun bagian paling lucu adalah aku yang menangis disaat bersamaan. Aku tertawa tapi air mataku mengalir dengan sangat deras. Sebelumnya aku merasa aku sudah begitu tangguh, namun saat mendapati jika hubungan suamiku dan WILnya sudah sampai di tahap diketahui keluarga bahkan disembunyikan oleh mereka, rasa sakitnya another level, bukan lagi menghancurkan hatiku yang sudah remuk tapi sudah melumat habis serpihan yang tersisa.

"Mbak, Mbak baik-baik saja kan, ya?"

Ditengah tawa dan tangisku, Mas-Mas Taksol yang masih awal 20an tersebut bertanya, dan bodohnya hanya di tanya apa aku baik-baik saja, tangisku tersebut justru semakin keras disaat seharusnya aku menjawabnya dengan kata aku baik-baik saja.

Nyatanya aku tidak baik-baik saja, perempuan tangguh yang bersikap masa bodoh didepan Kapten Dio tersebut begitu cengeng hingga menangis karena di saat dia merasa dia sudah bisa melepaskan segalanya, 1% yang tersisa di hatinya masih begitu naif berharap jika suaminya tidak mendua, menolak kenyataan yang sudah jelas terpampang nyata.

"Nangis saja nggak apa-apa, Mbak. Memang nggak nyelesaiin masalah, tapi seenggaknya bikin lega. Namanya manusia Mbak, ada saja ujiannya. Kalau nggak bisa dihadapi sambil lari ya kita jalan saja, kalau jalan kerasa sakitnya ya sudah ngerangkak juga bisa kok, bahkan saat ngerangkak pun sulit, Mbak boleh sambil istirahat dan mikir mau bagaimana nanti Mbak ambil cara buat melangkah. Apapun masalahnya, semuanya akan lewat Mbak. Dan saat itu terjadi, Mbak akan tertawa mengingat hari dimana Mbak menangis sekarnag ini."

Sebenarnya aku agak sedikit tidak suka saat mendengar seseorang mencerewetiku, namun hatiku yang terluka dan butuh penguatan benar-benar berterimakasih karena dengan ini aku merasa aku tidak sedang sendirian. Untuk beberapa saat aku benar-benar menangis, entah kenapa lega rasanya saat aku menangis di hadapan orang yang tidak aku kenal, dan memang benar yang dikatakan oleh Driver muda ini, menangis tidak menyelesaikan masalah namun setidaknya aku lega.

"Makasih loh Mas." Kuusap air mataku, kubuang juga ingusku, dan saat bersamaan rupanya taksol yang aku tumpangi ini sudah masuk ke kampung dimana mertuaku tinggal. Tampak beberapa mobil terparkir di bahu jalan dekat rumah dimana aku pernah di sambut menjadi menantu yang menunjukkan jika tengah ada acara di dalam sana, hal ini membuat taksol yang aku tumpangi tidak mencolok perhatian. Bisa aku lihat dua mobil yang sangat familiar di mataku, satunya mobil silver milik suamiku yang dibeli 8 tahun yang lalu saat aku hamil Rinjani dengan alasan agar aku nyaman saat bepergian, dan yang kedua mobil mungil nan mahal warna biru navy milik Letnan Mentari.

Mendadak aku merasa sangat bodoh sudah menangisi suamiku beberapa saat yang lalu, ingin rasanya aku menarik kembali air mataku yang sudah jatuh. Rasanya sia-sia sekali sudah menjatuhkan air mata untuk si pengkhianat.

"Kayaknya ada acara di rumah itu  ya Mbak." Celetuk Sang driver lagi.

"Iya, Mas. Itu rumah mertua saya. Akunnya tutup saja, Mas. Saya sewa mobil Mas hitung seharian."
Tidak menunggu jawaban dari Mas driver Taksol ini, aku buru-buru membuka video yang dikirimkan oleh Sissy, dan benar saja selama aku menghabiskan waktuku untuk menangis, Sissy mengirimkan dua video lagi lengkap dengan penjelasan singkatnya.

"Mbak, sumpah Mbak harus kuat lihat Mas Juan ngenalin cewek itu ke semua keluarga kita, Mbak."

"Ya Allah, itu suamimu gelo pisan. Nggak inget anak istri di rumah."

"Nggak cuma Mas Juan yang sinting, Bude Sri juga gila, bisa-bisanya dia bilang ke keluarga kita sama keluarga calonnya si Intan kalau si Gatel itu calon mantunya. Amit-amit jabang bayi."

Sejak awal aku sudah tahu jika mertuaku itu gila uang, tapi tidak aku sangka jika mereka itu gilanya resep sampai ditulang. Ya nggak apa-apa mereka jahat ke aku, mungkin memang benar aku bukan menantu yang baik, tapi paling tidak mereka mikir perasaan Rinjani. Sayangnya, mereka, keluarga suamiku adalah manusia yang punya hati namun hanya sekedar isi di dalam perut tanpa digunakan sebagaimana mestinya.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama aku membuka video yang dikirimkan oleh Sissy tersebut. Dan kalimat pembuka yang aku dapatkan usai suara gemerisik begitu spektakuler.

"Ini loh Wati, Siti, Cah Ayu Mentari dari Jakarta yang sering beliin aku barang-barang bagus yang kalian tanyain, cantik To. Wes idaman aku banget jadi mantu, nggak kayak Ibunya si Rinjani yang pelit nggak pernah melek ke mertua."

SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang