"Silahkan diminum kopi atau tehnya, suamiku Sayang. Pilih mana yang kamu suka, mulai sekarnag kamu tidak akan pernah mendengar rajukanku lagi pasal kamu yang tidak menghabiskan teh yang aku buat, atau soal kopimu yang kemanisan."
"............"
"Bahkan kamu tidak pulang pun aku tidak akan menangisimu lagi. Kopi dan teh yang ini adalah minuman terakhir yang mungkin akan aku buatkan untukmu dengan penuh perasaan."
"..........::"
"Jadi, nikmati baik-baik selagi panas karena nanti saat dia dingin, rasanya tidak akan sama lagi."
Pria dihadapanku ini termangu. Sampai di detik terakhir aku menatapnya pun aku masih tidak paham kenapa diantara ratusan kepala yang ada di Batalyon ini harus suamiku yang menarik perhatian Mentari, logika dan pikiranku sebagai wanita sama sekali tidak mengerti. Juanda Prabumi tidak terlalu tampan. Jika berbicara paras, ada Kapten Dio Raharja yang jauh lebih tampan, tidak hanya tampan, Kapten Dio yang seusia denganku itu juga single duda mati tanpa anak, jika tidak berminat dengan duda mati, ada banyak perwira muda single lainnya, lantas kenapa harus pria beristri yang diminatinya. Terlebih Mentari pun mengenalku dengan sangat baik, beberapa kali Mas Juan mengundang anggotanya di Batalyon untuk makan malam dirumah, Mentari pun ikut, tentu matanya tidak buta untuk melihat bagaimana harmonisnya keluarga kami. Jika tidak melihat diriku sebagai istri Mas Juan, kenapa dia tidak melihat Rinjani.
Putriku lah korban sesungguhnya dari semua rasa sakit atas sikap buruk suamiku dan anggotanya ini. Entah bagaimana hancurnya hati Rinjani nanti jika dia tahu cinta pertama yang sudah membuatnya bersedih ini mematahkan hatinya dengan sebuah pengkhianatan.
Kubiarkan Mas Juan bertanya-tanya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan dan aku lebih memilih untuk meraih Huda ke dalam gendonganku. Segera aku berlalu dari hadapannya untuk mengantarkan Huda, tidak baik jika sampai bocah kecil itu mendengar pertengkaran kami, dan lagi aku perlu waktu untuk sendiri beberapa saat saja sebelum nanti aku menyelesaikan segalanya dengan suamiku. Jika tidak mungkin aku akan tergoda untuk mencekik Mas Juan sampai mati. Ya, ingin sekali aku menyingkirkan Mas Juan dari dunia dan ingin sekali aku teriaki dirinya yang sangat tidak tahu diri itu.
Hanifah, istri Gagas yang sedang menyapu pun menerima anaknya dengan tatapan yang khawatir, perempuan cantik yang tujuh tahun lebih muda dari Gagas tersebut sempat bertanya ada apa denganku yang mendadak begitu pendiam namun aku hanya menjawab seadanya. Aku sedang tidak berminat untuk berbicara, dan yang aku inginkan sekarang adalah terus berjalan sejauh mungkin, bahkan aku berharap jarak dari barak Gagas sampai rumah dinas yang aku tempati kalau bisa sejauh 50km sekalian agar aku tidak perlu bertemu si Pengkhianat.
Membayangkan apa yang telah dilakukan suamiku semalam dengan Mentari untuk merayakan ulang tahunnya yang tidak lagi muda membuat mataku terasa panas, dan dadaku begitu sesak. Aku enggan berpikiran buruk namun apalagi yang dicari dari seorang pria saat akhirny dia memutuskan untuk mendua. Ya Tuhan, aku kira patah hati hanya akan terjadi sebelum menikah, namun ternyata patah hati di dalam hubungan pernikahan berkali-kali sakitnya. Apalagi jika mengingat bagaimana Mas Juan dulu berjanji pada Almarhum Ayahku bagaimana dia akan menggantikan peran Ayah dalam hidupku untuk memberi kebahagiaan.
Nyatanya cinta itu pudar. Janji itupun terlupakan begitu saja. Dan entah apa yang tersisa dari pria yang kini menjadi duniaku tersebut, karena saat kini aku kembali ke rumah kami dan berhadapan dengannya, tidak ada lagi senyum penuh damba di wajahnya saat melihat kedatanganku. Tidak ada lagi rayu dan bujuk yang selalu diberikan setiap kali aku merajuk, yang ada hanya tatapan jengah di sertai lipatan tangan penuh kekesalan.
"Kamu apa-apaan sih, Dek? Suami pulang ngomong ngawur nggak karuan, main pergi begitu saja nggak pakai ngaca apa kalau penampilanmu awut-awutan nggak karuan. Kamu mau malu-maluin aku? Biar orang di Batalyon nyela aku jadi kepala rumah tangga yang ngga becus urus istri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)
RomancePernikahan indah dengan pedang poranya itu masih terbayang jelas di pikiran Senja seakan baru kemarin suaminya menggandengnya melewati pedang-pedang yang berjajar di angkat dengan megah oleh para junior dan rekan suaminya, Senja masih terbayang inda...