"Kok balik lagi, nggak jadi perginya?" Tanyaku kepadanya yang terburu-buru masuk ke ruang kerja bahkan Mas Juan melewatiku begitu saja untuk masuk ke dalam ruang kerjanya demi ponsel yang baru saja menjadi barang bukti perselingkuhannya. Mungkin saking takutnya aku tahu apa yang disembunyikan olehnya membuat Mas Juan tidak melihatku dan mendengar tanyaku.
"Cuma hape loh yang ketinggalan, udah kayak dikejar maling saja kamu ini, Mas! Ada apaan sih di dalamnya sampai sebegitunya kamu ini."Aku menunggunya menjawab mesti itu butuh beberapa waktu karena Mas Juan justru sibuk membuka pesan di ponselnya, matanya bergerak gelisah seiring dengan gerak jemarinya yang lincah sampai akhirnya ponsel yang sudah seperti celana dalam untuknya itu dimasukkan ke dalam saku dan menatapku.
"Tumben kamu penasaran, biasanya kamu juga nggak peduli sama suamimu ini."
Loh, loh, apa ini? Bisa-bisanya pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Suamiku memang hebat. Jika tidak hebat mana mungkin dia jadi Danki, tapi sayangnya Mas Juan lupa jika wanita sudah menjadi seorang istri apalagi sudab menginjak 10 tahun sepertiku, bau keteknya saja aku hafal apalagi kebusukannya.
"Kamu ini banyak maunya deh. Ditanyain sama istri dianggapnya kepo, sok mau tahu yang ujung-ujungnya ngehina katanya aku nggak akan paham sama apa yang kamu bilang, sekarang aku manut sama kamu, nggak pernah nanya kamu lagi sibuk apa, nggak pernah nanya lagi kenapa kamu jarang pulang, nggak pengen tahu kamu pulang kemana, udah bebasin kamu terserah sesukamu, Mas. Kamu udah perlakuin aku kayak gini pun aku tetap sabar, aku masih jaga wibawamu, aku masih melayanimu dengan baik sebagai istri setiap kali pulang ke rumah." Seharusnya saat aku berbicara panjang lebar meluapkan segala rasa kesalku sebagai seorang istri, suamiku ini tersadar bukan? Tapi tidak, hati Mas Juan yang tengah terbuai cinta dari wanita lain membuatnya buta, apa yang aku katakan bagai angin lalu. "Oke aku paham hubungan kita sudah tidak sehangat dulu lagi, tapi seenggaknya bisa nggak sih Mas kamu berhenti bersikap buruk ke aku. Setidaknya perlakukan aku sebagai partner hidupmu, bukan sebagai pembantu yang setiap kalimatnya selalu kamu anggap salah."
Mas Juan berdecih, tangan itu berkacak pinggang dan sikap arogannya kembali diperlihatkan kepadaku. Tergesa-gesa ingin menemui kekasih gelapnya membuatnya tidak bisa menahan diri. Sungguh, sikapnya yang meremehkan segala keluh kesahku dan terang-terangan melupakan janjinya kepada almarhum Ayah untuk menjadi tempat bersandarku usai beliau tidak ada membuatku sakit hati. Ya, sakit hati untuk kesekian kalinya di dalam hatiku yang sudah remuk tidak berbentuk lagi.
Tidak bisakah suamiku ini melihat semua kesakitan yang aku rasakan dari dalam mataku ini? Dulu, Mas Juan berjanji akan melindungi dari segala hal yang akan melukaiku, tapi pada kenyataannya dia sendirilah yang menorehkan luka teramat dalam untukku. Sampai di detik akhir aku memberinya kesempatan, Mas Juan menggampangkan diriku.
"Belajar darimana kamu ini Dek sampai pinter bicara kayak gini? Lain kali jangan bergaul sama orang kayak gitu lagi. Sebagai istri sudah kewajibanmu patuh sama suami, cukup diam saja, nggak usah kepo atau mau tahu, yang penting kamu masih jadi istri Tentara, kan? Masih jadi Ibu Persit yang dihormati, kan? Ya sudah jalani hidup saja, mau mesra-mesraan kayak dulu lagi juga nggak pantas."
Jika tadi dia yang berdecih, maka kali ini aku yang berdecih meremehkannya. Tidak aku sangka selain pandai mengomandoi Kompinya suamiku ini juga pandai bersandiwara.
Lelah, bosan, dan muak dengan segala kalimatnya yang terdengar seperti bualan belaka aku memilih terdiam tidak lagi menjawab mengakhiri perdebatan kami ini, tentu saja sikap diamku ini membuatnya tersenyum penuh kemenangan, bagi Mas Juan diamku adalah tanda tunduknya aku kepadanya.Tangan besar itu terulur, mengusap rambutku pelan sembari tersenyum lebar. "Nah, kalau nurut gini kan cantik, sudah ya, jangan marah-marah lagi. Nggak enak di denger tetangga kalau sampai kita ribut-ribut. Mas mau keluar sebentar ada keperluan, baik-baik di rumah ya."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Juan berlalu, bahkan dia tidak memberikan salam atau apapun lagi. Benar aku tidak disebutnya sebagai pembantu. Namun sekarang mungkin aku tidak lebih daripada seorang wanita yang menunggu rumah dinasnya. Mengerikan sekali kisah cintaku ini, aku kira kisahnya akan seindah Senja yang terpatri menjadi namaku, namun rupanya cinta itu semakin memudar seiring berjalannya waktu.
Bukan hanya memudar namun juga mati begitu saja. Sekedar marah pun aku sudah tidak bisa, satu hal yang aku inginkan hanyalah membalas setiap sakit hatiku sama perihnya.
Kupandang punggung itu sampai hilang dari pandangan mataku, sebelum aku menghubungi Sissy. Sudah cukup diamku selama ini, sudah waktunya aku memanfaatkan kesempatan yang Allah berikan untuk membongkar semuanya.
Jika Mentari dan Mas Juan besar kepala merasa mereka punya backingan hebat karena Mentari anak Jendral, maka backingan istri sah sepertiku adalah Allah secara langsung. Aku sudah merasakan sendiri betapa dahsyatnya kekuatan doa, aku memohon kepada-Nya agar diperlihatkan apa yang tidak aku lihat dan kini semuanya ditunjukkan kepadaku.
Perlu beberapa waktu untuk Sissy sampai akhirnya dia mengangkat panggilanku, jika biasa Sissy akan selalu cerewet kepadaku mengingat dia adalah sepupu ipar yang paling dekat, tapi kali ini aku belum berkata apapun dia sudah berbicara terlebih dahulu.
"Mbak Senja, Sissy tadi cuma salah kirim saja kok. Tempat Bude nggak ada acara, yakali Bude ada acara tapi menantu kesayangannya nggak diundang. Efek ngidam bika Ambon jadi ngelantur kemana-mana Mbak."
Orang bodoh mana yang akan percaya dengan apa yang Sissy katakan barusan? Yang ada aku justru semakin yakin syukuran yang digelar oleh Ibu mertuaku ini begitu istimewa menyangkut perempuan yang menjadi WIL suamiku. Tidak ingin Sissy kabur dan agar dia mau membantuku, alih-alih memarahi dan mencecarnya aku justru tertawa untuk mencairkan suasana yang tidak nyaman ini.
"Sy, Hilman baik kan?" Senyap diujung sana, mungkin Sissy tidak menyangka jika aku bertanya tentang suaminya yang tidak lain adalah sepupu dari Mas Juan bukannya bertanya tentang pesan yang sudah dihapusnya.
Aku menghitung jemariku, menunggu jawaban darinya dan setelah jari kelima baru aku mendapatkan jawaban. "Mas Hilman? Mas Hilman baik kok Mbak Senja, kok tumben banget Mbak nanyain Mas Hilman?" Ada kecurigaan di suara Sissy saat aku bertanya tentang suaminya dan itu membuatku kembali terkekeh geli.
"Ya nggak apa-apa, Sy. Mau nanya saja. Kamu ngiranya kenapa coba? Kok kayak khawatir banget aku ada apa-apa sama suami kamu?"
Terdengar hela suara Sissy di ujung sana, entah apa yang tengah dia pikirkan namun tidak ingin membuang waktu lebih lama aku langsung menembaknya yang tengah dilanda overthinking tentang suaminya. "Sy, Mbak tahu soal Mas Juan yang punya WIL, bahkan Mbak tahu kalau WIL Mas Juan akan datang ke acara syukuran mertua Mbak, itu sebabnya kamu hapus pesan yang kamu kirim, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)
RomancePernikahan indah dengan pedang poranya itu masih terbayang jelas di pikiran Senja seakan baru kemarin suaminya menggandengnya melewati pedang-pedang yang berjajar di angkat dengan megah oleh para junior dan rekan suaminya, Senja masih terbayang inda...