"Aku akan bercerai darimu dan tidak akan pernah kembali kepadamu, Juanda Prabumi. Simpan saja ide gilamu itu agar kamu bisa melesat seperti rencanamu, tidak usah memikirkanku dan Rinjani karena tanpa kamu di sisiku, aku bisa bahagia dengan diriku sendiri."
".................."
"Itu pun jika rencanamu berjalan mulus, karena aku pastikan seorang pendosa sepertimu akan hancur menjadi butiran debu. Tidak ada ceritanya seorang berjaya diatas luka yang sudah dia torehkan."
"................."
"Jangan kamu kira hanya karena orangtua Mentari seorang Jendral membuatmu tidak terkalahkan, kamu lupa Mas ada yang namanya jalur karma? Saat kamu jatuh nanti karena pilihanmu sekarang ini, aku adalah orang yang akan paling keras menertawakanmu."
Aku menyeringai saat melihatnya tidak bisa berkata-kata dengan segala kalimatnya yang aku kembalikan. Juan berpikir aku lemah? Tidak, aku tidak lemah. Aku hanya malas ribut dan ribet karena aku menghargainya sebagai suami. Dan sekarang saat aku memutuskan untuk bulat berpisah dengannya, maka Juanda harus melihat Senja versi yang lain.
Enak saja dia mau menceraikanku lantas menikahiku lagi hanya demi kariernya. Dia pikir pernikahan itu sebuah permainan yang bisa dia kendalikan demi keuntungannya. Maruq sekali dia menjadi manusia, ingin memiliki Mentari karena orangtuanya yang berpengaruh, dan masih menginginkanku di sisinya untuk menjadi mainannya. Hissss tidak sudi lah, ya.
"Senja, jangan berbuat ulah. Manut saja apa yang aku katakan, jika sampai karierku hancur maka......"
"Maka apa?" Tantangku tanpa menunggunya menyelesaikan kalimatnya. "Maka apa, katakan?! Ancaman apa lagi yang akan kamu berikan, Juanda? Silahkan, berani kamu menyentuhku sekarnag seujung kuku saja, aku pastikan hidup dan kariermu berhenti di detik ini juga. Kamu tahukan rumah ini aku pasangi CCTV, dan sedikit bocoran agar kamu tidak kaget, semua ide gilamu tentang menyimpan dua wanita dalam satu payung pernikahan, sudah terekam dengan apik. Rebut saja hapeku, hancurkan jika itu yang ingin kamu lakukan, sayangnya semuanya sudah terkirim dengan aman ke orang yang tidak akan pernah kamu tahu." Ancamku padanya saat tangan itu terangkat hendak terayun untuk memukulku. Kemarahan sudah menguasai wajahnya, bahkan Juanda berubah menjadi monster yang mengerikan.
Sayangnya, dia kalah cepat denganku. Segalanya sudah aku persiapkan dengan baik tanpa cela hingga aku bisa melangkah sejauh ini pun dia tidak akan bisa menyentuhku. Melihatnya gigit jari menemui jalan buntu tidak bisa mengatasiku adalah pemandangan indah yang sangat menghiburku. Usai banyak air mata yang aku keluarkan belakangan ini karenanya untuk pertama kalinya aku tertawa selebar ini. Ada kelegaan luar biasa akhirnya aku bisa melepaskan diri darinya, setiap malamnya saat aku hendak tidur aku selalu mengganti sprei karena jijik membayangkan ada sisa wanita lain tertinggal di tempat tidurku dari tubuh suamiku, namun sekarang semua hal buruk ini akan aku tinggalkan.
Bukan aku yang akan dicampakkan olehnya, namun akulah yang akan menggugat segala kebusukannya. Tuhan mungkin terlalu sibuk mengurus hal yang lebih penting jadi aku pikir, aku sendirilah yang akan langsung mengirimkan karma untuk suami yang sebentar lagi menjadi mantan.
Jangan tanya lagi bagaimana marahnya dia sekarang, sikapnya yang sebelumnya bermanis-manis kepadaku dengan tujuan untuk membujukku agar menyetujui rencana gilanya tersebut seketika menghilang. Takut dengan ancaman yang aku berikan membuatnya misuh-misuh tidak jelas, berbagai umpatan dia layangkan kepadaku yang sibuk mengemasi barang-barang milik Rinjani.
"Silahkan, silahkan gugat cerai aku. Kita lihat siapa yang akan menang, saat gugatanmu ditolak, akan aku siksa kamu sampai mati."
Seperti itulah contoh kalimat menjijikkan yang diucapkan oleh Mas Juan saat aku menata setiap buku yang dimiliki oleh Rinjani, tidak hanya buku namun juga semua pakaian yang ada di dalam lemari.
"Kalau begitu akan aku pastikan aku bisa menang darimu, Mas. Aku harus tetap hidup agar bisa menjaga anakmu. Kamu pikir aku melakukan semua hal ini untuk diriku sendiri, tidak, aku melakukannya karena memikirkan anak yang bahkan tidak kamu ingat saat kamu bermain di ranjang dengan selingkuhanmu." Sahutku ringan seolah kalimat ancaman dan mematikannya tersebut bukan masalah untukku. Apa aku takut padanya? Tentu saja aku takut, meski bagaimana pun dia seorang Perwira militer dengan segudang kemampuan luar biasa, jika tidak mana mungkin dia bisa memimpin kompi terlepas dari sikapnya yang seperti binatang.
"Ya, ya, memang Mentari lebih baik darimu dalam segala hal. Memang tidak salah aku lebih memilihnya dari pada perempuan yang tidak punya apa-apa sepertimu yang bersikap tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Memangnya kamu pikir kamu ini siapa mau melawanku dan Mentari, hah? Kamu cuma anak loper tempe yang bahkan nggak punya kuasa apapun, Bapakmu sudah mati siapa yang akan menolongmu, hah? Jika tidak menikah denganku, dan kunaikkan derajatmu menjadi seorang Ibu Persit, kamu cuma perempuan rendahan yang seumur hidupnya hanya menjadi seorang Marketing yang tidak penting di mata semua orang."
Aku masih terdiam, menahan semua kemarahan atas semua pengkhianatan yang dia lakukan, namun saat orangtuaku sudah dibawa-bawa dan dihina olehnya, aku tidak tahan lagi. Amarah yang sedari tadi aku tahan seketika meledak, kuraih vas bunga yang memang ada di kamar Rinjani untuk menyimpan bunga segar, dan tanpa berpikir panjang lagi, kuhantam kuat-kuat vas bunga berbahan keramik tersebut ke kepala Juanda, yang tentu saja langsung hancur berkeping-keping.
Tidak hanya satu vas bunga, segala barang berat yang bisa melukai dan bisa aku angkat semuanya aku lemparkan kepadanya. Juanda, dia sudah menyentuh titik terlemah dalam hatiku yang terluka. Dia membanggakan dirinya begitu besar hingga dia merasa dialah yang membuatku hidup di dunia ini.
"Tutup mulutmu, Bangsat. Mulut kotormu tidak berhak menyebut nama orangtuaku. Kamu pikir sehebat apa dirimu, hah? Selama menjadi suami bahkan kamu tidak pernah mencukupi nafkah istrimu ini? Orangtuaku yang kamu sebut miskin barusan tidak pernah membiarkanku bekerja demi makanan yang aku masak siang nanti, tapi bersamamu aku melakukannya."
Suasana kamar Rinjani sudah seperti kapal pecah, aku mengamuk seperti orang gila karena aku sudah tidak sanggup lagi menahan semua kesakitanku.
Keluargaku yang di sebutnya miskin selalu bisa mencukupiku. Almarhum Bapak dan Ibu selalu memastikan aku tidak pernah kekurangan apapun di tengah keterbatasan mereka, bahkan di saat maraknya sandwich generation seperti yang terjadi pada keluarganya, orangtuaku yang katanya miskin bahkan tidak pernah menanyakan gaji yang aku terima dulu saat bekerja.
10 tahun aku berumah tangga dengannya, dan selama itu seringkali beras pun dikirimkan Ibu tidak peduli aku mengikuti Mas Juan kemana, jika tidak bisa mengirim barang maka Bapak dan Ibu akan mengirimkan uang dengan dalih untuk menjadi uang jajan cucunya. Orangtuaku tidak pernah meminta apapun, bahkan aku lebih sering memberi mertuaku meskipun sebagaian besar gaji suami brengsekku sudah habis untuk membayar semua cicilan mereka. Dan sekarang, pria ini menyebut dirinya begitu tinggi sementara yang sebenarnya akulah yang banyak mengorbankan hal untuknya."Dasar laki-laki tidak tahu diri, kamu lupa uang siapa yang selama ini digunakan untuk memenuhi perutmu, hah? Kamu lupa siapa yang membiayai pendidikanmu, hah? Aku! Aku yang di besarkan dari keluarga miskin ini yang mengantarmu sampai diposisi setinggi ini sampai merasa begitu hebat hingga pantas berselingkuh."
"................."
"Perempuan dari keluarga miskin ini yang membantumu sampai ke puncak namun kau singkirkan saat kamu sampai ke atas."
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)
RomancePernikahan indah dengan pedang poranya itu masih terbayang jelas di pikiran Senja seakan baru kemarin suaminya menggandengnya melewati pedang-pedang yang berjajar di angkat dengan megah oleh para junior dan rekan suaminya, Senja masih terbayang inda...