24. Benar-benar berpisah

7.6K 618 38
                                    

Holllaaaaaaaa Buat kalian yang ikutin Senja di KK, Mamak udah upload Part terakhir ya, harusnya Mamak push notifikasi ke kalian, tapi lupa buat Mamak contreeeeng, jadi mamak bikin pengumuman disini saja ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holllaaaaaaaa
Buat kalian yang ikutin Senja di KK, Mamak udah upload Part terakhir ya, harusnya Mamak push notifikasi ke kalian, tapi lupa buat Mamak contreeeeng, jadi mamak bikin pengumuman disini saja ya.

"Untuk sementara kita tinggal disini ya, Nak.

Ruko dua tingkat yang aku sewa untuk toko offline ini kini menjadi tempat tinggalku. Tidak menunggu waktu yang lama dan tidak perlu alasan lainnya usai aku kembali dari rumah Bu Danyon, aku langsung membawa Rinjani untuk pergi.

Aku pergi hanya membawa pakaian yang melekat saja di tubuhku, semua barang yang sudah aku siapkan tertinggal semua saking nggak sudinya aku untuk bertemu lagi dengan Juanda. Pria yang pernah aku cintai dengan sepenuh hati dan aku berikan segalanya tersebut sudah sukses menghancurkan hatiku. Cinta yang tersisa sudah pudar semuanya karena ulahnya yang menjijikkan.

Gatal sekali rasanya aku ingin membunuhnya. Mulut  kotornya begitu tidak tahu diri menyebut derajatku  naik karena menjadi istrinya, dan yang paling membuatku benci adalah saat dia menyebut orangtuaku miskin dan dengan tidak sopannya dia berkata jika Bapakku yang sudah meninggal dengan sebutan mati. Juanda salah sudah mengusik hatiku yang tengah terluka. Tidak, aku tidak akan hancur karenanya. Akan aku buktikan, jika tidak bersamanya pun hidupku akan baik-baik saja, bahkan aku penasaran bagaimana kehidupan seorang Juan selanjutnya. Selama ini yang dia tahu segalanya terima beres tanpa mengerti jika nasi yang tersaji di mejanya dan uang bensinnya berasal dari rekening pribadiku. Rasa pengertian yang aku kira merupakan bagian dari pengabdianku sebagai istri ternyata masih terus kurang dimatanya.

"Kita tinggal disini mulai sekarnag, Ma? Sudah nggak sama Papa lagi?" Rinjani, putri kecilku tersebut menatap toko yang penuh sesak dengan barang-barang tersebut dalam diam, mata bulat bersinar seperti boneka tersebut menelisik seakan ada banyak hal yang tengah dia pikirkan. Seketika saat itu juga rasa khawatir aku rasakan, aku takut jika Rinjani akan memarahiku karena tidak suka ditempat baru kami ini. Mendadak aku merasa bersalah, tadi aku membawanya pergi begitu saja bahkan hanya taksol kembali, jangan, tolong jangan bilang kalau kamu tidak suka disini, Nak. Mama akan sanggup menghadapi segalanya tapi tidak jika itu menyangkut kekecewaanmu.

Beberapa karyawanku yang masih ada di toko pun tampak kikuk, canggung dan bingung karena melihat situasi yang tidak nyaman antara aku dan Rinjani sekarang. Datang tiba-tiba dan mengatakan sementara waktu akan tinggal di lantai atas tempat dimana gudang dan kantor kecil berada, siapa yang tidak akan terkejut.

"Jani, kalau Jani nggak suka disini kita bisa tinggal di hotel kok. Ayo, kita berangkat sekarang....." aku benar-benar sudah tidak tahan dengan pandangan mata Jani yang meredup. Tidak apa aku kehilangan banyak uangku nantinya asalkan anakku nyaman, hidupku sekarang hanya untuknya dan akan aku usahakan apapun untuknya. Namun saat aku hendak mengajaknya pergi tangan kecil tersebut justru menahan tanganku, dan menyesakkan Jani langsung memelukku dengan erat.

"Nggak Mama, kita disini saja. Jani nggak apa-apa disini, asalkan Jani sama Mama. Jani nggak mau kemana-mana." Awalnya hanya penolakan dengan suara pelan, tapi suara kecil tersebut datang disertai dengan gemuruh hebat yang berakhir dengan tangis menyesakkan seorang gadis kecil yang tahu jika kini orangtuanya harus berpisah jalan dan kisah hidupnya tidak akan sama lagi. "Mama jangan pergi, Mama nggak boleh pergi kayak Papa. Nggak boleh, Mama disini saja sama Jani. Nggak apa-apa disini, asalkan sama Mama, Jani nggak masalah."

Sesak, itulah yang aku rasakan saat mendengar tangisnya yang tergugu, Jani memelukku dengan erat takut jika nanti aku akan meninggalkannya seperti yang dilakukan Mas Juanda. Benar Mas Juanda fisiknya tidak pergi selama ini, tapi pikiran dan hatinya sudah tidak ada lagi untukku bahkan Jani sendiri. Waktu bermain dengan putri kecilnya, me time dan playdate yang biasanya dilakukan Ayah dan anak dengan sangat manis tersebut terlupakan begitu saja karena Suami yang sebentar lagi akan menjadi mantan tersebut sibuk dengan mainan barunya yang katanya lebih segar dan menggairahkan.

Setiap kalimat yang diucapkan oleh Mas Juan membuatku bergidik jijik membuat trauma tersendiri untukku.

"Mama nggak akan ninggalin Jani, kemana Mama akan pergi jika hidup Mama hanya untuk Jani. Nggak apa-apa kita hidup berdua, Mama janji Mama akan lakukan apapun untuk membuat Jani bahagia." Aku melepaskan pelukan putri kecilku, kuusap air matanya yang menetes membasahi wajah cantiknya. Aku berjanji pada diriku sendiri jika air mata ini adalah air mata terakhir yang putri kecilku tumpahkan, aku akan membahagiakannya dengan kebahagiaan yang tidak ada habisnya hingga Jani lupa apa itu kesedihan. "Jani mau es teller sama bakmi nggak? Kita jajan yuk, tempatnya biar diberesin sama Mbak Mas disini."

Wajah yang penuh tangis tersebut mulai tersenyum sebelum akhirnya senyuman itu kembali lagi melebar, tangan kecil tersebut menangkup wajahku dan memberiku ciuman. Seakan tidak terjadi apapun, Jani mengangguk dan menarik tanganku.

"Jani mau jellynya yang banyak ya, Ma."

Masalah ini berat. Bukan hanya untukku tapi untuk Jani juga, tapi perlahan aku yakin aku akan bisa melewatinya. Aku dan Jani hanya harus  terus berjalan dan tanpa kita sadari luka atas sikap Mas Juan yang berkhianat akan terlupakan begitu saja nantinya terobati oleh waktu dengan sendirinya.
Aku yakin  akan hal itu. Tidak ada badai yang tidak akan pergi, tidak ada ujian yang tidak akan bisa lewati.

..................... ......................... ...........................

"Besok Jani sekolah pakai seragam apa, Ma?"

Pertanyaan dari Jani saat kami pulang dari resto favoritnya yang tidak jauh dari ruko membuatku terdiam sejenak. Niatku tadi siang hendak membereskan barang-barangnya agar sekolahnya sama sekali tidak terganggu dengan masalahku, tapi mulut busuk Mas Juan yang menyinggungku membuat berantakan segalanya.

Hisssss mengingat kalimatnya yang terlalu tinggi membuatku kesal kembali. Sedalam itu luka yang dia torehkan hingga dalam sekejap cinta yang aku miliki tidak hanya pudar namun berubah menjadi kebencian yang mendalam.

Demi Tuhan, aku mengutuk suamiku. Pria pengkhianat yang sudah menghina dan tidak menghargaiku tersebut aku doakan tidak akan pernah bahagia di sisa usianya. Bukan hanya seorang Juanda yang aku inginkan hidupnya terjungkal dan terseok-seok, namun juga seluruh keluarganya dan juga Mentari sendiri, aku yakin tidak akan ada bahagia yang sempurna yang dibangun di atas duka dan air mata orang lainnya.

"Besok Jani libur dulu, ya. Jani istirahat dulu biar Mama bisa ambil barang-barang kita. Nggak apa-apa, kan?" Tanyaku memastikan. Syukurlah, meskipun sempat down karena aku dan Mas Juan benar-benar berpisah, Jani dengan cepat bisa menerima keadaan yang dengan cepat berubah ini.
Tubuh kecil gadis cantikku ini bergerak mengangguk-angguk, namun saat kami semakin dekat dengan ruko, tiba-tiba saja Jani berteriak keras.

"Om Dio, ngapain Om Dio disini?"

Sumringah seakan tidak baru saja menangis histeris, Jani tersenyum lebar bahkan dia melepaskan genggaman tangannya dariku untuk berlari menghambur pada pria berkaos hijau pudar dan bercelana pendek yang ada di depan ruko, dan yang sedikut mengusikku adalah Kapten Dio yang tersenyum sama lebarnya menyambut Rinjani, di kanan kiri Kapten Dio bahkan terdapat koper besar yang bertumpuk dengan tas ransel warna kuning matahari milik putri kecilku yang menambah sumringahnya Rinjani.

Aelaaaaah, kenapa anak gadisku ini tahu sekali yang bening-bening.

SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang