"Jani sekolah yang pinter ya, nggak boleh nakal sama teman, harus baik sama semuanya. Nurut sama Bapak Ibu Guru."
Nyaris setiap hari aku berpesan hal yang sama pada Jani setiap dia hendak berangkat sekolah, jika biasanya Papanyalah yang akan mengantarkannya tapi beberapa waktu ini kewajiban ini dilakukan oleh Gagas. Pria yang sudah bersiap dengan putra kecilnya yang duduk di depan motor matic tersebut menatapku dengan prihatin, sampai akhirnya mungkin karena dia sendiri pun tidak bisa menahan rasa penasarannya, Gagas turun dan bertanya.
"Soal semalam......."
"Aku nggak mau ngomongin hal itu sekarang, Gas. Tidak di depan Jani." Bisikku pelan tapi sarat dengan nada final tidak ingin dibantah olehnya. Mengalihkan pandanganku dari Gagas, aku meraih putra kecilnya, Huda, balita berusia tiga tahun ini benar-benar mirip dengan istrinya Gagas. "Tolong antarkan Jani ke sekolah ya, biar Huda sama aku saja. Nanti kalau Huda rewel aku pulangin ke Hanifah.
"Dadah Dedek Huda." Aku mengangkat tangan kecil Huda membalas lambaian tangan Jani yang sudah anteng di motor matic milik Gagas.
"Dadah Mbak, sekolah yang pinter ya, Mbak." Balasku sembari mengangkat tangan Huda kecil. Baru saat akhirnya Jani dan Gagas menghilang dari pandanganku, aku membawa putra kecil sahabat suamiku tersebut ke dalam rumah. Huda, bayi kecil yang tampan tersebut begitu anteng, ku dudukkan dia di atas ranjang kamar utama sembari aku membereskan segala barang-barangku yang berantakan. Semalam aku menangis hebat mendapati kenyataan jika suamiku telah mendua.
Ya, postingan di media sosial Mentari, Putri Sang Jendral, sudah menjelaskan semuanya. Aku bukan perempuan naif yang akan terus berpikiran positif tentang suamiku, tidak, aku tidak mau meracuni diriku sendiri dengan memupuk harap jika semuanya adalah kesalahpahaman semata. Di hari ulang tahunnya saat seharusnya suamiku menghabiskan waktu bersamaku dan Jani, namun dia lebih memilih candle light dinner bersama juniornya tersebut sudah lebih dari cukup untuk mengonfirmasi jika suamiku memang ada main gila dengan juniornya.
Semalam mungkin aku menangis hebat, meraung-raung menyuarakan betapa sakitnya hatiku yang tersayat sembilu dalam keheningan malam tanpa seorang pun yang tahu, aku bertanya-tanya apa kurangnya aku sebagai istri untuk suamiku, sampai akhirnya aku lelah sendiri dalam tangisku, aku memilih mengadukannya langsung pada Allah. Dalam tangisku yang tertahan aku bersujud begitu dalam memohon kekuatan agar aku sanggup bertahan ditengah sakit hatiku karena ulah suamiku yang lupa diri demi putri kecilku, tidak terhitung berapa banyak air mata yang telah aku tumpahkan sampai akhirnya aku tertidur karena lelah menangisi semuanya.
Hatiku hancur, remuk, tidak berbentuk lagi. Namun saat aku membuka mata tadi pagi aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar tidak terpuruk semakin dalam. Tidak adil rasanya jika aku hancur sedangkan orang-orang yang menyakitiku berbahagia tanpa peduli keadaanku. Tidak akan ada yang bisa menolongku selain diriku sendiri. Semalam aku bertanya-tanya apa yang kurang dari diriku dan apa kelebihan Mentari hingga membuat suamiku berpaling, dan jawaban yang aku dapatkan adalah aku tidak kurang apapun. Sebagai istri aku sudah memenuhi segala tanggung jawabku dan yang kurang hanyalah rasa syukur suamiku karena memilikiku.
Tidak, aku tidak akan menghancurkan diriku sendiri saat tahu perselingkuhan suamiku. Aku terlalu berharga untuk menjadi sampah atas sikap buruk orang lain sekalipun itu suamiku.
"Dek, dimana kamu?"
Suara berat yang semalam aku tunggu kepulangannya tersebut terdengar dari luar sana. Seketika tubuhku menegang dengan perasaan asing dan rasa tidak suka. Jika biasanya aku akan menyambut suamiku dengan antusias lengkap dengan tawaran teh atau kopinya maka pagi ini aku tidak beranjak sedikit pun dari dalam kamar. Dibandingkan memberikan perhatian pada suamiku yang baru saja pulang dari bersenang-senang dengan selingkuhannya aku lebih memilih merapikan kamar yang kini terasa begitu dingin. Tidak ada salam atau apapun dari suamiku yang baru saja datang dari antah berantah seperti menegaskan dia yang berubah.
Dan rupanya sikap dinginku yang baru permulaan ini membuatnya geram. Suara berat itu tergopoh-gopoh mendekat ke arah kamar tempatku berada untuk menghadiahiku sebuah bentakan kasar.
"Dek, bisu kamu, hah? Dipanggil suami nggak nyahut malah diem saja ngurusin anak orang. Suami pulang bukannya disambut malah pura-pura budek? Mau jadi istri durhaka kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)
RomancePernikahan indah dengan pedang poranya itu masih terbayang jelas di pikiran Senja seakan baru kemarin suaminya menggandengnya melewati pedang-pedang yang berjajar di angkat dengan megah oleh para junior dan rekan suaminya, Senja masih terbayang inda...