13. Memulai langkah

3.3K 375 20
                                    

"Tolongin Mbak ya, Sy. Tolong rekam apapun yang Mas Juan lakukan bersama dengan perempuan yang nanti dia bawa. Mbak yakin syukuran yang Ibu Mertua Mbak kali ini buat ada hubungannya dengan si perempuan jalang tersebut. Tenang saja, Mbak tidak akan melibatkanmu. Hanya rekam dan kirim ke Mbak, itu saja. Ya?"

Sissy menghela nafas panjang. Tentu saja permintaanku ini tidak mudah baginya, bagi seorang perempuan yang masih hidup di Pondok Indah Mertua dengan budaya patriarki yang sangat kental seperti keluarga suami dan keluarga Hilman, akan menjadi masalah jika sampai mertua Sissy tahu jika dia membantuku. Aku menggigit bibirku kuat, menahan perasaan tegang menunggu jawaban darinya sampai akhirnya Sissy kembali bersuara.

"Hanya rekam kan, Mbak?"

"Iya, hanya rekam. Mbak butuh itu untuk bukti persidangan nantinya. Jika tidak ada bukti valid perselingkuhan, endingnya gugatan Mbak akan ditolak."

"Tapi tolong jangan beritahu kalau rekaman itu dari Sissy ya, Mbak Senja. Mbak tahu sendirikan Mertua Sissy kayak gimana."

Meskipun Sissy tidak melihatku, tapi aku mengangguk. "Tenang saja Sy, Mbak nggak akan bilang apapun."

"Baiklah, nanti akan Sissy kirimkan." Aku mengira percakapan kami akan berakhir, namun saat aku hendak menutup telepon, aku mendengar suara lirih perempuan yang sudah aku anggap tersebut kembali, "Mbak Senja, yang sabar ya. Allah nggak akan ngasih ujian lebih daripada yang kita sanggup hadapi. Sissy yakin Mbak Senja akan bisa melewati semua ini."

Amin. Satu-satunya yang membuatku tetap waras usai mendapati suamiku main gila selain Rinjani adalah aku punya Allah. Benar aku tidak punya siapa-siapa yang bisa menjadi tempat mengaduku atas segala masalah yang tengah aku hadapi, namun aku punya sajadah tempatku mengadu langsung pada pemilik Dunia ini. Saat aku merasa dadaku sesak mendapati aku bukan lagi rumah tempat berpulang suamiku, segala rasa yang membuatku nyaris mati ini hanya bisa aku tumpahkan di dalam sholat malamku. Aku bukan hanya meminta kepada Allah agar ditunjukkan apa yang tidak bisa aku lihat, namun aku juga memohon agar Dia selalu menjagaku dan Rinjani.

Ya Allah, Engkau yang paling tahu isi hati terdalamku. Sungguh, aku sama sekali tidak menginginkan perpisahan ini, aku mencintai pria yang menjadi suamiku, segala doa baik hanya aku panjatkan untuknya namun pada akhirnya jalan takdir membuatnya menghadirkan cinta lain di sisinya. Aku tidak sanggup Ya Allah mendapatinya mendua. Aku mohon kepada-Mu jalan terbaik untukku. Jika benar jodohku dengan Suamiku hanya sampai disini, permudah segalanya dan berikan yang terbaik untukku dan semuanya.

Aku sungguh ikhlas Ya Allah jika memang ini jalan takdir yang harus aku tempuh, karena aku yakin sebaik-baiknya takdir adalah yang Engkau tentukan.

Beranjak dari tempatku berdiri aku bersiap, sejenak aku memandang bayanganku di cermin. Satu hal yang terlintas dibenakku saat memandang bayanganku yang ada disana adalah aku yang memang tidak secantik Mentari. Ya bagaimana mungkin aku lebih cantik dari wanita yang usianya bahkan 10 tahun lebih muda dariku, selain lebih muda, Letnan Mentari juga terlahir dengan sendok emas di mulutnya, meskipun dia seorang Kowad, namun kulit wajahnya halus terawat, badannya pun begitu berkilau penuh kelembutan. Segala hal yang ada di diri Mentari adalah impian semua wanita termasuk diriku. Sangat berbeda sekali dengan diriku, meskipun badanku tidak menggemuk pasca melahirkan, tetap saja kerutan halus mulai muncul di sudut mata dan garis senyumku. Terlebih saat akh

Cantik, berkarier bagus, dan orangtua yang berkuasa, sungguh miris dengan segala priviledge yang Letnan Mentari miliki, dia justru menggunakannya untuk menarik pria beristri yang bahkan lebih tua 12 tahun darinya. Cinta memang buta, tapi cinta yang dimiliki oleh Letnan Mentari sudah sampai ditahap gila dan tidak tahu malu.

Tanpa sadar aku menyentuh wajahku dan beranjak melirik pakaian dilemariku. Semua pakaianku terlalu biasa karena aku terlalu memegang teguh pendirian seorang Ibu Persit harus bersahaja, sebelumnya aku pun lebih memilih untuk menabung banyak-banyak, tidak jarang aku lebih banyak menghabiskan uang untuk mengirim pada mertuaku yang selalu mengeluh jatah bulanan dari Mas Juan kurang karena kebutuhan kuliah Intan sangat banyak. Aku kira dengan segala sikap baikku, orangtua Mas Juan juga akan membalas sama baiknya namun rupanya pemikiran naifku itu keliru. Bahkan anjing saja tahu balas budi pada pemiliknya tapi manusia seringkali tidak tahu diri untuk balas budi.

Mulai sekarnag aku akan mencintai diriku sendiri sebelum aku mencintai orang lain. Mas Juan, pria yang menjadi prioritasku, duniaku, dan wujud cintaku, mulai sekarnag dia adalah seorang yang harus aku singkirkan dari hidupku. Aku tidak ingin menghabiskan waktuku untuk meratap atau berjuang demi dirinya. Tanpa dirinya aku mampu berjalan diatas kakiku sendiri.

Aku mandi, berpakaian dengan baju terbaikku, dan memakai riasanku. Selama ini aku tidak berdandan karena dulu Mas Juan berkata dia menyukai wajah polosku, rupanya kalimat manis tersebut pudar sama seperti cinta yang dia miliki. Aku tidak jelek, aku hanya kurang memperhatikan penampilan saja. Setidaknya, hal itulah yang berusaha aku tanamkan dalam benakku. Sembari menunggu Sissy mengirimkan bukti yang aku minta, aku ingin melihat secara langsung acara apa yang tengah digelar oleh Mertuaku.

"Han, aku titip Jani nanti tolong jemput biarin di rumahmu dulu, ya." Kukirimkan pesan pada Hanifah, istri dari Gagas. Perempuan cantik yang putranya selalu menempel padaku tersebut memang sangat bisa diandalkan. Pagi tadi Rinjani berpamitan untuk pergi bersama dengan teman-temannya berolahraga, dan syukurlah putriku tersebut tidak harus melihat kehancuranku. Tidak perlu waktu lama dan banyak bertanya pesan balasan aku dapatkan dari Hanifah yang mengiyakan permintaanku.

Lega. Itu yang aku rasakan. Setidaknya ada yang menjaga Rinjani saat aku harus menghadapi hari burukku yang akhirnya tiba. Entah apa yang akan aku temui nanti di rumah mertuaku, aku yakin sesuatu itu bukan hal yang bagus.

"Mau kemana Mbak Juan? Tumben keluar sendirian."

Sapaan dari Kapten Dio saat aku keluar dan berhenti sejenak di depan gerbang untuk memesan taksi online membuatku mengalihkan pandangan dari ponselku ke arah Pak Duda yang sepertinya baru kembali dari Jogging tersebut. Demi Tuhan, dari segi manapun pria yang baru saja melepaskan AirPodnya ini lebih tampan dari suamiku, lantas kenapa Letnan Mentari tidak nemplok saja ke Pak Duda satu ini daripada dengan suamiku.

Hiiiihhh gemes kali rasanya pengen garuk pakai parutan singkong tuh betina!

Kuangkat ponselku kepadanya sembari tersenyum kecil. Meskipun kami tidak dekat, sebagai salah satu anggota suamiku, beberapa kali aku pernah berbicara karena Rinjani sangat menyukai Om Dio yang menurutnya good looking ini.

"Ada tugas negara, Om Dio. Biasalah, Mamak-mamak bakulan." Jawabku seadanya sembari fokus melihat ke ponselku kembali menilik aplikasi taksol untuk mengantarku pergi.

"Oohhh, hati-hati Mbak Juan kalau begitu."

Percakapan singkat dengan seorang yang mengangguk sembari berlalu, seorang yang sebelumnya aku kenali hanya sebagai Om Good looking favorit Rinjani, namun siapa yang menyangka jika Dio Raharja, Kapten Tampan yang membangun tembok tinggi usai kematian istrinya dengan berjuta rahasia di dalamnya tersebut akan terlibat jauh ke dalam hidupku.

Sama seperti aku yang kehilangan cinta, masalalu yang belum tuntas juga menunggu untuk diselesaikan olehnya.

Sama seperti aku yang kehilangan cinta, masalalu yang belum tuntas juga menunggu untuk diselesaikan olehnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SENJA (Cinta Itu Semakin Pudar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang