PART 8

16 4 0
                                    

Kami masih berjalan mengitari hutan Ethergale tak tentu arah. Meski acap bertengkar, jika tak ada yang mau mengalah untuk memulai membunuh kesenyapan maka khidmat lah kami dalam pemikiran masing-masing. Biarlah, mungkin sebaiknya menyimpan energi lebih untuk berjalan jauh dalam waktu lama ketimbang menghabiskannya dengan berbicara.

Oxen dan aku berhenti saat dihadapkan dengan sebuah persimpangan. Yah, hutan Ethergale tak berwujud seperti hutan liar yang benar-benar hanya diisi oleh pohon besar dan tanaman. Tentu saja ada jalan setapak dimana penjaga Cleaothes masuk dan keluar untuk sekadar berkeliling hutan atau mendatangi bangunan sekolah untuk menghilangkan kejenuhan.

"Jadi, kanan atau kiri? Mana yang lebih baik menurutmu?" tanya Oxen. Pandangannya yang tak lepas membuatku semakin tak bisa memutuskan dengan cepat selama mempertimbangkan pilihan 2 arah jalan.

"Baiklah, kanan, kalau begitu." jawabku seadanya.

"Sungguh?" Aku mengangguk cepat. Kami mulai berjalan membelok ke arah kanan. Namun, langkah kaki ku terhenti secara spontan saat Oxen berhenti melangkah.

Aku menoleh. "Ada apa?"

"Kau yakin kita berjalan di arah yang benar?" Astaga...dia masih saja mempertanyakan hal ini.

"Kalau konteksnya berjalan di arah yang benar, tentu saja tidak ada. Toh, kita tidak tahu letak Cleaothes dimana tepatnya, bukan? Jadi, sama saja mencoba peruntungan kemanapun arahnya. Menurutmu, lebih baik berjalan ke arah kiri?" Aku menjelaskan dengan intonasi sedang dan tenang. Cukup kesal sebenarnya tapi diriku sedang tak ingin menghabiskan energi untuk marah.

Dia diam sejenak mempertimbangkan. "Lanjut berjalan saja. Ayo." Aku mengangguk kecil dan melanjutkan langkah yang mulai terasa berat. Rasa itu perlahan terhempas oleh angin segar yang semilir berhembus. Angin ini seperti baru diproduksi langsung dari sumbernya yang alami dan diedarkan dengan cepat ke seluruh pelosok tempat. Memang, tak ada yang lebih menenangkan melebihi jiwa yang terpaut langsung dengan alam.

"Shiya."

Aku refleks menatapnya. "Ya ampun, kau membuatku merinding." Sungguhan, suaranya memang tak sekeras itu hingga rasional untuk mengejutkan ku. Hanya saja setelah kesunyian yang diiringi suara gesekan daun dan pelepah, tiba-tiba sebuah suara dari makhluk hidup sejenisku muncul.

"Memang aku se-menakutkan itu?"

Alis ku bertaut menyimbolkan ekspresi heran. Apa dia sedang berusaha melakukan percakapan basa-basi denganku atau hanya perasaanku saja? Kemana pertanyaan kaku seputar tugas, sekolah, kemampuan bersihir atau apapun yang terdengar serius?

"Cukup... menakutkan... mungkin bagi orang lain–"

"Aku tidak peduli pendapat orang lain." potongnya.

Sekarang giliran dahi ku berkerut. "Aku bertanya padamu, yang ku butuhkan pendapatmu." jelasnya. Aku mengangguk-angguk bak orang terhipnotis dengan kalimat yang dilontarkannya barusan.

"Seharusnya aku tak perlu merasa begitu. Kita sama-sama makhluk hidup, sejenis pula. Maksudku, aku dan kau sama-sama berperawakan manusia meski nyata nya kita seorang penyihir. Salah satu dari kita bukanlah hewan, tumbuhan, monster, siluman atau makhluk lain yang menunjukan kita berbeda secara rupa, jadi kita setara. Yang membedakan hanya karakter dan asal tapi terlepas dari itu.." Aku berhenti sejenak dan menatapnya tepat di mata. Mencoba memainkan suasana tegang. "...tatapanmu yang tajam itulah yang membuatku tak berani menghinggapkan pandangan terlalu lama."

Dia tak menyanggah. "Ada lagi?"

Huh? Apa sih yang sedang dia coba untuk lakukan?

"Tidak. Memangnya kenapa?" tanyaku daripada berprasangka.

"Ingin tahu saja."

"Jawaban macam apa itu?!" balasku cepat. Itu normal tapi tak terdengar memuaskan bagi telinga ku.

Dia balas menatapku heran. Sudut bibirnya berubah, sedikit terangkat. "Kau berharap aku menjawab apa?"

"Memberi penjelasan atas perilaku mu yang tak biasa ini!!" seru ku. Dia mengangkat bahu tak peduli.

Kami melanjutkan perjalanan sampai akhirnya menemukan titik penghujung. Tunggu! ...sialan! Aku tak bisa memercayai apa yang sedang ku lihat. Semak-semak tebal membumbung tinggi sekitar 3 meter atau lebih, menandai tembok perbatasan hutan Ethergale dengan daerah lain. Ranting kecil dari semak menjulur kesana kemari bak mata pisau yang siap menusuk jikalau kau terpeleset dan mendarat disana.

"Jalan buntu!! Aish!!!" Aku menendang kumpulan daun kering di permukaan tanah untuk menyalurkan rasa kesal.

"Baiklah, ayo berbalik." Tanpa pikir panjang, ia berbalik arah dan melangkah dengan ringan.

"Semudah itu?! Jangan bilang tadi kau mempertanyakan pilihanku sampai dua kali karena hal ini. Jangan bilang kau sudah mengetahui kalau aku memilih arah jalan yang salah??" Aku menyerang bertubi-tubi dengan pertanyaan yang memojokkannya.

"Aku tidak tahu juga. Tapi memang intuisi ku mengarah ke kiri di persimpangan tadi."

Aku memberi tatapan tidak percaya. "Kenapa tidak memberi sanggahan?!! Ya ampun...!!"

Oxen tak menjawab ataupun mengeluarkan secercah suara hingga memancingku menatapnya dengan sorot tak sabaran. Cukup lama sampai-sampai rasa kesalku padanya menguap ke udara.

"Bertengkar denganmu adalah cara bersenang-senang yang paling memuaskan."

***

Catatan penulis:
HAII!!!~
Setelah sekian purnama, aku kembali menyapa kalian~~
Terus dukung aku dan cerita ini, meski diriku kabur-kaburan, oke??
/pemaksaan, banget, harusss/
Adios!!~

ETHERGALE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang