PART 29

7 3 0
                                    

Gesekan benda dengan permukaan bumi terdengar mendekat ke arahku. Suaranya menjadi pelan dan melambat seolah seseorang berjalan dengan begitu hati-hati. Aku sudah mulai hapal ritme langkah itu. Juga sekelebat aroma khas dari tubuhnya.

"Kenapa? Tidak menemukan tali nya?" Meski tak kentara, aku merasakan kehangatan dari suara yang ia keluarkan.

Sebenarnya aku enggan untuk bersuara, tapi memangnya aku punya pilihan lain selain menjawab? Tentu saja tidak. "Bagaimana kau tahu aku disini? Jika tak memiliki kemampuan—"

"Sshh... ya baiklah, aku mengaku. Aku memiliki kemampuan sihir turunan. Sekarang bangunlah dari situ. Walau hanya kayu, ia tetap bisa menjadi perantara udara dingin. Nanti kau sakit."

Aku mendongak terkejut seolah bisa melihat Oxen. Lalu, aku bangkit dari posisi dengan begitu semangat tanpa mengetahui kalau ada rak kecil diatas kepala ku.

"Hei!"

Dukk!

Astaga! Mata ku membelalak saking terkejutnya. "Hei! Maaf. Apa itu sakit??" tanyaku khawatir. Tidak, kepalaku tidak sakit karena tangan Oxen menjadi tameng melindungi tengkorak ku.

"Ceroboh sekali, sih! Kenapa—"

"Hei, diam!! Suruh siapa kau mengatakan hal seperti tadi? Kenapa memangnya jika aku sakit?" Bukan bagaimana, sungguh aku masih merasa geli jika dia berbicara dengan intonasi pelan dan perlahan juga seolah peduli seperti itu. Tak seperti biasanya, saat kami bertengkar dimana suaranya terkesan dingin, meledek ataupun meremehkan.

"Merepotkan. Apalagi." Lihat, kan? Dia mungkin tak pernah memiliki niat untuk peduli kepada sesama.

Aku mengayunkan kaki ke depan hingga terdengar suara erangan yang cukup keras. Yah, sepertinya tendangan ku mengenai tulang kering pada kaki kiri Oxen. Meski khawatir terasa begitu sakit, rasa kesal ku lebih besar dan lebih menguasai diri ku jadi aku tidak menanyakan kondisi nya.

"Tali nya, aku hanya belum menemukannya. Tetapi jika seseorang disini mau berbaik hati untuk menggunakan kemampuan hebatnya, mungkin saja bisa untuk ditemukan. Kalau tidak, jika aku atau dirimu memiliki opsi lain yang lebih waras akan lebih baik untuk mengganti opsi solusi yang akan kita lakukan, mengingat angin terlampau besar menjadi penghalang dalam menjalankan penyelesaian ini. Aku berkata apa adanya."

"Memang ada. Ayo, keluar dulu."

Aku menurut, melenggang tanpa beban. Tidak lagi ku pikirkan mengenai pertikaian barusan. Oxen kembali saja, aku sudah bersyukur. Dia mungkin lari dari pertanyaan ku tetapi tidak dengan tugas yang menjadi tanggung jawab bersama. Pertikaian tadi bisa diurus nanti setelah tugas ini selesai. Sekarang kami harus fokus kembali karena kami tidak mengetahui waktu menunjukkan pukul berapa sekarang dan matahari entah sudah condong ke timur dalam besar sudut ke berapa.

Baru 2 langkah, tubuhku dihentikan secara paksa oleh sepasang tangan yang meremas pelan pundak ku. "Woho, tunggu sebentar. Kau larut dalam kegelapan, Nona. Intuisi mu pun cukup buruk. Ingat kejadian mencari Cleaothes di hutan?"

Aku memutar bola mata sebal. Itu saat diriku memutuskan mengambil jalan di sisi kanan yang malah dipertemukan dengan jalan buntu dan harus melakukan perjalanan melelahkan kembali menuju pertigaan awal. Oxen memiliki intuisinya sendiri tapi entah mengapa dia tidak mempermasalahkannya saat itu.

Sejurus kemudian, jari-jari tangan yang panjang mengisi sela-sela jari pada tangan kiri ku. "Toh, aku yang bisa melihat dengan normal sekarang ini. Jadi, jangan bertindak ceroboh untuk berjalan tanpa tuntunan meski itu sudah mendarah daging menjadi kepribadian mu."

Aku tidak melawan, membiarkan diriku berjalan dengan arahan tidak langsung dari Oxen. Kami tidak bergesar kemanapun, benar-benar hanya keluar dari toko peralatan. Angin badai menerbangkan helaian rambut ku hingga menutupi wajah.

"Jadi, Nona nomor dua." Oxen melepas genggaman tangannya membuat sela-sela jariku kembali merasakan hawa dingin. "Jika menggunakan opsi solusi awal, apa inti dari solusi tersebut?"

Aku berpikir sejenak. Dalam pikiran terbayang dua tiang lentera yang berjarak kemudian dihubungkan menggunakan tali pada kepala lenteranya untuk menyalurkan api dari satu lentera ke lentera lain tanpa berpindah posisi. "Menghubungkan... Menyalurkan...?"

"Koneksi! Lebih tepatnya. Jadi, aku kepikiran tentang pertanyaan mu padaku terkait kemampuan sihir turunan." Aku mendengarkan sembari mengangguk meski Oxen tak melihat responku. Eh, tidak! Aku lupa, dia kan punya kemampuan sihir turunan untuk melihat sekarang. Kemudian, dia tak melanjutkan penjelasan nya. "Shiya..?"

"...ya? Aku mendengarkan, sungguh."

"Ku pikir, kau sudah menangkap inti penjelasan ku."

Aku menggeleng. "Tidak." Memangnya apa yang bisa disimpulkan hanya dari satu kalimat balasan seperti tadi? Aku kan bukan pembaca pikiran. Aku tidak mewarisi dan tidak punya nenek moyang yang mewariskan kemampuan tersebut.

Hembusan napas keluar terdengar dari Oxen. "Kita butuh Petrine, si pengendali angin. Juga teman sekelas kita."

***

Catatan penulis:
Banyak tugas euy, mau PAS...
(⁠っ⁠˘̩⁠╭⁠╮⁠˘̩⁠)⁠っ
Kind of record, baru kali ini update dan nulis di sekolah (karena tugas materi novel sebenarnya, kkk) !!~~
Once in blue moon, otak imajinatif nya ngalir siang hari di tempat ramai begitu.
Yak, intinya enjoy !!~~
(Selamat mengejar materi dan tugas sebelum PAS! \⁠(⁠^⁠o⁠^⁠)⁠/ )

ETHERGALE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang