PART 21

9 3 0
                                    

So..what were we doing now?

Kami berjalan pelan beriringan di area pejalan kaki untuk beberapa menit setelah menghabiskan dua mangkuk es krim bersama. Kemudian memutuskan untuk duduk di bangku yang terletak dekat dengan toko roti dan memperbincangkan beberapa topik sembari menunggu kabar tugas selanjutnya akan diumumkan.

"Jadi, karena itu kah kau bersikap labil padaku?"

Huh? Aku memandangnya kebingungan.

"Saat pertengahan tahun pertama dan kedua kita tak begini, kan? Kau hanya mengobrol benar-benar seperlunya. Di luar itu, saat berpapasan saja kau tidak menyapa. Dulu aku bertanya-tanya, kenapa? Ada apa dengan itu? Sekarang, aku tahu. Kau benar-benar ingin bertahan di Ethergale, ya?"

Hening sesaat sebelum gelak tawa ku memecah suasana. Dia berteriak kecil dan menepuk bahu ku agak keras karena terkejut akan respon ku yang mendadak dan terdengar menyebalkan baginya. "Huftt... tidak ada gunanya menutupi apapun darimu sekarang, ya? Kalau sudah tahu begitu, maka berhentilah berharap bisa merebut posisi ku. Bisa sakit kau nanti. Lalu, kenapa pula dengan gaya bicaramu sekarang? Kenapa di setiap penjelasan mu sekarang, di awal kau menunjukkan kepedulian kemudian seperti mengejekku di akhir? Siapa yang mengajari begitu??"

Shiya terkekeh pelan. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum merespon kembali percakapan kami. "Mempertahankan posisi ku saja kadang sudah sakit. Kalau merebut posisi mu, mungkin hanya perlu waktu sebentar... Untuk bisa bertahan dalam kewarasan." Aku dan Shiya menertawakan hal sesepele itu.

"Lalu dengan gaya bicara.." Dia menelengkan kepalanya ke kiri kemudian menatapku dengan senyum lebar. "...lihat saja dengan siapa aku berbicara. Tak perlu diajari, dengan sendirinya akan tertular. Hmm, seharusnya kepintaranmu itu juga menular dengan mudah kepada ku, ya...? Sepertinya pengecualian untuk yang satu itu." Percakapan kami selesai, habis, tak ada respon kembali dari dua belah pihak.

Kami berdua menikmati malam di luar kembali setelah menghabiskan makan malam ala kadarnya. Langitnya bersih tanpa bintang. Namun cerah karena bulan purnama bersinar penuh layaknya matahari di malam hari. Udara nya tidak dingin juga tidak panas, jadi optimum bagi aku dan Shiya yang berlama-lama di luar karena tak memiliki tempat yang ingin dituju ataupun hal untuk dilakukan selain menunggu kabar ujian.

"Bagaimana rasanya hidup di Lullin?" Aku bersuara kembali, mengajukan topik perbincangan baru.

"Kau sadar tidak? Kau sudah banyak bicara, loh. Hampir semua topik percakapan kita pun kau yang memulai terlebih dahulu." Dia memberiku sorot menyelidik. "Jangan bilang kau tertarik padaku, dan sedang melakukan pendekatan?"

Aku memberi tatapan intens lalu membuangnya untuk berpikir sejenak. Ku tatap Shiya kembali dan menahannya sedikit lebih lama untuk membuatnya penasaran hingga dia bersuara kembali sebelum aku membuka mulut. "Tidak!! Jangan-jangan! Jangan begitu, sungguh! Nanti aku jadi besar kepala disukai oleh laki-laki sepertimu." Dia melemparkan tatapan dan senyum menggoda pada ku.

Aku menyeringai. Hei.. jadi dia mau bermain-main, ya? Sepertinya dia lupa meski dia pengendali hebat dalam seluruh hal, pada akhirnya kemenangan ada di tanganku. Tanganku melingkar melewati belakang bahu dan hinggap di pundak sebelah kirinya. Aku merangkul dan menariknya mendekat padaku. "Aku juga akan bangga sekali punya pacar yang tidak kalah sempurna dari ku. Cantik dan pintar. Bukankah kita pasangan yang luar biasa?"

Tatapannya melebar seolah terkejut. Namun ia tergelak lepas beberapa detik setelahnya, tak menganggap serius hal tersebut. Dia tak merona, tak seperti gadis kebanyakan saat digoda seperti itu. Dan, kebodohan ku, selalu dan berulang kali, tersesat dalam pandangan mata nya.

Perlahan rangkulan ku meluruh hingga akhirnya lepas. Dia mulai membuat jarak lagi denganku juga mengalihkan pandangan. "Kebodohan gila." lirihnya yang tetap terdengar oleh telingaku. Kami berdua terkekeh setelah berpandangan beberapa detik pada satu sama lain.

Sekilas, aku teringat akan saran nenek yang merubah arah pandang ibu terhadap keputusan ku bersekolah di Ethergale. Ada satu hal yang begitu ditekankan beliau yang dianggap menjadi hal paling berbahaya, licin, dan mudah membuat terlena bagi siapa saja. Hal sepele yang menjadi faktor paling besar kegagalan para makhluk dalam usaha menduduki tangga teratas kehidupan. Tapi, nek... Cucu mu lebih hebat dari pandanganmu sejauh ini.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaan ku."

"Ah iya, maaf. Kalau Milestone seperti emas maka Lullin adalah berlian. Meskipun Milestone merupakan pusat kota dan kemegahan tetapi sumbernya dari Lullin. Kesehatan lebih maju di Lullin. Bentang alam terjaga dan lestari dengan baik. Bahan mentah yang menjadi sumber kegiatan produksi untuk pemenuhan kebutuhan di Milestone kebanyakan dikirim dari Lullin. Tumbuh dan berkembang di Lullin seperti tinggal dalam hutan. Sedikit liar, tapi kau belajar dan hidup dengan baik disana." jelasnya dengan bangga.

Aku menggeleng mendengarnya. "Apa-apaan. Kau membuat Lullin terdengar begitu luar biasa dibanding Milestone."

"Nyatanya begitu."

Emosiku sedikit terpancing. "Hei! Milestone menjadi pusat pendidikan, ekonomi, bahkan pemerintahan. Milestone lah pusat kehidupan dari negara Ecaia. Sumber pendapatan terbesar, pelopor peradaban. Seperti air, ia mengaliri tiap makhluk dan tempat, memberi nyawa kehidupan pada sekitar. Dan seperti matahari, ia menyinari dan memperlihatkan pada dunia sesuatu yang belum terjamah sebelumnya."

Shiya bertepuk tangan keras. "Syair yang luar biasa, Oxen. Saat Milestone sudah tak bisa berbuat apa-apa, Lullin menjadi penopang yang menjaga keberlangsungan Ecaia untuk seterusnya."

"Huh, pilihan kedua!"

"Pengembang saja bangga!"

Kami membuang muka ke arah lain persis seperti anak kecil saat bertengkar dan tak ada yang mau mengalah."Yah, aku tetap belajar di Milestone, sih, untuk mengembangkan otak pintar ku." ucapnya kembali.

"Berlibur ke Lullin juga menjadi pilihan terbaik demi menjaga kewarasanku."

Lagi, kami menertawakan hal sepele. Disinilah aku menyadari selera humor ku dan Shiya tak cukup jauh. Dia juga paham langsung poin apa yang ku bicarakan tanpa membuatku perlu untuk memberi detail begitu banyak. Bahkan tak perlu sampai mengulang penjelasan lagi, tak pernah sama sekali. Mengobrol dengannya malah seperti debat. Tangkas, logis dan penuh opini.

"Selamat malam, anak-anak. Pengumuman selanjutnya mengenai tugas kedua dengan partner masing-masing. Secara bersama-sama, buatlah cahaya pada satu kota tanpa menggunakan sihir dan tanpa berpindah dari posisi masing-masing. Dengan ini, disusul perubahan waktu ujian yang semula dimulai dari waktu matahari terbit dan selesai saat matahari terbenam menjadi dimulai saat matahari terbit dan selesai secara otomatis pada saat matahari terbit kembali pada hari ketiga ujian akhir. Anak-anak diharapkan cukup beristirahat dan menjaga kesehatan masing-masing demi keberhasilan ujian sepenuhnya. Terimakasih, selamat beristirahat dan semoga berhasil untuk ujian selanjutnya." Begitulah Miss Aimee bagai pembawa acara dalam pengumuman kabar ujian akhir bagi murid angkatan kedua.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Sepertinya Ethergale perlu berlibur ke Lullin." Otak ku mulai memikirkan bagaimana solusi untuk tugas kedua kali ini.

Shiya tersenyum miris kemudian kami saling melempar pandangan pasrah."Tidak waras."

Ethergale sudah sepenuhnya gila!!

***

Catatan penulis:
Enaknya dibikin prenjon kagak...?
ヾ(^^ゞ) ヾ(^^ゞ) ヾ(^^ゞ)

ETHERGALE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang