Tidak banyak yang tahu tentang ku. Dari segi mana pun. Dan itu bagus. Juga buruk.
Bagus untuk kelangsungan hidup dimana tak banyak mata pisau yang kembali mengarah padaku. Singkatnya, aku jarang tersakiti oleh perilaku orang lain baik itu berhubungan ataupun tidak denganku. Apa yang orang lain ketahui tentang mu bisa jadi mata pisau yang kembali menusuk, ingat.
Tetapi, sebagai makhluk bernyawa yang memiliki emosi, aku juga ingin dimengerti. Jika ditanya apa aku sudah berusaha untuk mengerti orang lain? Tidak, dan setidaknya aku tak pernah menambah masalah mereka.
Kalau orang tersakiti karena omongan orang lain, itu salah mereka. Memproses reaksi terlalu banyak melalui perasaan. Hati terlalu buta untuk jadi pengendali. Toh, aku mengatakan yang sebenarnya jadi jangan harap mendengar 'maaf' dariku.
Begitu juga dengan 'terimakasih', terutama pada orang songong yang memang tak tahu terimakasih. Aku berpisah dengan Shiya selepas dari gedung putih. Beruntung, tak ada tugas tertulis yang perlu dikoreksi olehnya untuk tugas akhir mata pelajaran tersisa. Bukannya tidak percaya diri, hanya berjaga-jaga kalau aku salah mengerjakan tugas menjadi alasannya. Aku pernah melakukan itu soalnya. Dan, kita harus berteman dengan musuh, bukan?
Jika ada yang bisa mengalahkan ku, Shiya adalah orangnya. Selebihnya aku tak akan percaya, mungkin keberuntungan sesaat saja. Penakluk yang serba bisa, itu yang terlintas di pikiranku jika mendengar namanya. Aku hampir tak percaya, bagaimana dia menjadi orang pertama yang menyelesaikan praktek lab ramuan penyembuh dengan tepat. Dia juga hafal-meski secara singkat-sejarah awal mula keberadaan sihir. Itu... Gila! Meski kapasitas otak manusia memang luar biasa tapi, memangnya ada orang sehebat itu? Yah, Shiya bisa.
Aku tak punya teman dekat di Ethergale. Hal ini didukung dengan tidak adanya teman satu kamar dalam asrama. Bagus sebenarnya, aku tidak suka dunia ku dicampuradukkan oleh orang asing. Selama dua tahun ini, Shiya yang masuk paling jauh. Dan tak ku biarkan dia mengobrak-abrik apa yang dia lihat dalam dunia ku.
Tujuan ketiga, gedung hitam, mata pelajaran sihir penyerang. Aku selalu suka tempat ini, gelap dan tenang. Cukup panas saat siang hari karena pengaruh albedo. Warna gelap paling banyak menyerap sinar matahari. Namun, gaya arsitektur rustic banyak menggunakan kayu dan furniture yang kental dengan nuansa alam sehingga fokusmu akan terbawa pada hal tersebut.
"Oxen."
Mister Alban sepertinya bisa mencium kedatangan ku yang memang sudah dekat menuju ruangannya. Koridor dengan jendela besar selalu mencuri perhatian siapa saja yang menuju ke ruangan Mister Alban. Kesannya yang terbuka dan menunjukkan sisi luar hutan yang liar amatlah menghipnotis.
"Selamat pagi, Mister Alban. Aku minta maaf karena selalu meladeni koridor milikmu yang haus perhatian itu." Aku menunduk sebagai salam penghormatan. Mister Alban tertawa kecil.
Guru favorit semua murid sekaligus yang tertua dan paling dihormati. Umurnya 70 lebih namun pembawaannya tenang dan santai. Berbicara dengan Mister Alban seperti mengobrol bersama kakek sendiri. Dengannya, sihir penyerangan memiliki kesan positif. Menyerang bukan untuk menyakiti tetapi untuk membantu, merupakan motto yang sudah menjadi wejangan sehari-hari bagi anak didiknya. Sebab di Ethergale, sihir merupakan tameng pelindung, bukan alat pemenuh kebutuhan dan keinginan hidup.
"Tikus mu datang. Dia tidak sendirian. Bersiaplah."
Eh? Bersama siapa? Baiklah, saatnya mengerjakan tugas. Ku pastikan nilai ku selalu lebih baik.
Sszzzz~ Ssszzz~
Wuzz~ Wuzz~"Hei, apa masalahmu, kawan?!" ucap anak laki-laki di sebelahnya, target yang menjadi incaran alih-alih tikus lain yang ku lawan. Tidak hanya subjek itu sendiri, kita bisa menyerang hal yang memiliki relasi terhadap subjek tersebut untuk memulai pertarungan.
Aku memutar bola mata jengah. "Aku tidak mau nilainya sama hanya karena dia berhasil menampik seranganku."
"Kau pikir aku bangga sekali setara denganmu?!" Shiya menghampiri dan meninju lengan atasku.
Tikus adalah kata kiasan untuk lawan. Tak mengira, lawanku ini dijaga oleh lawan yang lebih sigap. Mudah saja jika beradu sihir atau apapun dengan Hugo, dia tidak sepadan denganku. Tapi, Shiya, perusak strategi sejati. Aku perlu persiapan lebih dari maksimal jika harus beradu dengannya.
Aku membelalakkan mata karena perilakunya. "Kekanak-kanakan. Teruslah berada di bawahku." Dia meninju kembali lenganku lebih keras dari sebelumnya.
"Kau tahu, saraf juga mendefinisikan rasa sakit, tidak sih?!"
"Setidaknya tak perlu menyerang temanku!" balasnya.
"Ini tugas akhir. Apa kelebihannya untuk dikecualikan dan terlepas dari tanggung jawab itu?!" Berlebihan sekali. Toh, dia berhasil bertahan bahkan mengembalikan serangan nya pada ku.
"Shiya dan Oxen, nilai kalian seri dan aku tidak butuh bantahan. Hugo karena kurang tangkasnya dirimu, jadilah penyerang untuk giliran selanjutnya."
Fokus Mister Alban yang awalnya mengarah pada jendela kemudian tertuju pada kami. "Hugo, tolong tinggalkan ruangan terlebih dahulu." Anak itu mengangguk kemudian melakukan salam penghormatan sebelum meninggalkan ruangan. Pandangan kami mengikutinya hingga bayangannya hilang. Sebelumnya, aku mendengar bisikan 'maaf' dari Shiya yang dibalas senyuman kecil oleh anak laki-laki itu.
"Ethergale akan kejatuhan emas jika kalian berdamai." ucap Mister Alban.
"Kejatuhan emas. Maka orang-orang akan berebut, banyak korban, berarti bencana. " Gadis itu mengalihkan pandangannya dariku.
"Seolah aku mau berdamai denganmu." lirihku yang sepertinya didengar olehnya. Kami kembali beradu lirikan tajam. Sungguh, kalau mataku sakit nanti malam, dia harus bertanggungjawab penuh untuk ini.
"Tanpa pendapat masing-masing dari kalian sekarang, kalian memang akan berdamai kok." Mister Alban menyeringai setelah mengatakan hal itu. Aku dan Shiya bertukar pandang kembali dengan pikiran yang bertanya-tanya.
"Tak perlu ucapan semangat, kalian pasti memberikan yang terbaik untuk ujian akhir. Keluarlah."
Aku langsung menuju gerbang keluar sementara gadis itu menghampiri anak laki-laki yang tadi. Sepertinya tidak lama, sebab aku mendengar langkah kakinya dibelakangku sekarang. Aku berhenti, suara langkah kaki yang ku dengar juga hilang. Aku menoleh ke belakang.
"Kenapa kau berhenti?" tanya nya dengan raut kombinasi antara terkejut dan takut. Dia membuat seolah-olah aku singa yang memergokinya-seekor rusa kecil -mengintaiku dari semak-semak.
"Ladies first...?" jawabku menawarkan.
Ekspresi wajahnya berubah dari sedikit takut menjadi agak kebingungan bercampur heran, setidaknya begitulah yang ku terjemahkan dari raut wajahnya. Dia menautkan alis kemudian mendekatiku dan menepuk pelan bahu. "Ayo."
Kami kemudian berjalan beriringan. "Aku bukannya mengikuti mu, ya. Hanya aku dan kau yang menuju ke gedung kuning, jadi tak ada pilihan selain menuju ke sana denganmu." Satu sudut bibirku tertarik. Entahlah, aku menangkap apa yang dibicarakan olehnya itu lucu. Menyiratkan rasa gengsi yang dimiliki nya begitu tinggi.
Peraturan tak tertulis yang dituruti begitu saja oleh murid Ethergale, mendatangi secara berurutan gedung mata pelajaran mayor dari merah, putih, hitam dan kuning. Mata pelajaran minor merupakan mata pelajaran peminatan yang bebas mau diikuti atau tidak. Itu semacam ekstrakurikuler pada sekolah manusia normal.
"Bilang saja kau suka berjalan beriringan denganku." Dia terdiam, agaknya terkejut dengan pernyataan yang ku lontarkan. Sementara itu, aku mempercepat laju langkah. Kaki ku yang pada dasarnya memang lebih panjang darinya tidak menimbulkan kesan terburu-buru. Ritme berjalan orang berkaki panjang memang cepat.
"Hei, tunggu!" Dia berlari mengejar.
Aku diam-diam tersenyum tipis.
***
Catatan penulis:
Libur sehari, dan aku kembali menyapa kalian. Hello, may you have a good day as always! 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
ETHERGALE [COMPLETE]
FantasiaDunia ini... Terlalu membosankan untuk dianggap serius. Terlalu berbahaya untuk dianggap menyenangkan. Setidaknya aku tahu keduanya akan selalu seimbang takarannya. Tapi, sepertinya spesial untuk penyihir. Makhluk yang dianalogikan terbungkuk dengan...