Aku dan Oxen berada di perpustakaan kecil dalam toko bunga yang bernama Flourish. Kami mengetahui nama toko ini setelah mengobrak-abrik laci meja bagian penjaga toko. Didalamnya ada catatan keuangan dan laporan-laporan lainnya yang begitu lengkap. Cukup aneh karena pada dasarnya toko ini merupakan fasilitas Ethergale yang berarti hanya buatan semata sebagai material pendukung ujian bagia murid. Namun, toko ini dibuat seolah-olah beroperasi melakukan kegiatan jual beli sungguhan!
"Membuat cahaya pada satu kota tanpa menggunakan sihir dan tanpa berpindah dari posisi masing-masing." Oxen menggumam, mengulang pemberitahuan yang Miss Aimee sampaikan. "Aku hanya memikirkan opsi solusi yang gila dan sedikit kekanak-kanakan." Laki-laki itu mengatup mulut rapat-rapat setelah mengutarakan isi pikirannya.
Karena dia tidak terlihat percaya diri dengan apa yang dalam pemikirannya, aku jadi ragu. Tapi tak apalah, aku memilih mendengarnya terlebih dahulu. Siapa tahu dia hanya berlebihan. Dia itu tak suka hal kompleks yang membutuhkan banyak kemampuan fisik jadi kerap menganggap hal seperti itu kekanak-kanakan.
"Kau tahu permainan memecahkan telur itu? Kau meletakkan telur dalam sebuah tempat lalu memecahkannya melalui dorongan dari benda-benda lain yang sengaja disusun terstruktur dan kadang dikaitkan dengan tali." Aku mengangguk. Dulu aku biasa memainkannya bersama ayah. Sebagai pengganti telur yang habis agar tidak kembali memancing kemarahan ibu, kami berdua mengganti nya dengan bola kecil dan berusaha memasukkannya ke dalam kaleng menggunakan dorongan dari benda-benda lain persis seperti yang dijelaskan Oxen.
"Kita hubungkan lentera yang menerangi kota dengan tali, lalu membakar salah satu ujungnya hingga tiap lentera akhirnya mengeluarkan pendar cahaya dari api." Setelah memberi penjelasan, Oxen menggeleng. "Tidak kritis sekali. Sepertinya lebih baik memikirkan opsi solusi yang lain."
"Tapi jangan mengeluarkannya dari daftar opsi solusi yang bisa dilakukan. Berjaga-jaga jika benar-benar tidak ada lagi yang bisa dilakukan." saran ku yang dibalas anggukan olehnya.
Ku sangga wajah dengan kedua tangan, menangkup pipi yang cukup tebal. "Saat kecil, apa permainan mu mengasah otak semua?"
Oxen meringis. "Yah, nenek ku tidak mau punya cucu yang bodoh. Jadi, begitulah ia mengkoordinir seluruh anggota keluarga untuk berperilaku selayaknya orang terdidik. Setiap kegiatan yang dihabiskan waktu bersama, pasti selalu menambah ketajaman otak dalam berpikir."
"Tak heran, kau begitu kritis."
"Saking kritisnya sampai hampir gila." Kami berdua tertawa kecil. "Beruntung, sesekali kami diperbolehkan bersantai. Yang sungguhan, yang benar-benar merehatkan otak." Aku mengangguk, memberi tanda bahwa aku mengerti apa yang ia bicarakan.
Membosankan. Tak banyak hal yang bisa dilakukan. Perpustakaan ini benar-benar hanya berfokus pada topik bahasan sekitar bunga. Meski perempuan dan menyukai bunga, aku tak terlalu tertarik untuk membaca literatur mengenai tumbuhan cantik itu.
"Bagaimana denganmu? Apa yang kau mainkan waktu kecil?" Giliran Oxen melempar pertanyaan.
"Aku juga memainkan hal yang tadi kau jelaskan itu bersama ayah. Tetapi lebih sering bermain anagram bersama ibu dan nenek. Hal yang menyebalkan sekaligus menyenangkan ialah bahwa nenek tak akan menyerah membolak-balik dengan cara apa saja untuk membuat jawaban kami salah." Jelasku dengan pikiran terlempar ke masa lalu.
"Permainan kata, ya? Boleh tunjukkan padaku?"
"Dengan senang hati. Contohnya star (bintang). Kata itu bisa diutak-atik menjadi kata yang lain. Aku akan menjawab arts (seni) dan ibu akan menjawab rats (tikus) tapi nenek menyebut jawaban yang benar adalah tars (aspal). Huh, menyebalkan, bukan?"
Oxen membuat ekspresi tak setuju. "Justru menyenangkan. Sedikit kotor karena manipulasi tetapi bagus untuk mengasah perbendaharaan kata supaya makin banyak. Nenek mu boleh juga."
"Sama halnya dengan nenekmu."
Berkali-kali hening menyelimuti kami begitu topik yang dibicarakan sudah tidak diberi respon kembali. Dan kami pun seolah tak menyerah untuk mengusir rasa canggung yang hinggap bersamaan dengan kesunyian tersebut. "Begitulah kau menyelesaikan tugas pertama lebih dahulu daripada aku, ya? Kamus kata dalam otak mu lebih banyak dibanding aku."
"Memang begitu, kan? Perempuan memang lebih banyak berbicara daripada laki-laki jadi wajar jika kamus kata yang ada dalam otak perempuan lebih banyak. Seperti faktor pendukung." Kami berdua mengangguk bersama menyetujui salah satu fakta mengenai perbedaan otak perempuan dan laki-laki.
Aneh. Jika bersama Inka dan Hugo, aku menjadi orang yang tidak akan berbicara jika tidak dipancing terlebih dahulu. Tetapi dengan Oxen seolah ada saja sesuatu yang ingin ku bahas dengannya. Sensasinya berbeda. Entah mengapa dengan Oxen terasa lebih mengalir. Yah, jika mereka berdua tahu hal ini, pasti mereka mengomel seminggu tanpa henti. Mereka apa kabar ya? Kalau menjadi partner untuk satu sama lain, apa tidak terjadi keributan setiap detiknya? Inka pasti sering sakit kepala karena tekanan darah yang naik beberapa kali. Membayangkannya saja membuatku hampir meledakkan tawa.
Sungguh, tawa itu akan meledak apabila posisinya kami sedang tidak melakukan adu tatap seperti ini. Setelah percakapan tadi, Oxen menatap lurus ke arah mataku lalu tersenyum hingga tatapannya berubah menjadi begitu lekat. Aku mengernyit keheranan, mencoba menerka apa yang sedang ia coba lakukan tanpa mengalihkan pandangan darinya. Gerak-geriknya ini seolah dia menantang beradu tatap denganku tanpa mengatakannya secara langsung. Tentu saja aku menerima tantangannya itu. Orang tua ku juga mengajarkan untuk tidak melepas tatapan terlebih dahulu jika orang lain yang memberimu tatapan lebih awal.
"Iris mata coklat madu milikmu itu, apabila terkena cahaya, eksotis juga."
Aku menyeringai. "Cantik. Aku tahu. Iya kan?"
"Kalau begitu, berikan padaku. Aku menyukai apa saja yang cantik." jawabnya spontan.
"Tidak mau!"
"Maka, aku memaksa." Dia mendekatkan wajahnya padaku. Dengan meja berukuran sedang dengan lebar tak seberapa ini membuat jarak antar wajah kami hanya sekitar 20 sentimeter. Kenapa sih, dia suka berbuat seperti itu?! Aku yang gampang salah tingkah ini kan jadi mati-matian berusaha terlihat biasa saja. Ku harap pipi ku tidak merona. Atau perubahan apapun itu pada wajahku, semoga tidak ada. Jika ada, semoga dia tidak menyadarinya.
"Apa yang akan kau lakukan!?? Memaksa dengan cara apa!?"
"Mencongkelnya." Refleks aku menarik wajah dan tubuhku ke belakang. Anak gila! Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu seperti hal normal yang biasa. Santai tanpa perubahan ekspresi!
"Tidak waras! Berlibur sana ke Lullin!" ujarku yang mengundang tawa keras darinya.
Aku bangun dari posisi duduk. Bukannya menyeret kursi maju dan masuk ke dalam kolong meja, aku justru menariknya mundur ke sudut. "Kau bereskan sisanya sendiri. Kamar tidur aku yang kuasai."
Meski aku menyebutnya perpustakaan kecil, sebenarnya ruangannya tak terlalu sempit, apalagi jika meja dan kursinya disudutkan. Sangat cukup untuk dihinggapi sebuah tempat tidur berukuran besar sedang untuk satu orang. Biarlah bagaimana Oxen mengaturnya, aku tidak mau ikut repot!
"Shiyaa." Oxen memanggil ku dengan penekanan di akhir pada huruf a. Aku menoleh tanpa bersuara.
"Selamat malam. Mimpi indah."
Tanganku mengelus lengan dimana bulu kudukku berdiri. Merinding mendengar ucapannya. "Sepertinya aku akan bermimpi sedang berada di ruang gelap dimana ternyata bukannya ruang tanpa cahaya tetapi karena aku tak punya mata sama sekali!!"
Aku meninggalkan ruang perpustakaan tanpa memperdulikan kekehan nya. Bukannya Inka, ternyata yang akan naik darah sesekali malah diriku. Sialan!!
***
Catatan penulis:
//
Saat cowok suka sama iris mata cewek yang ditaksir,
Cowok lain: [Tenang, anak kita yang punya juga gak papa~]
Meanwhile, Oxen: [Ku congkel saja~]
//
Wkwk, psycho bet ye 😆🤌🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
ETHERGALE [COMPLETE]
FantasyDunia ini... Terlalu membosankan untuk dianggap serius. Terlalu berbahaya untuk dianggap menyenangkan. Setidaknya aku tahu keduanya akan selalu seimbang takarannya. Tapi, sepertinya spesial untuk penyihir. Makhluk yang dianalogikan terbungkuk dengan...