PART 33

5 2 0
                                    

Bangun pagi, beres-beres, membersihkan diri, lalu sarapan sembari mengobrol bersama. Semuanya persis seperti biasanya di Ethergale, hanya berbeda tempat saja untuk kali ini.

Dan agaknya sedikit gila, kami mengakui itu. Bukannya melakukan diskusi untuk menyelesaikan tugas terakhir yang sesungguhnya, kami memutuskan membawa beberapa roti lapis sisa sarapan ke hutan dan duduk santai sembari melakukan permainan 'kebenaran atau tantangan' disana.

Aku sendiri merupakan penggemar berat permainan ini karena mengharuskan kita terbuka dan tidak jadi pengecut. Saat kau memilih 'kebenaran', kau harus siap membuka rahasia mu satu per satu. Jika memilih 'tantangan', bersiaplah menurunkan rasa gengsi atau bahkan harga dirimu. Terdengar sadis tetapi itulah sisi menyenangkannya. Haha!

Terlebih dahulu, kami memilih daerah yang cukup lapang kemudian menyingkirkan beberapa ranting berukuran besar lalu memunculkan karpet tipis lebar sebagai alas tempat duduk. Semua anak mengambil posisi duduk masing-masing membentuk pola lingkaran.

"Sebelumnya, ada 30 anak berkumpul disini. Saat memilih 'kebenaran atau tantangan' nantinya, kita tidak mendapat 29 pertanyaan atau 29 tantangan, bukan?"

Aku menyenggol Hugo, orang yang mengajukan pertanyaan tersebut yang duduk tepat di sebelah kiri ku. "Kau mau menjawab dan melakukan sesuatu sebanyak itu?"

Semenjak mengetahui kedua sahabat ku ini menjadi satu tim dalam tugas partner dan berkumpul kembali dalam keadaan canggung seolah terjadi perang dingin, aku berperan sebagai pihak penengah yang sibuk mempertanyakan keadaan masing-masing sembari sesekali membujuk mereka untuk bercerita mengenai apa yang terjadi tanpa memberi kesan memaksa. Aku pula yang jadi sering beriniasiatif untuk terus merangkul dan menggandeng mereka agar tetap bersama.

"Tentu saja tidak, maka aku pun bertanya."

"Tidak perlu, cukup satu 'kebenaran atau tantangan' saja." sahut Petrine.

Sebagai ketua kelas, Eric, mengorbankan tongkatnya untuk diletakkan di tengah dan menjadi tuas pemutar untuk memilih siapa yang pertama mendapatkan giliran ditanya atau diberi tantangan. "Tongkatnya mengarah padaku, padahal aku pula yang memutarnya. Memang tongkat sejati. Bolehkah aku mendapat giliran atau haruskah ku putar kembali?"

Kami sepakat untuk memberi Eric giliran pertama. Sementara ia memilih 'tantangan', aku mengajukan diri untuk memberi tantangan itu pada Eric. "Baiklah. Keluarkan semua keluh kesahmu selama dua tahun pelajaran menjadi ketua kelas kami! Tanpa filter apapun! Katakan dengan jujur!"

Eric meringis. "Penuh penekanan sekali tiap kalimat yang kau ucapkan, Shiya. Seolah-olah aku tak akan berani untuk mengatakan apa saja yang ada dalam pikiranku karena sesungguhnya itu memuakkan." Kami semua membisu mendengar kata terakhir yang menyentil hati kecil dalam lubuk terdalam masing-masing.

"Karena aku seperti punya 29 anak yang selalu punya pendapat masing-masing dan tidak takut untuk berinisiatif sendiri. Jadi, aku tidak jarang harus mengkoordinasi kalian bersama dan aku juga mendapat harapan dari guru yang sebenarnya ditujukan pada kalian tapi disampaikan kepadaku." Semuanya tak tahu harus bereaksi apa.

"Tapi kalian tidak membosankan, sih. Setimpal apa yang ku dapat dengan apa yang ku lakukan." Pada akhirnya, sorakan dan ucapan terimakasih berhamburan ditujukan pada ketua kelas kebanggaan kami.

Tuas selanjutnya mengarah pada Petrine. "Aku memilih 'kebenaran'!"

Dengan senyum mencurigakan, Rhodes memberi pertanyaan. "Beri tahu kami, salah satu hal terburuk yang kau lakukan di Ethergale!"

"Aku tahu kau melihatku dari balik rak waktu itu, Rhodes. Dan aku paham betul kau ingin anak-anak kelas mengetahui hal yang ku lakukan." Dengan terpaksa, Petrine melanjutkan kalimatnya. "Aku pernah mencuri kunci dan pergi ke ruang satu kemudian mengambil buku tanpa mengembalikannya sampai sekarang. Aku memang berniat meng-hak milik buku tersebut."

Aku bertepuk tangan salut kemudian mengacungkan jempol yang dibalas acungan jempol kembali oleh Petrine. Selayaknya sekolah sihir, banyak ruangan-ruangan rahasia tersembunyi maupun tidak yang tak bisa sembarangan dimasuki oleh murid-murid.

Salah satunya, adalah ruang satu. Karena perpustakaan Ethergale selalu ramai, semua warga sekolah tentu tau mengenai ruangan yang hanya boleh dimasuki oleh kepala sekolah dan kepala perpustakaan itu. Ruangan itu tak memiliki nama hanya saja, kami sering menyebutnya dengan 'ruangan satu itu' sehingga tanpa persetujuan, ruangan tersebut sekarang memiliki nama yakni ruang satu.

"Buku apa yang kamu ambil?" tanyaku.

"Tentang sihir turunan." Seketika aku menaruh pandangan pada Oxen dimana ia juga melakukan hal yang sama sehingga mata kami terpaut di waktu yang tepat.

Aku mendapat giliran sekitar 4 kali dimana seluruhnya aku memilih 'kebenaran'. Beberapa anak memprotes karena aku tidak memilih 'tantangan' namun sebenarnya bukannya aku tak mau. Semenjak giliran Petrine, aku terus memikirkan buku tentang sihir turunan itu. Aku ingin segera bertanya sehingga aku jadi tidak terlalu menikmati permainan yang sedang berlangsung.

Kami memutuskan untuk mengakhiri permainan saat hari menjelang siang. Aku paham dari raut muka anak-anak kelas, baik mereka ataupun aku sama-sama nerasa gelisah. Sudah setengah hari berlalu tapi belum ada solusi yang diajukan. Jika sampai tengah malam pergantian hari kami belum bisa melakukan apa-apa, entah apa yang terjadi dengan kami. Apakah kami tidak akan naik kelas?

Akhirnya, kami pun memutuskan untuk melakukan diskusi selepas makan siang nanti. Saat yang lain sibuk menyiapkan makan siang, aku menarik Petrine menjauhi keramaian dan mulai meluapkan rasa ingin tahu ku.

"Aku ingin kau memberi tahu ku tentang sihir turunan."

Petrine seolah berpikir sejenak. "Milik Oxen?" Mataku membelalak. Bagaimana dia bisa tahu aku ingin bertanya terkait anak laki-laki satu itu?

"Hei, tenang. Terlepas dari hubungan tak jelas kalian berdua, sesungguhnya aku gatal ingin berbagi hal yang ku ketahui ini." Petrine menunjukkan ekspresi tak sabar dan begitu antusias yang menggelitik jiwa ingin tahu ku. "Yah, kita semua tahu latar belakang dari keluarga Oxen begitu tertutup, bukan? Benar, hanya beberapa dari kita yang amat sedikit, atau paling jelas aku dan kau, tahu bahwa dia keturunan Dierks dengan kabar burung yang bagus yang masih dipertanyakan kebenarannya. Lalu suatu masa, keluarga ku diberitahu oleh keluarga teman baik ayahku yang... Ya, aku tidak tahu ini kebenaran pasti atau tidak pula, tapi sayang untuk diabaikan begitu saja, kan?"

Aku mengangguk pasti, menyimak dengan fokus penuh. "Bahwa keturunan Dierks punya darah campuran dari penyihir tulen dan serigala campuran."

Petrine memberi jeda untuk penjelasannya dan mengamati reaksi ku. "Jangan! Jangan membayangkan Oxen bisa berubah menjadi serigala di tengah malam bulan purnama. Itu tidak mungkin karena nenek moyang Oxen saja hanya berdarah seriga campuran. Dia tak akan pernah menjadi serigala tetapi dia mewarisi satu hal yang sangat unik sampai-sampai aku mengingatnya begitu jelas!"

"Apa?" tanya ku dengan jantung berdegup kencang menunggu jawaban.

"Keturunan serigala campuran mewarisi penglihatan yang tajam. Uniknya, di umur antara 16-18 tahun mereka melihat pancaran sinar yang istimewa. Pancaran sinar dari lawan jenisnya yang menunjukkan kalau orang itulah belahan jiwanya."

Bak tersambar petir, hatiku mencelos. Tulang kaki ku seolah menjelma lunak menjadi agar-agar. "Sungguh, Petrine?" Perempuan itu mengangguk begitu percaya diri.

Apa ini terjadi padaku? Apa Oxen melihat pancaran sinar ini... Dariku? Berarti... Aku dan anak laki-laki itu... Tidak, tidak. Hal yang bersifat turun-temurun pun tak selalu benar. Tapi bagaimana jika benar?

"Shiya."

***

Catatan penulis:
Hai!!
Apa kabar??
Disini siang, panas banget, parah.
Di daerah kalian juga, gak??

ETHERGALE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang