Bagian 2 : Langit Antariksa

11 1 0
                                    

Mulmed : Angkasa-Raina-langit childhood

❤❤❤

“Nana sayang Lala,” ucap Raina lembut. Saat ini keduanya sedang duduk di tepian danau yang tenang dan indah pemandangannya, tapi sepi akan pengunjung. Hanya berdua, sesekali gadis itu menoleh pada Langit di sebelahnya, menatapnya dengan penuh perasaan.

Kontrasnya, Langit hanya diam. Pandangan lelaki itu selalu tertuju ke depan, tak ada niat untuk beradu tatap dengan Raina. “Rain, jangan panggil aku Lala lagi. Aku bukan anak kecil,” kesal Langit berusaha terdengar cuek nan dingin.

Raina yang melihat Langit ngambek malah tersenyum tipis, sungguh menggemaskan melihat Langit bertingkah seperti itu. “Lala, kan, panggilan kesayangan Nana,” ucap si gadis.

“Aku enggak suka dipanggil Lala. Aku udah dewasa,” tegas Langit seraya bangkit dengan mendadak meninggalkan Raina.

“Lala, tunggu!” Raina mengejar Langit.
Sambil tersenyum jahil gadis itu mencoba menghadang Langit, menahannya pergi. Langit kesal dengan sikap Raina yang selalu mengganggunya. “Rain, bisa berhenti gak, sih? Jangan kaya anak kecil, ah!”

Raina tersentak oleh bentakan pacarnya yang lumayan keras. “Langit marah sama Nana?” Dengan cepat, mata Raina mulai berkaca-kaca menahan tangis.

Langit menghela napas panjang. “Enggak marah kok, cuman berhenti manggil aku Lala.”

“Tapi kak Angkasa ngizini Nana manggil Kak Sasa, kenapa Langit enggak?”
Lantas Langit memegang kedua bahu gadis itu.

“Karena aku bukan Angkasa, Rain. Dan jangan bandingin aku sama Angkasa, aku enggak suka.” Langit dengan wajah tak bersalahnya memarahi Raina. Alhasil, si gadis lugu jadi sesenggukan.

Langit mematung. Melihat Raina mengalirkan air mata, segala rasa sesal, marah, dan kecewa yang Langit pendam berbulan-bulan ini seketika sirna digantikan kepedihan dan perasaan bersalah.

Banyak sekali yang ingin dia tanyakan, ingin dia ketahui jawabannya segera. Tapi ia urung, ia maafkan. Tidak ada hal lain lagi yang lebih penting sekarang kecuali memeluk kekasihnya, menghapus segera kesedihannya.

“Jangan nangis, Rain. Aku enggak suka lihat kamu nangis,” gumamnya pelan.

Segera menurut, Raina cepat-cepat menghapus air matanya, bahkan ingus yang sempat menetes. “Langit punya tisu?” tanyanya.

“Enggak,” jawabnya singkat.

Tanpa aba-aba, Raina tiba-tiba menarik jaket yang dipakai Langit dan mengusap ingusnya di sana. Sontak saja, Langit kaget dan berteriak, “RAINAA!!”

Bukannya minta maaf, Raina yang sempat terperanjat malah semakin menjadi. Matanya berair lagi sembari cemberutan.

“Langit jahat, Nana benci sama Langit! Nana mau putus terus pacaran sama Kak Sasa aja.”

“Apa kamu bilang? Tarik kembali ucapan kamu!”

“Nana mau pu—“

Belum sempat gadis itu meneruskan kalimatnya, mulutnya sudah dibungkam oleh tangan Langit.

Raina mencoba berontak, tetapi tubuhnya malah ditahan. Satu-satunya perlawanan yang dimiliki Raina hanya menggigit tangan Langit hingga dirinya berhasil terlepas dari kukuhan pria itu.

Weeek!” goda Raina—yang ternyata hanya pura-pura menangis—melihat Langit kesakitan kemudian berlari menjauh. Tentu saja, Langit tidak akan membiarkannya kabur.

Terjadilah aksi kejar-kejaran antara Raina dan Langit di tepian danau, tempat dimana keduanya selalu menghabiskan waktu bersama.

Raina juga ingat kalau di sana adalah tempat kali pertama Langit menembaknya dua tahun yang lalu. Saking asyiknya berlari, Raina tak menyadari ada batu cukup besar di depan yang membuat tersandung dan pertahanannya runtuh saat dikejar Langit. Alhasil, lutut mulusnya dengan cepat mencium tanah hingga berdarah. Langit panik dan langsung menghampirinya.

“Rain, kamu enggak pa-pa?”

Sambil meringis kesakitan, gadis itu mencoba mengipas lututnya yang berdarah. “Sakit,  Langit,” keluhnya.

Langit pun langsung gerak cepat. Ia menawarkan punggungnya untuk Raina.

“Naik ke punggung aku. Kita pulang aja, ya, buat ngobatin luka kamu,” pinta Langit sudah bersiap.

Raina awalnya enggan untuk naik ke punggung Langit, tapi akhirnya dia turuti saja permintaan tersebut. Ia pun memposisikan tubuhnya untuk digendong Langit.

Di sepanjang perjalanan menuju motor Langit yang terparkir di ujung taman, Langit hanya bungkam, sementara Raina diam-diam tersenyum.

“Langit masih marah sama Nana?” goda Raina mentoel pipi Langit. “Nana tahu Langit itu sayang sama Nana, sama seperti Nana sayang sama Langit,” lanjutnya, membuat Langit diam-diam tersenyum tipis enggan menunjukkannya.

“Langit, kalau enggak ada Nana lagi, Langit baik-baik aja, kan?”

“Maksud kamu?” tanya Langit balik dengan cepat.

Raina menggeleng. “Nana cuman takut kalau suatu hari nanti Nana bakal ninggalin Langit.”

Langit mengerutkan keningnya. “Kamu ngomong apaan sih? Enggak jelas banget. Kamu enggak bakal kemana-mana,” tegasnya.

Raina tersenyum lebar lalu mengeratkan pelukan pada Langit. “Iya. Nana akan selalu bersama Langit, gak akan kemana-mana.”
Tiba-tiba Langit berhenti berjalan, membuat Raina kebingungan. “Kenapa berhenti?” tanyanya.

“Rain,” panggilnya. “Kalau disuruh milih, pilih aku apa Kak Asa?”

Raina ikutan kebingungan. “Kenapa nanya gitu? Jelas-jelas Nana akan pilih Langit. Kak Sasa juga baik sama Nana, tapi Nana cuman anggap Kak Sasa itu kakak. Soalnya,”—jeda sesaat—“Raina Aretta cuman cinta sama Langit Antariksa.”

Mendengar pengakuan Raina, senyum Langit mengembang besar. Segala keraguan dan tanda tanya dalam benaknya seketika sirna. Mungkin terkadang, perselisihan akan selalu hadir di antara mereka. Namun, gadis dengan lesung pipi yang sekarang ia gendong adalah dunianya. Tidak bisa dipungkiri lagi, Langit sangat mencintai Raina melebihi dunianya.

Mendadak, langit yang nyatanya masih berwarna biru sejuk mulai menetes. Perlahan, air-air yang jatuh dari atas cepat memperbanyak diri menjadi gerimis, menjadi hujan. Langit yang menyadarinya tampak terkejut. “Kok hujan? Ayo cepat kita pu—”

“Tunggu.”

Langit yang hendak berlari terurung niatnya karena cengkraman Raina. Lantas, gadis itu mulai turun dari balik punggung Langit, mengangkat tangannya, menampung rintikan hujan. Ia tersenyum lebar.

“Langit,” panggilnya, “ayo kita main hujan lagi.”

Mengabaikan sakit di lututnya, Raina mulai belarian di bawah hujan dengan hati riang gembira. Ia menari, melompat ke sana kemari, berputar-putar layaknya anak kecil.

“Ayo, Langit!” panggilnya antusias sambil melambai.

Langit enggan ikut serta. “Kamu bisa sakit, Rain, kalau main hujan,” tolaknya.

Masih bersikeras, Raina menarik Langit mendekat. “Sebentar aja. Nana rindu main hujan sama seperti waktu kita kecil dulu. Hujannya masih gerimis, kok.”

Apa daya tak sanggup lagi melawan, laki-laki itu pun nyengir dan seketika memeluk pinggang Raina. Sambil berputar-putar, mereka meniru gerakan berdansa, menjadikan suara hujan sebagai alunan melodi pengiring. Mereka berdua tertawa lepas, bahagia.

Ingin lama menikmati, tetapi hujan yang makin deras ini nyatanya tak mengizinkan. Langit pun menyudahi permainan mereka dan segera membuka jaketnya, mengangkat tinggi, jadikan payung untuk Raina. “Ayo kita pulang, Rain,” ucapnya.

Raina tersenyum puas lalu mengangguk. “Nana enggak akan melupakan kenangan kita hari ini, Langit.”

Kedua insan saling bertatap dengan penuh perasaan. Terdorong oleh suasana, Langit pelan-pelan mencondongkan wajahnya lalu mencium kening Raina. Ia pun balas tersenyum setelah itu.

“Aku juga, Rain.”


***

“Lo habis dari mana? Kenapa basah kuyup?”

Siapa sangka, suasana hatinya yang sangat baik langsung berubah buruk dalam seketika. Langit berpapasan dengan kakaknya tepat di pintu masuk. “Bukan urusan lo,” ketus sang adik sembari melenggos cepat. Baikan dengan Raina tidak menandakan dia akan baikan juga dengan Angkasa.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Langit sudah selesai mandi. Jam menunjukkan pukul lima sore sekarang, tapi perutnya sudah keroncongan. Maklum, kebanyakan bermain dan beraktivitas membuatnya cepat lapar. Tidak melihat adanya keberadaan Beta—sedang belanja bulanan—dan ibunya—sedang arisan, ia pun masuk ke dalam dapur sendirian, mau masak mie instan.

Langit sedang sibuk memikirkan untuk memasukkan telur atau kornet dulu ke dalam mienya, sampai tiba-tiba ia mendengar suara dobrak pintu yang memekakkan telinga. Dia yang penasaran pun melirik keluar dari dapur, dan mendapati Angkasa yang berlari cepat dari kamarnya menuju pintu ke luar rumah.

“Kenapa dia?” tanya Langit keheranan. Tidak ingin ambil pusing atau ikut campur, ia pun melanjutkan masakannya dalam diam.

Tak lama, mie instan kornetnya sudah terhidang. Baru ketika Langit hendak menyantapnya, terdengar lagi suara yang tidak kalah berisik. Suara siren ambulans.
“Ada apa, sih, hari ini? Berisik banget,” protesnya merasa terusik. Langit hanya ingin makan dengan tenangdan lanjut telponan dengan Raina habis ini. Gadis itu pasti su—

Langit tiba-tiba berhenti bergerak. Sesuatu terlintas di otaknya, membuatnya berpikir keras. Tingkah laku Angkasa dan suara siren. Ia ada firasat buruk.

Secepat kilat Langit beranjak ke teras rumahnya. Benar saja, ketika tiba, ia melihat kakaknya memasuki ambulans, menutup pintu, dan mobil besar putih itu dengan cepat melaju pergi. Kedua mata Langit masih melotot lebar.

Apa yang telah terjadi?

Tbc

Malam semua, aku kembali up, semoga kalian suka, dan jangan lupa tinggalkan pesan atau like cerita ini yaa

Salam
Inoyomi


Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang