Malamnya, di suatu puskesmas tengah kota,
“Sudah jam tujuh malam, nih. Lo nggak lapar, Sa? Gue mau pesan gofood, lo mau nebeng, gak?”
Angkasa menoleh. “Lo pesan apa, El?” tanyanya.
Erlangga—sohib seperjuangan pada giliran jaga malam hari ini, terlihat masih fokus pada ponselnya kemudian berkata,
“Mungkin bakso atau mie ayam. Lo?”“Boleh, mie ayam satu, pake pangsit,” pesan Angkasa lalu berkutat kembali pada laptopnya. Jemarinya sudah menari dengan lincah di atas keyboard bagaikan seorang programmer handal yang sedang mengkoding data.
“Lo lagi apa?” tanya Elang setelah selesai mengorder makanan.
“Mengetik laporan data dan penelitian kesehatan masyarakat yang berkunjung ke puskesmas dalam 6 minggu terakhir ini. Juga proposal pengajuan penambahan obat. Ada beberapa obat manjur yang gue tau tapi masih belum tersedia di sini,” jelas Angkasa panjang lebar.
Penasaran, Erlangga melirik ke layar laptop Angkasa. Tidak mengada-ngada, sohibnya memang benar sedang membuat laporan yang bukan sekadar laporan. Data yang diketik tampak akurat, dengan berbagai grafik tertera, nama keterangan ilmiah, dan juga gambar yang terlampir serba lengkap. Jika dibandingkan, laporan yang selama ini dibuat oleh Erlangga bagaikan tulisan anak TK, terlalu jauh perbedaan mereka.
Erlangga menghela napas. “Boleh gak, sekali-kali lo enggak sempurna, gitu. Gue berasa kayak anak kecil kalo lagi dekat sama lo, gak bisa apa-apa.”
Angkasa menyengir kecil. “Semua orang punya keahlian yang berbeda, Elang. Lo sendiri pandai berhitung dengan cepat dan tepat seperti kalkulator. Nah, itu gue gak bisa.”
“Apa gunanya pandai matematika dan menjadi dokter? Apa gue emang salah pilih jurusan?”
“Jangan salah, dokter juga harus bisa berhitung, seperti salah satunya menghitung dosis obat yang tepat kepada pasien terutama anak kecil. Kalau salah bisa jadi overdosis, dan itu berbahaya sekali.”
“Ok, ok, fine. Lo benar. Kembali buat laporan lo, gue gak ganggu lagi. Gue mau keliling bentar, suntuk duduk terus,” ujar Erlangga yang tak sanggup beradu argumen dengan Angkasa, memilih untuk keluar ruangan.
Sesuai ucapan Erlangga, Angkasa kembali mengetik laporannya. Menjalani Koas Stase IKM, ia dan Erlangga ditugaskan pada puskesmas dan malam ini mendapat giliran jaga malam di bagian unit UGD. Entah beruntung apa sial, hari ini tidak ada pasien yang berkunjung sehingga mereka lebih banyak bosan setelah selesai mengerjakan tugas umum.
Dirasa cukup letih berkutat di layar laptopnya, Angkasa mencoba meregangkan tubuhnya, sesekali menguap lebar. Bangku temannya masih kosong.
“Masih belum datang makanannya? Sudah jam berapa ini?” tanyanya bermonolog. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15 malam saat ia mengeceknya.
“Beli kopi dululah.”
Tepat di sebelah gedung puskesmas tempatnya bertugas, ada sebuah mini market kecil. Mumpung sedang sepi, Angkasa menggunakan waktu ini untuk ke sebelah berbelanja kopi dan beberapa makanan ringan. Tak butuh waktu lama, ia sudah selesai bertransaksi lantas keluar dari mini market. Baru beberapa langkah berjalan, ia tak menyadari seorang perempuan yang terburu-buru dan akhirnya tabrakan pun tak terelakan.
Bruk!
Terkejut, si perempuan yang ditabraknya ternyata membawa pop mie yang masih penuh dan panas, sehingga isinya sukses
tumpah mengenai tangan dan sweater-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain(a) between Sky & Space
RomanceDi dalam persahabatan antar tiga orang dengan jenis kelamin yang berbeda, sudah menjadi hal yang wajar jika terjadinya saling jatuh cinta. Begitupun dengan dua orang yang sama-sama mencintai satu orang, yang biasa kita sebut dengan Cinta Segitiga. ...