Bagian 7 : Pelukan tak sengaja

7 1 0
                                    

Di pemakaman umum.


Langit tampak mendung disertai hembusan angin yang cukup kencang. Beberapa daun kering berjatuhan layaknya musim gugur. Tanah pemakaman yang sekarang sudah mengering, dengan setiap nisan tertulis nama yang kini telah menjadi kenangan dari orang yang paling disayangi. Tak terkecuali satu nama yang cukup membuat sesosok laki-laki yang kini berjongkok sambil membawa sebuket mawar putih di atas batu nisan yang bertulis "Raina Aretta."

"Rain, apa kabar? Kak Sasa datang lagi tahun ini."

Angkasa memaksakan senyum. Sebuah senyuman yang sangat terluka dan bergetar. Ia menyentuh kerah dari jas putih yang dikenakannya. "Lihat ini, Rain. Kak Sasa udah wisuda dan sekarang sedang jalani program Koas, semacam asisten dokter gitu. Lalu dalam beberapa tahun kemudian, Kak Sasa akan menjadi dokter sungguhan, seperti yang ingin Rain lihat."

Sungguh pas, tiba-tiba terdengar suara burung gagak yang seolah sedang mengejek ucapannya. Angkasa kembali menaikkan sebelah sudut bibirnya. Ia mengelus perlahan cetakan nama Raina di batu nisan.

"Aku rindu kamu, Rain. Apa kamu juga sama merindukan Kak Sasa?"-Angkasa menyeringai-"Kurasa kamu lebih merindukan anak itu daripada kakakmu ini. Anak bodoh itu udah Kak Sasa ajak, tapi dia tetap gak mau datang tahun ini. Jadi ... maafin Kak Sasa, ya?"

Tak lama, alarm dari ponsel Angkasa berbunyi. Cepatnya satu jam telah berlalu, Angkasa sudah harus kembali bertugas. Seusai berpamitan singkat, pria berkacamata itu pun berjalan meninggalkan area pemakaman. Anehnya tidak disadari, ternyata ada seseorang bersembunyi di balik salah satu pohon rindang yang Angkasa lewati. Orang itu menatap lekat Angkasa saat mereka berpapasan, berharap tidak ketahuan. Sampai Angkasa sudah memasuki mobilnya lalu melaju pergi, barulah sosok itu keluar dari tempat persembunyian.

Pria misterius berpakaian serba hitam berjalan memasuki barisan makam. Langkahnya sangat tegas dan yakin, tanpa ada keraguan akan salah jalur. Ya, karena dia baru saja melihat kakaknya berjalan dari arah yang sama. Sesampai di tujuan, ia melepaskan topi dan masker hitamnya, lanjut menaruh buket bunga lili putih di makam mantan kekasihnya yang menyukai bunga tersebut.

"... Hai," gumamnya sangat pelan. Lalu, terdiam.

Tidak tahu itu benar fakta atau termakan bualan Bima, tapi di sinilah akhirnya Langit berdiri. Hembusan angin membawanya, memaksanya ke sini walau ia yakin masih sangat enggan. Sebab, dengan melihat nama Raina yang tercetak besar di hadapannya lagi-lagi membuat hatinya sakit tidak kentara. Kedua mata pun turut berkaca dengan cepat.

Langit mengelap matanya dengan kasar. "Gak, gak, aku gak menangis. Kamu pasti lagi ketawa bilang aku cengeng, kan? Pokoknya kamu salah lihat!" lontarnya.


Kali ini seolah leluconnya garing, hanya ada suara hembusan angin yang bertiup melewati telinga Langit. Dia yang sempat menunjukkan wajah kesalnya-karena terbiasa-pun datar kembali. Tidak ada Raina yang menertawakannya lagi tidak peduli apapun yang ia lakukan. Senyum kecut tiba-tiba terhias di wajahnya.


"Harusnya gue gak usah datang ...."

***

Tak disangka di tempat yang sama pula, sosok perempuan yang mengenakan sweater coklat dengan rambut terurai juga melakukan ziarah di dua makam yang saling bersebelahan. Ia meletakkan dua buket bunga Baby Breath putih di atas makam di depannya.

"Pah, Mah, Rayn datang lagi," ucap Rayna sembari berjongkok. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun saat menatap dua makam yang baru saja ia kunjungi beberapa bulan yang lalu. Dia tidak suka datang ke tempat seperti ini, tapi dia harus datang hari ini.

"Pah, aku membuat kesalahan," tuturnya pelan. "Aku ... cangklong berharga Papah rusak, aku gak bisa menjaganya. Aku juga gak menuruti perintah Papah dan menghajar orang lagi. Aku udah gak bisa jadi orang sabar ataupun anak baik seperti keinginan Papah. Aku menderita di sini, Pah."

Rayna beralih ke makam ibunya. Tidak seperti ayahnya yang menemani Rayna hingga dirinya berusia 12 tahun, ibunya sudah meninggal saat dia baru beranjak 2 tahun. Ia terlalu kecil untuk mengingat sosok ibunya, tapi kata ayahnya, beliau sangat sayang dengan putri kecilnya itu. Sayangnya, kenyataan itu tidak cukup untuk Rayna membalas rasa yang sama kepada ibunya. Ia tidak punya hal apapun yang bisa diutarakan kepada beliau. Dan terlepas sayang atau tidak, Rayna yakin bahwa kedua orang tuanya itu jelas sama-sama merasa kecewa terhadap dirinya. Kecewa pada putri semata wayang yang tidak bisa sekadar memegang janji untuk menjalani hidup dengan baik.

"Kenapa kalian nggak bawa aku bersama kalian saja?"

Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegar. Kilatan panjang kedua beserta guntur yang muncul lagi di antara awan kelabu menyadarkan Rayna dari lamunan. Merasa urusannya sudah selesai-dan tidak mau beresiko terguyur hujan, ia segera beranjak.

Di lain sisi, Langit yang ternyata juga lebih banyak melamun memutuskan untuk pulang juga. Pada hari yang sama 2 tahun lalu, dia dan Raina bermain hujan. Sebelum akhirnya, hujan kesukaan Raina itulah yang juga membunuhnya. Jadi, Langit sudah benci dengan hujan sekarang, tidak ingin menyentuhnya sama sekali.

Entahlah memang sial atau hanya sebuah kebetulan yang klise, kedua insan yang berlari dari arah yang berlawanan pun bertertabrakan. Kedua bahu mereka saling menyenggol kuat, hampir terjatuh bersama.

"Woi, hati-hati, dong, kalau jalan! Pake mata, kek!" teriak Langit sungguh kesal.

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang