Bagian 25 : Rumah sakit

0 0 0
                                    

Sesampainya di rumah sakit, segalanya bergerak dengan cepat. Langit yang sudah tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu segera dipindahkan ke brankar dorong. Dia yang tubuhnya memanas karena efek samping dari luka mulai mengingau kesakitan.

Keringat dingin pun turut membasahi sekujur tubuhnya di kala bercak merah di lilitan sweater pada perut Langit meluas seiring waktu.

“Mohon untuk tunggu di luar,” pesan salah satu perawat dengan tangkas kemudian berlalu masuk ke dalam ruang IGD. Bima dan Rayna yang tertahan di luar tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menurut dan menunggu dengan gelisah.

Selang beberapa saat, HP Bima bergetar kuat di dalam saku. Ia yang menyadarinya pun mengangkat panggilan tersebut.

“Hei, Bim! Ke mana aja sih lo? Chat gue nggak dibales, telepon juga nggak diangkat.”

“Langit masuk rumah sakit, Pan.”
Hanya satu bait yang Bima ucapkan, tapi suara gaduh dari sambungan telepon tersebut sangat keras sampai-sampai Rayna yang jaraknya hampir satu meter lebih bisa mendengarnya dengan jelas. Bima—tak lupa melindungi telinganya—hanya menjawab singkat yang seperlunya lalu mengakhiri telepon mereka.

“Lo kasih tahu mereka?” tanya Rayna spontan.

“Iya,” jawabnya. Setelah lebih tenang sedikit, Bima memikirkan kembali ucapan-ucapan Langit sebelum jatuh pingsan. Ia paham bahwa sahabatnya itu tidak ingin membesarkan masalah dengan membawanya ke rumah sakit, begitupun mengabari yang lain. Tapi tetap saja, mereka semua berhak mengetahui keadaan Langit tidak peduli Langit sendiri setuju apa tidak.

***

Usai memarkir motor dengan asal, Topan dan Orion berlari cepat memasuki rumah sakit. Mengabaikan segala teguran dari petugas di sepanjang lorong, mereka terus berlari seolah menghindari kejaran maut hingga tiba dan berhenti tepat di depan ruangan IGD. Bima dan Rayna yang masih setia menunggu secara serentak menoleh saat menyadari kehadiran mereka.

“Bim, gimana kondisi Langit?” tanya Topan dengan napas tersengal-sengal.

“Masih ditangani sama dokter.”

Orion mengamati penampilan Bima sejenak barulah bertanya, “Apa yang terjadi, Bim? Kenapa baju lo banyak darah?”

“Ini darah Langit. Langit terluka kena—”

“Kenapa? Apa yang terjadi sama Langit? Kenapa Langit bisa masuk rumah sakit?” Aurora beserta Lunaya yang baru saja tiba—tidak bisa menyamai kecepatan lari Topan dan Orion—langsung menyela. Wajah kedua perempuan ini tidak kalah panik dan cemas.

“Ada apa dengan Langit, Bim? Apa dia kecelakaan? Apa dia terluka parah?” tanya Aurora lagi sungguh histeris. Air mata sudah siap mengalir dari kedua matanya yang berkaca-kaca.

“Langit terluka kena tebasan pisau. Dia lagi diobati sama dokter,” jawab Rayna menggantikan Bima yang terus-menerus ditarik dan didesak oleh Aurora, kesulitan untuk berbicara.

Alih-alih menghujaninya pertanyaan beruntun, Aurora justru mengamati Rayna dengan sangat lekat. Ia menyadari sesuatu yang sangat jelas tapi anehnya terabaikan oleh yang lain.

“Kenapa lo pake seragam Andromeda?”
Semuanya serentak menoleh dan akhirnya sadar juga.

“Bener juga, kenapa lo bisa pakai seragam Andromeda, Rayn? Lo ada hubungan sama sekolah itu?” tanya Orion kebingungan.

“Itu sekolah gue dulu sebelum pindah ke Galaksi Biru. Gue juga udah gak ada hubungan apa-apa sama Andromeda,” jelas Rayna sesingkat mungkin.

“Kalo lo udah nggak ada hubungan apa-apa sama mereka, kenapa masih pakai seragamnya?”

“Gue—”

“Apa jangan-jangan lo itu mata-mata dari Andromeda?” tuduh Topan tiba-tiba. Ia menoleh ke arah Bima dan bertanya, “Apa ini semua gara-gara Andromeda kalian jadi kaya gini? Apa mereka mau balas dendam karena kalah tawuran waktu itu?”

“Jadi Rayna pindah ke sekolah kita dan pura-pura dekatin Langit buat balas dendam?”

“ENGGAK!” seru Rayna dengan suara yang tinggi terhadap tuduhan ngasal dari Topan dan Orion. Dirinya tidak cukup gila sampai bermain mata-mata seperti itu. Lagipula, selama ini Langitlah yang mendekatinya, bukan sebaliknya.

“Kalian salah paham. Rayna bukan mata-mata. Justru dia disandera sama mereka dan Langit bisa terluka karena mau nyelamatin Rayna,” tutur Bima menjelaskan menurut sudut pandangnya.

“Bisa jadi itu hanya sandiwara.” Aurora ikut menimpali. Ia masih memandang Rayna dengan tajam. “Lo yang ngerencanain semuanya dengan pura-pura deketin Langit biar Langit luluh sama lo, terus lo sama temen-temen Andromeda lo lanjut nyelakain Langit, iya kan, Rayn?”

“Gue—”

Rayna menarik napas panjang dan memutar bola matanya. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah. Sepertinya percuma ia membela diri ataupun menjelaskan karena mau mengucapkan apapun tetap tidak ada yang mau mendengarnya.

“Terserah kalian semua mau mikirin apa. Intinya gue tetap akan menunggu di sini sampai Langit bangun. Dia terluka gara-gara gue,” balas Rayna keukeuh dengan pendiriannya. Tentu saja hal ini tidak diterima oleh yang lain, terutama Aurora.

“Apa? Lo masih mau pura-pura baik di depan gue? Gak usah munafik jadi orang, pergi lo dari sini!”

Bersamaan dengan teriakan penuh emosinya, Aurora mendorong Rayna sekuat tenaga, membuat gadis itu yang sama sekali tidak ada persiapan ataupun perlawanan spontan terhempas. Dirinya hampir terjatuh kalau saja ia tidak ditangkap oleh seseorang yang ada di belakangnya. Rayna refleks menoleh dan terkejut.

“Kak Asa?” 

Pria berkacamata itu juga tampak terkejut.

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang