Bagian 12 : Pertemuan kedua

0 0 0
                                    

Pagi hari jam 6.20. Cuaca hari ini lumayan baik, cerah berawan tidak terik. Seolah keindahan langit abu dengan sedikit sentuhan jingga ini tidaklah memesona, wajah Angkasa tidak berekspresi. Matanya memandang jauh ke atas, hanya menyiratkan kekosongan.

“Ada apa, Asa? Kok keliatan banyak pikiran?” tanya Carina yang saat ini sedang duduk tepat di depannya.

Angkasa menggeleng pelan. “Gak pa-pa,” jawabnya spontan.

Carina meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong lalu sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat dan memicingkan mata. “Gue tau lo sering melamun akhir-akhir ini. Apa ada masalah?”

“Serius, Carin, gak ada apa-apa,” ujar Angkasa bersikeras.

“Ok, kalo begitu, apa yang barusan gue katakan?”

“Lo cerita stetoskop lo dihilangkan Philip sehari sebelum ujian kemarin. Jadi lo minta dia gantikan yang baru Stetoskop Littmann Classic III Special Edition warna merah. Betul?”

Carina yang hendak menyerang mengira Angkasa lengah pun mundur perlahan. Wajahnya cemberut. “Ternyata lo dengar. Gak perlu lengkap gitu juga kali,” ujarnya.

Angkasa tersenyum kecil menanggapinya. Lalu pada waktu yang bersamaan, tampak Erlangga yang berjalan keluar dari toilet samping kantin tempat mereka duduk.

“Sorry lama, mules gue,” ucap Erlangga sambil nyengir dengan wajah yang bersalah.

Carina mendengkus. “Sudah biasa. Kami paham dengan kelakuan lo, El,” sahutnya. Sahabat sejak SMA-nya ini termasuk tipe yang demam panggung akut. Setiap ada acara ataupun mengikuti sesuatu yang baru, yang melibatkan perubahan atau tampil depan umum, Erlangga akan gugup dan panik berlebihan, berakhir dengan sakit perut.

“Kalau lo gini terus, apa bisa mengoperasi pasien?” lanjut Carina bertanya murni penasaran.

“Makanya sudah gue bilang gue salah pilih jurusan. Mungkin gue akan jadi peneliti saja, atau jadi apoteker meracik obat gitu. Argh, harusnya gue masuk farmasi.” Erlangga tampak frustasi dengan dirinya sendiri, insecure-nya kambuh lagi.

Angkasa menepuk ringan pundak sahabatnya. “Sudah, jalani aja dulu. Lo bisa bertahan sampai sekarang tandanya lo bisa, Elang. Lo hanya perlu adaptasi dan lebih percaya sama diri lo sendiri.”

Erlangga tampak terharu. Karena terbawa suasana, ia hampir memeluk Angkasa, tapi segera dicegah oleh Carina. Ada beberapa orang yang berada di sana selain mereka.
“Jangan malu-maluin, ah,” peringat wanita itu. “Ayo kita masuk, waktunya sudah mau sampai.”

Usainya berkata, mereka bertiga pun berjalan meninggalkan area kantin dan memasuki rumah sakit umum daerah, lebih tepatnya ke ruang yang akan dilaksanakan orientasi menerima anggota koas-koas baru dari beberapa universitas, termasuk universitas asal mereka.

Setelah menjalani Koas Stase IKM selama total 12 minggu lamanya, Angkasa melanjutkan studinya ke bagian Koas Stase Anak bersama kelompoknya. Berbeda saat dirinya bertugas di puskesmas yang berbeda-beda—karena ada program perpindahan tempat—dan turun langsung ke lapangan membaurkan diri dengan masyarakat, kali ini ia sepenuhnya akan berada di dalam rumah sakit yang telah ditentukan kepadanya, fokus belajar dan mendapatkan pengalaman nyata menangani pasien khususnya anak-anak.
Jam menunjukkan pukul 7 tepat. Dari yang awalnya hanya beberapa orang, sudah ramai berkumpul dan duduk di tempat yang telah tersedia. Orientasi pun dimulai ketika pemilik rumah sakit dan para penanggung jawab, termasuk dokter-dokter yang menjadi pembimbing tiba. Mereka memperkenalkan diri masing-masing jabatan sebagai apa, serta menjelaskan secara singkat latar belakang rumah sakit tempat mereka bertugas ini.

Singkat cerita, orientasi umum yang berlangsung selama 2 jam sudah selesai. Semua kelompok mulai berkumpul dengan pembimbing masing-masing. Dokter konsulen yang menjadi pembimbing kelompok Angkasa adalah seorang dokter wanita yang ramah dan berwibawa. Walau penampilannya tampak muda, ternyata beliau merupakan dokter yang sudah berpengalaman hampir puluhan tahun lamanya. Selesai pengenalan singkat, mereka lanjut berkeliling mengenali lingkungan serta pekerja medis lainnya yang akan mereka temui selama 12 minggu ke depannya.

“Nama saya Angkasa. Mohon bantuan untuk ke depannya,” ucap pria berkacamata ini memperkenalkan diri sambil tersenyum simpul kepada beberapa perawat di balik meja resepsionis.

Mereka yang rata-rata berjenis kelamin perempuan tersipu malu melihat senyum maut Angkasa. Bahkan, ada seseorang yang wajahnya memerah padam bak bertemu dengan idola favoritnya.

“Mas Angkasa, masih single? Ada yang mau ajak malam minggu, nih,” canda salah seorang perawat dengan natural.

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang