Bagian 13 : Rumah sakit

3 0 0
                                    

Paman Baskara dilarikan ke rumah sakit. Itulah kabar yang didapatkan Rayna secara tiba-tiba saat dia sedang jam istirahat kedua di sekolahnya. Berita mengejutkan yang tidak pernah terbayangkan akan ia dengar dari seorang olahragawan, apalagi tipe pamannya yang begitu ketat menjaga kesehatan itu, membuat Rayna cemas. Sepanjang jam kelas terakhir ia sama sekali tidak bisa fokus dengan pelajaran. Maka, begitu sekolah berakhir, Rayna segera berangkat ke rumah sakit alih-alih pulang ke rumah.

“Pak Baskara mendadak pingsan,” ucap Harry, salah satu karyawan yang bekerja di gym dengan suara tercekat.

“Kenapa dia bisa pingsan?” lanjut Rayna bertanya masih sambil mengatur napas. Ia setengah berlari ke ruang tunggu ini begitu tiba di rumah sakit, tidak ingin mengulur waktu saking cemas.

Wajah Harry tampak pucat saat ia menggeleng. “Gue juga gak tahu. Seperti biasa, Pak Baskara angkat-angkat besi sebelum jam makan siang. Gue lagi di meja kasir saat itu. Pas masuk untuk memanggilnya makan, Pak Baskara sudah pingsan di lantai.”

“Angkat besi? Berapa kilo?” Rayna mulai berpikiran negatif.

Harry menggeleng lagi. “Enggak, kok. Nggak berat, hanya 50 kilo. Pak Baskara gak tertimpa barbel,” jawabnya cepat, sedikit melegakan Rayna. “Tapi, bahu Pak Baskara bentuknya aneh. Sepertinya patah atau tergeser tulangnya.”

Perasaan Rayna tidak jadi lega. Ini sama sekali bukan kabar yang baik.

Tak lama berselang, pintu ruang UGD terbuka. Rayna dan Harry langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar.
“Bagaimana keadaaan paman saya Baskara, Dok?” tanya Rayna langsung.

“Pasien Baskara mengalami Heat Stroke, kondisi tubuh yang kelebihan panas. Sepertinya pamanmu beraktivitas terlalu ekstrim pada cuaca atau tempat yang panas tanpa istirahat. Tapi keadaannya sudah stabil. Kami memberikannya obat infus untuk menurunkan suhu tubuh,” jelas sang dokter.

“Kalau lengannya bagaimana?” Kali ini tanya Harry.

Dokter menghela napas pendek. “Bahunya dislokasi. Sebenarnya kondisinya tidak begitu parah, tapi ketika ingin kami perbaiki posisi tulangnya, pasien ngotot untuk tidak menggunakan obat bius. Dia berhasil menahan sakitnya, tapi malah kram otot.”

Setelah dokter selesai menjelaskan serta menyampaikan beberapa pesan, Rayna dan Harry pun dipersilakan untuk masuk. Mengabaikan beberapa pasien dan petugas medis yang masih berada di dalam ruangan yang sama, Rayna berjalan dengan cepat menuju ke tempat Baskara dirawat.

“Paman!” seru Rayna setibanya di sana. Terlihat pamannya terbaring di ranjang pojok ruangan.

“Tenang. Aku belum mati,” balas Baskara enteng, tidak menyadari raut wajah Rayna yang sudah berubah menjadi garang.
“Apa yang telah terjadi? Kenapa Paman bisa ceroboh seperti ini?”

“Ya begitulah. Namanya juga orang tua, sudah mulai pikun.”

Rayna menggigit bibirnya geram. Apa pamannya ini tidak tahu kalau dirinya mengkhawatirkannya? Meskipun hubungan mereka lebih cocok disebut pasangan pelatih dan murid ataupun bos dan karyawan, tapi Rayna juga sudah menganggapnya sebagai ayah sendiri. Watak Paman Baskara yang keras lumayan mengingatkannya pada sosok mendiang Ayah.

“Ngomong-ngomong kenapa kalian berdua datang ke sini? Siapa yang jaga gym?”
“Kondisi udah kayak gini masih saja pikirkan gym? Kesehatanmu lebih penting, Paman!”

Baskara merengut. “Tentu saja harus kupikirkan. Kalau nggak, darimana dapat uang untuk hidup dan bayar gaji kalian berdua? Lagian, kondisiku baik-baik saja, hanya perlu istirahat kata dokter.”

“Tapi—”

“Pokoknya salah satu dari kalian harus cepat pulang! Aku gak bisa tenang kalau gak ada orang yang jaga di sana!”
Rayna menyentuh dahinya seraya menarik napas dengan kasar. Ia lupa kalau Paman Baskara juga sama keras kepalanya dengan ayahnya dulu.

***

Setelah berdebat cukup lama, akhirnya diputuskan Rayna yang akan balik ke gym Baskara, sekaligus menggantikannya untuk mengajar bela diri kepada anak-anak di dojo sore nanti. Sementara itu, pamannya—hampir memaksa untuk segera dikeluarkan—dipindahkan ke ruang rawat inap, melanjutkan perawatannya selama beberapa hari sampai sembuh total. Harry yang akan bantu menjaganya—sempat diusir juga karena malu katanya.

“Makanya cepat menikah! Emang enak sendirian ampe jadi kakek-kakek tua?” Itulah yang diucapkan Rayna terakhir kalinya—setengah kesal setengah canda—sebelum ia melarikan diri dari Baskara yang ingin membentaknya.

Sekarang, Rayna dalam perjalanan untuk keluar dari rumah sakit. Karena panik tadi, ia hanya memikirkan kondisi Paman Baskara. Namun, ketika sudah tenang sekarang, Rayna baru merasakan bahwa kedua fisik dan mentalnya ternyata sangat letih.

Hari ini terhitung hari ke-15 Rayna pindah ke sekolah baru. Sudah setengah bulan ia menjadi murid dari sekolah SMA Galaksi Biru. Dan, hanya ada satu kata untuk mendeskripsikan kehidupannya di sekolah tersebut.

Capek.

Tidak, Rayna bukan capek dengan banyaknya pendidikan yang ia dapatkan di sekolah tersebut. Dia capek karena selalu diganggu.

Awalnya, Rayna mengira perselisihannya dengan Langit akan selesai setelah hari mereka dihukum menyapu bersama. Namun, itu salah. Meskipun tidak terang-terangan dirundung seperti di sekolahnya dulu, ia tetap tidak bisa melewati hari-hari sekolahnya dengan tenang. Ada saja ulah Langit cs yang bertujuan untuk mempermalukannya—walau banyak yang gagal seperti kejadian kodok kemarin. Jika mau dibandingkan, gangguan dari mereka hanyalah permainan yang kekanak-kanakkan daripada penindasan yang ia terima dulu.
Rayna membuang napas panjang. Masalah di sekolah bikin pusing, sekarang dia juga dibuat pusing sama pamannya dengan tugas-tugas tambahan yang tidak pernah dia minta dengan ikhlas. Belum lagi Tante Helina yang sesuka hati sodorkan pekerjaan rumah, padahal sudah ada pembantu di rumah. Hidupnya sudah berat kenapa tambah berat lagi? Sepertinya lama-lama dia bisa depresi.

Atau dia sudah depresi?
“Ayo tangkap!”

Tanpa disadari, Rayna yang berjalan sambil melamun telah membawa dirinya tersesat sembarang arah. Bagai orang linglung, ia celingak-celinguk mengamati sekitar, yang ternyata ada di perbatasan jalan. Kemudian di sudut jalan ini ada sebuah area bermain anak yang cukup luas, di mana yang Rayna sadari adalah asal suara tadi. Ternyata ada sekelompok anak kecil yang sedang bermain di sana.

Timbul rasa penasaran, Rayna berjalan mendekat untuk melihat, apa yang sedang dimainkan anak-anak tersebut, terutama yang barusan berteriak. Tanpa disadari lagi, dalam sekejap wajahnya pun menjadi sasaran empuk bola karet yang meleset, mengejutkannya.

“Kakak itu mimisan!”

Di kala semua anak di hadapannya melotot kaget, Rayna justru kebingungan. Siapa yang mimisan? Gue?
Untuk memastikan, Rayna refleks mengangkat jemarinya dan menyentuh pangkal hidungnya. Benar ada darah, bahkan sudah menetes ke lantai saking derasnya.

“Rayna?”
Mendengar namanya dipanggil, Rayna menengadah. Matanya spontan membelalak saat menyadari siapa sosok yang kini berdiri di hadapannya dengan wajah kebingungan campur kaget.

“Kak Angkasa?”

Daripada membalas sapaannya, Angkasa yang menyadari adanya aliran darah dari hidung Rayna langsung bergerak cepat. Ia melangkahi pagar pembatas dengan kaki jenjangnya, kemudian menahan hidung gadis itu dengan sapu tangan yang dikeluarkan dari balik sakunya.

“Kepalamu hadap ke atas. Ayo kita duduk,” perintah Angkasa sembari membimbing Rayna ke bangku panjang yang tersedia, segera merawatnya.

***

Dengan pengobatan Angkasa dan bantuan medis dari perawat yang juga ada di sana, mimisan Rayna dengan cepatnya pun berhenti. Selain baju dan lantai yang sedikit ternoda oleh tetesan darah, Rayna tidak menunjukkan gejala berbahaya lainnya.

“Apa kamu punya kebiasaan mimisan dari kecil?” tanya Angkasa mulai interograsi layaknya dokter.

Rayna menggeleng. Ia termasuk orang yang sangat jarang mimisan. Tidak mungkin juga hidungnya bisa berdarah gara-gara kena bola karet. Sangat memalukan.
“Apa akhir-akhir ini kamu melakukan banyak aktivitas dan kurang istirahat?”
Kali ini Rayna mengangguk, tapi kemudian menggeleng lagi. “Aku ... lagi banyak pikiran,” ungkapnya.

Angkasa membenarkan kacamatanya. “Berarti kamu mimisan karena kelelahan, Rayn. Stress juga termasuk salah satu penyebab kelelahan.”

“Oh, begitu ya ....” Siapa sangka Rayna sudah sampai di tahap “capek” yang mimisan. Ini rekor baru.
“Kalau kamu mau, kamu bisa cerita. Mungkin bisa sedikit meringankan beban pikiranmu,” tawar Angkasa mendadak.
Rayna agak terkesiap mendengarnya. Kalau mau jujur, Rayna tidak suka bercerita tentang dirinya sendiri. Lebih tepatnya, ia tidak mempunyai tempat untuk cerita. Sempat ragu, tapi ia ingin mencobanya sekarang.

“Aku ... anak yatim piatu.” Rayna memulai.
“Kedua orang tuaku sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku tinggal di rumah tanteku yang ....”

Rayna tak berani melanjutkannya. Bukan, ia hanya belum yakin menceritakannya pada Angkasa. Kondisi keluarganya cukup rumit untuk dijelaskan.

“Intinya, aku kekurangan kasih sayang. Iya, gitu aja.”

Tidak terpengaruh oleh keseganan barusan, Angkasa tetap mendengar dengan seksama. Rayna yang sempat melirik melanjutkan kembali.
“Kemudian, dekat-dekat ini aku pindah ke sekolah baru karena aku sering diganggu di sekolah lamaku.”

“Kamu di-bully?” tanya Angkasa spontan.
Rayna hanya mengangguk pelan. “Mungkin karena mereka nggak suka sama aku yang anti sosial atau penyendiri, entahlah.”

“Lalu sekolah kamu yang sekarang bagaimana?”

Rayna mengedikkan bahu. “Aku pikir dengan pindah sekolah baru, hidupku akan lebih tenang, ternyata dugaanku salah. Anak sekolah di sana juga ikut menggangguku, lebih tepatnya satu cowok ini yang suka cari gara-gara sama aku, padahal jelas-jelas dia yang salah duluan. Dia cowok paling menyebalkan yang pernah aku temui.”

Angkasa menyeringai kecil. “Lalu? Kamu melawannya? Soalnya kamu pandai bela diri.”

Rayna balas menyeringai. “Aku nggak melawan kok. Aku sudah berjanji sama ayah untuk menjadi anak baik. Dan aku juga dilarang main kekerasan sama pamanku. Dia yang melatihku bela diri. Kebetulan, Paman pingsan lalu dibawa ke sini hari ini.”

“Pingsan? Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya?” Jiwa dokter seketika menguasai Angkasa. Dia memang anti mendengar seseorang yang sakit atau terluka.

“Dia gak pa-pa, kok. Hanya butuh istirahat biar cepat pulih,” jawab Rayna yang membuat Angkasa bernapas lega.
“Jadi untuk menepati janji, aku berusaha menahan diri dan diam, nggak membalas mereka. Tapi akibatnya, aku terus diganggu. Mungkin ini yang membuatku stress lalu mimisan.” Rayna mengakhiri ceritanya.
Angkasa bersimpati. Matanya menatap sendu Rayna yang menyimpan banyak kesakitan. Walau ia pikir gadis ini tangguh, tapi tetap saja, dia seorang perempuan yang juga butuh perhatian.

“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”

Bagai baterainya sudah habis, Rayna diam tidak berkutik. Ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Biarkan? Langit tidak akan berhenti mengganggunya. Membalas? Langit juga akan mengganggunya, mungkin lebih parah, dan beresiko kena skors atau pindah sekolah lagi. Apa memang lebih baik Rayna berhenti sekolah saja?

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Rayna, Angkasa mencondongkan tubuhnya, kedua siku bertopang di lutut. Ia memandang serius ke arah depan, seperti mencari suatu jawaban.

“Rayn, apa kamu pernah minta maaf?”

“Apa?” Rayna menaikkan sebelah alis. “Kak Angkasa gak lagi bercanda, kan?” lanjutnya lagi. Sudah dibilang Langit yang salah duluan kenapa justru dia yang harus minta maaf?

“Kamu pernah dengar istilah ‘mengalah untuk menang’? Nah, kamu terapkan hal itu.”
Angkasa tersenyum kecil sebelum menjelaskan, “Tidak semua serangan harus kita balas dengan serangan. Seringnya karena selalu saling menyerang, perselisihan tidak akan berakhir. Sama halnya dengan mendiamkan. Pihak lawan gak ada efek jera. Beberapa akan merasa bosan, tapi kebanyakan malah menikmati. Minta maaf mungkin bisa disangka aksi pengecut. Tapi dengan salah satunya mengalah, kedamaian bisa tercipta dengan menahan ego selama sesaat.”

Rayna mendengar dengan cermat. “Meskipun aku tidak bersalah?” tanyanya kemudian.

“Kata maaf gak selalu harus berbuat salah baru kita ucapkan. Kata maaf mungkin bisa jadi kata yang akan menyelamatkan kehidupan sekolahmu. You can try it.”
Walaupun masih ada keraguan, Rayna memutuskan untuk mengangguk. Dia akan mencoba, apapun itu, asalkan hidup tenang yang ia dambakan bisa didapatkan.
“Bagaimana kalau gagal dan mereka tetap menggangguku?”

Angkasa mengangkat kedua bahu. “Mungkin ... karena permintaan maafmu kurang tulus? Kalau memang tetap gak bisa, solusi terakhir adalah lawan balik. Tapi ingat, itu solusi terakhir, ya.”

“Ok, aku akan mengingatnya,” balas Rayna dengan yakin. Sebisa mungkin ia memang tidak ingin main kekerasan.
Tiba-tiba, ponsel Rayna berbunyi. Ternyata itu adalah suara alarm yang disetelnya pada jam 4 sore. Sebentar lagi kelas bela diri sore akan dimulai. Rayna harus buru-buru pulang. Ia segera bangkit dari bangku panjang yang didudukinya bersama Angkasa.

“Kak, aku mau balik dulu, ada urusan,” ucap Rayna apa adanya.

Bukannya mengiyakan, Angkasa justru menahannya dengan mendadak juga, membuat gadis itu keheranan.

“Ada yang ingin kuberikan.” Itulah yang dikatakan sebelum pria itu berjalan menuju area bermain anak, mengambil tas ranselnya, mengeluarkan sesuatu dan memasukkannya ke dalam saku, kemudian kembali lagi ke samping Rayna.

“Ini, milikmu,” tutur Angkasa seraya meraih jemari Rayna, lalu menaruh sesuatu.
Kalung berliontin kepala singa.
Kedua mata Rayna melebar. Seolah tidak bisa mempercayainya, ia membalik kepala singa itu secepat kilat, melihat bagian bawahnya. Ada ukiran nama “Leo.” Itu nama ayahnya. Ini adalah cangklongnya yang telah rusak hancur lebur waktu itu.

“Kenapa ...?” Rayna tidak bisa berkata.

“Iya, aku memperbaikinya,” jawab Angkasa dengan bangga.

“Sebenarnya aku berhasil menyatukan seluruh bagiannya. Hanya saja, aku merasa berbahaya jika ada orang yang merokok dengan pipa yang penuh bekas lem. Dan lagi, aku juga berpikir kalau kamu nggak merokok. Pasti sering bikin salah paham melihat gadis muda sepertimu bawa-bawa cangklong. Makanya aku ubah menjadi kalung. Kepalanya yang besar itu mungkin aneh dijadikan kalung, tapi kurasa itu lebih cocok untukmu daripada bentuk aslinya.
“Setelah selesai memperbaikinya, aku selalu membawanya ke mana-mana, menunggu kapan bisa bertemu lagi denganmu. Aku tahu itu barang berharga bagimu karena ada ukiran nama, jadi gak sabar ingin kukembalikan. Dan Gak kusangka, kita bertemu di sini.”

Angkasa sudah selesai berkata, tapi Rayna masih melongo penuh takjub. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya untuk mengutarakan perasaannya yang campur aduk ini. Senang, sedih, terharu, kagum, terpesona, tak percaya, semuanya jadi satu.

“Terima kasih ....” Mata Rayna sudah berkaca-kaca oleh luapan emosinya itu.
Angkasa mengelus ringan kepala Rayna. “Sama-sama,” balasnya. “Sebagai gantinya, aku harap di pertemuan kita berikutnya kamu tidak terluka lagi. Seperti memperbaiki cangklong ini, aku akan menjadi dokter yang mampu mengobati semua orang, tapi bukan berarti aku ingin punya pasien tetap. So, don’t get hurt again, ok?”

Rayna menengadah dan tersenyum kepada Angkasa. Bukan senyum simpul, melainkan senyum yang sangat lebar dan bahagia, senyum yang dikiranya tidak akan pernah lagi terhias di wajahnya.

“Baik, Dokter Angkasa.”

Secercah harapan mulai muncul dalam kehidupannya yang keras ini.

***


Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang