Prolog

42 4 3
                                    

“... 28, 29, 30! Apa kalian sudah siap? Nana akan mulai mencari!”

Gadis kecilberkuncir dua itu mulai belarian di halaman rumah belakang. Satu-persatu ia mengitari halaman sekitarnya mulai dari pepohonan, jejeran tanaman pot, kursi santai, tempat jemuran, ayunan, hingga ke ton sampah. Dia tidak menemukan apa-apa.

“Mereka sembunyi di mana, ya?” gumam gadis kecil itu kebingungan. Sejauh mata memandang, halaman luas yang tidak dibatasi pagar antar rumah hanya dipenuhi warna hijau dan merah tanah pepasiran. “Apa mereka masuk ke dalam?” lanjutnya.

Bruk!

Baru saja anak itu hendak memasuki pintu belakang rumah yang terbuka, terdengar suara benda jatuh yang keras. Dengan cepat ia menoleh ke arah asal suara, dan seketika senyuman lebar merekah di bibirnya.

“Lala! Nana berhasil menemukan Lala!” seru anak itu bahagia sambil menunjuk bocah laki-laki yang kini sedang duduk sembari mengelus bokongnya yang sakit.

“Lala sembunyi di atas pohon, ya? Lalu terjatuh? Sakit, gak?” Bocah yang memanggil dirinya Nana ini terlihat sangat khawatir dengan temannya.

“Enggak, jangan sentuh pantat Langit!” Anak laki-laki yang masih kesakitan segera menghindar ketika Nana hendak menyentuhnya. Wajahnya memerah malu. “Anak perempuan gak boleh sembarangan pegang pantat laki-laki!”

“Nana kan, hanya khawatir.” Dia cemberutan.

“Sudah, Langit kuat jadi gak pa-pa. Ayo kita cari Kak Asa,” sahut Langit sembari berdiri.

Nana mengangguk dengan antusias lalu menggandeng tangan Langit. Bersama mereka kembali mengitari sekeliling rumah mereka yang bersebelahan. Beberapa orang yang sempat berpapasan pun ditanyai juga, tapi semuanya hanya tersenyum dan pura-pura tidak tahu.

Beberapa waktu sudah berlalu, langit pun mulai berubah warna. Akan tetapi, kedua anak kecil itu masih belum menemukan teman yang satu lagi.

“Kak Sasa sembunyi di mana, ya? Kenapa Nana tidak bisa menemukannya?” Nana cemberutan lagi.

Langit hanya menguap lebar lalu memegang perutnya. “Nana, kita masuk saja, yuk. Langit sudah lapar,” ucapnya.

“Lalu Kak Sasa bagaimana?”

Langit mengedikkan bahu. “Kak Asa sudah gede. Nanti dia bisa balik sendiri,” jawabnya.

Bukannya mengiyakan, Nana justru membantah dengan mata yang sudah mulai berair. “Nana tidak mau! Kalau saja Kak Sasa kecelakaan bagaimana? Pokoknya Nana mau cari sampai dapat!”

Tuk tuk.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan yang cukup keras dari atas. Sontak, Nana dan Langit sama-sama menengadah. Terlihatlah orang yang sedari tadi mereka cari ternyata di atas atap, tengah tersenyum sambil melambai.

“Kak Sasa! Nana menemukan Kak Sasa!” teriak Nana dengan semangat, air mata pun tak jadi menetes.

“Iya, Nana hebat sudah menemukan Kak Sasa,” tutur Asa riang kemudian turun dengan tangga. “Hampir saja Kak Sasa menangis ketakutan kalau saja Nana tidak menemukannya,” lanjutnya lagi sembari mengelus kepala Nana.

“Bohong,” bisik Langit di samping dengan pelan—buru-buru disikut oleh Asa, tidak disadari oleh Nana yang sedang bahagia.

“Untunglah Nana hebat bisa menemukan Kak Sasa,” ungkapnya sungguh bangga pada dirinya. Ia lalu menggandeng lengan Langit dan Asa secara bersamaan. “Besok kita main bersama lagi, ya!”

“Jangan petak umpet lagi! Kak Asa sembunyi lama, giliran yang jaga, cepat banget ketemunya!” protes Langit merasa tidak adil.

Asa hanya tertawa menanggapinya. “Baik, baik. Kita main bersama lagi tapi permainan yang lain, ya. Masih banyak permainan yang Kak Sasa gak pandai, kok. Bisa jadi Nana atau Langit yang menang nanti.”

“Serius?” Kedua mata Nana berbinar. “Permainan apa saja itu?”

“Main perang-perangan aja, yuk! Langit punya pistol sama pedang di rumah. Langit jadi pahlawan, Kak Asa jadi orang jahat, lalu Nana jadi tuan putri. Langit akan melawan Kak Asa lalu menyelamatkan Nana!” jelas Langit tidak kalah bersemangat.

“Jadi Nana lihat kalian main saja? Gak mau, ah, kalo gitu. Gak seru, yang lain!”

Untuk menghentikan perdebatan mereka, Asa segera merangkul kedua bocah cilik itu. “Ok, kita lanjut bahas di dalam saja, ya. Hari sudah mulai gelap, mamanya Nana pasti udah nyariin kita buat makan malam. Tapi jangan lupa cuci tangan dan cuci kaki dulu, ya,” pesan Asa sebagai kakak yang perhatian, yang dibalas dengan anggukan.

Ketiga anak kecil dengan senyum semringah itu melangkah memasuki rumah Nana. Sambil dihidangi makan malam yang hangat dan mengenyangkan, mereka tak sabar lanjut membahas permainan demi permainan yang akan mereka mainkan bersamalagi untuk kemudian hari. Dan seterusnya.

***

halo, aku Inoyomi, akun lamaku kena reset jadi terpaksa buat yang baru. Kalian juga bisa lihat cerita sebelumnya di akun lamaku  InoYomi

Cerita ini hasil kolabku sma temen aku marianimarzz semoga suka ya, dan jgn lupa dukung kami agar kami tetap semangat nulisnya

Vomennya jngn lupa yaa ...

Salam InoYomi 

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang