Bagian 10 : Kegaduhan di kelas

7 0 0
                                    

Hari berikutnya di SMA GALAKSI,

“Bim, bagi PR matematika lo sini. Gue mau salin,” ucap Topan, laki-laki yang sedang berdiri di depan Bima dengan panik.

Kronologinya, pemuda itu baru saja tiba di kelas dan melihat beberapa anak tengah menyalin sesuatu. Barulah Topan ingat ada PR yang terlupakan, yang akan dikumpul pada jam pertama.

Orion si lelaki jangkung—datang bersamaan Topan dengan headband hitam di kepalanya hari ini—juga ikutan panik menyalin bersama-sama, PR dari Bima yang notabene paling rajin dan pintar di antara ketiga sahabatnya.

Suasana kelas pagi ini sedikit ricuh karena banyak siswa yang ikut-ikutan saling menyalin, rebutan buku PR matematika dari teman yang selesai mengerjakannya sebelum bel masuk berdering.

Sementara itu, Langit diam di tempat, seakan tak mempedulikan aktivitas yang saat ini dilakukan teman-temannya yang sibuk mondar-mandir.

Bima yang duduk di depan menepuk bahunya dan bertanya, “Lang, lo nggak ikutan nyalin juga?”

Di dalam lamunannya, mata Langit ternyata tertuju pada meja Rayna yang berada di paling pojokan berlawanan. Lantas ia mengulas sengiran tajam yang mengisyaratkan sesuatu, dan Bima tak tahu-menahu akan maksud dari tatapannya. Langit kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan dari tasnya dan melempar di meja Topan dan Orion mencatat. Ketiga sahabatnya melongo kaget.

“Gue udah selesain PR gue,” ucapnya bangga.

Langit bukanlah cowok pintar di kelas. Sebaliknya, ia juga tidak bodoh layaknya Topan dan Orion, tapi hanya malas.

Sejujurnya, ia tidak begitu peduli untuk memperindah nilai di rapornya, asal dia tetap aman naik kelas saja sudah cukup. Bisa dibilang, Langit mengerjakan PR apa tidak itu tergantung mood-nya. Dan, mood Langit hari ini cukup baik.

“Wih Bos, tumben, kesambet apaan lo ngerjain PR?” Orion kaget masih dengan posisi melongo menatap Langit yang nyengir ke arahnya.

“Ya bagus dong, nggak kaya kalian berdua yang tiap hari nyalin tugas gue mulu. Belajar kek, sono,” ucap Bima yang membela juga memprotes.

Topan menyangkal, “Ealah, Bim, amal dikit lah sama kita. Membantu teman yang kesusahan entar dapat pahala.”

Di kala mereka berdebat, Langit diam-diam masih menatap ke arah meja Rayna. Gadis itu belum juga datang padahal bel tanda masuk sebentar lagi berbunyi.

Langit hampir menduga bahwa perempuan itu mungkin tidak masuk, sampai beberapa menit kemudian melihat sosok Rayna muncul dari ambang pintu. Ia menenteng tas ransel hitam masuk ke dalam kelas dengan sedikit terburu-buru dan langsung menuju ke mejanya.

Bagai intel yang tengah memantau targetnya, segala gerak-gerik Rayna diawasi dengan ketat oleh Langit. Gadis itu tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali ada satu perubahan darinya. Tidak hanya telapak tangannya yang berbalut perban, hari ini bertambah lagi balutan baru yang besar di lengannya. Sontak alis Langit terangkat sebelah, memikirkan apa kira-kira yang terjadi.

Nyaris rasa penasaran ini menguasai dirinya jika tidak mendengar suara bel masuk yang nyaring serta melihat guru masuk di kelas. Semua anak telah duduk manis di bangku masing-masing.

Bu Berta, menjadi guru di awal pelajaran mereka. Postur tumbuh gempal dengan kacamata menghiasi matanya, ditambah tatapan bengis yang selalu ia tunjukkan pada murid-murid di kelas sudah cukup membuat nyali siapa saja ciut kalau harus berhadapan dengan guru matematika paling killer di sekolah itu.

“Bima, tolong kumpulkan semua PR teman-teman kamu dan taruh di meja saya,” titah Bu Berta pada Bima yang merupakan murid paling teladan di kelasnya.
“Baik Bu,” jawabnya singkat.

Bima langsung berdiri dan segera menjalankan perintah. Murid-murid lainnya yang tahu diri pun mengoper buku mereka dari belakang ke meja paling depan—termasuk yang tidak sempat menyelesaikan salinannya dan hanya memberengut pasrah. Rayna yang dilirik oleh Langit juga mengumpulkan tugas tanpa berekspresi, menandakan gadis itu tidak mempunyai kesulitan mengerjakan PR sulit tersebut. Atau justru dia tipe yang masa bodoh? Entahlah, Langit pun tidak peduli.

“Terima kasih, Bima. Kamu bisa kembali ke meja kamu.”

Hanya itu interaksi singkat yang terjadi pada pagi itu. selanjutnya Bu Berta sudah fokus menjelaskan dengan tegas serta memberikan tugas Matematika yang banyak, kembali memusingkan murid-muridnya. Sungguh berharap dua jam pelajaran yang bagai neraka ini bisa berlalu dengan cepat.

***

Rayna bukanlah orang yang pandai bergaul. Selain berbicara dengan dua-tiga orang yang duduk di sekitar bangkunya hanya untuk bertanya tentang tugas, yang ia kenal hanya Jupiter. Namun, Rayna tidak pernah mau berinteraksi dengan sepupunya yang suka menempel dan sering memandangnya dengan tatapan jijik.

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang