Chapter 11

0 0 0
                                    

(POV Rei)

Entah kenapa kelakuan Anjani sekarang itu sangat aneh, Dia terlihat sering melamun belakangan ini. Dan yang membuatku lebih penasaran adalah dia sering kali menghindari kontak mata denganku. "Hei kamu kenapa ngelamun aja? Nanti kemasukan loh" komentar Otto itu membuatku terbangun dari lamunanku.

"Gapapa kok, cuman capek aja gitu." Aku membalasnya dengan santai. Mendengar itu sepertinya membuat dia tersadar akan beban pikiranku ini dan menebak dengan berkata "ada masalah lagi sama Anjani? Sini cerita ke Abang mu ini." Untuk kesekian kalinya dia membuatku merinding dengan tebakannya. Bagaimana tidak, meski aku tidak menceritakan masalahku Padanya. Dia bisa menebak hal itu dengan benar.

"Ya gitu lah.....oh ya, omong-omong kemarin gimana? Rame gak?" Mendengar itu dia hanya tersenyum, namun entah kenapa senyuman itu tidak membuatku nyaman. Dan benar saja, Rama menjawab pertanyaan ku setelah dia duduk di bangkunya. "Rame, cuman ya ada beberapa kejadian yang bikin canggung aja"

Emangnya apa ya? Sampe-sampe bikin Otto susah untuk menjawab pertanyaan ku. "Ngomong-ngomong Rei, kamu kemarin kemana? Jalan sama perempuan ya?" Ucap Otto dengan nada yang terdengar sedang menggodaku.

"Kamu esper ya?" Lelucon garing ku ini bukan membuatnya tertawa, melainkan dia hanya terdiam seolah tahu apa yang kulakukan kemarin."ehhh....siapa? Kasih tahu dong kalau kamu punya pacar." Rama menimpali lelucon ku dengan rasa penasarannya. Dan sepertinya, bukan hanya Rama saja yang penasaran, melainkan Otto dan Adam pun sama penasarannya dengan hal itu.

"Hei, dia itu bukan pacar atau apapun itu. Dia hanya pengurus ku." Jelas Ku pada mereka. Namun, sepertinya mereka tidak puas dengan hal itu yang menyebabkan diriku yang kecil ini sangat tidak nyaman dengan tatapan mereka.

"Kalian ini kenapa sih?" Sorot mata mereka ini sungguh membuatku tidak nyaman. Jika mereka terus melihat ku seperti itu fans mereka akan membunuhku. Sialan kalian orang tampan. "Enggak, soalnya kami kaget aja gitu seorang Rei bisa jalan bareng sama perempuan selain anjani." Balas Adam dengan wajahnya yang saat ini terlihat menawan.

"Iya sih, aku kira kamu itu petapa tua yang nyamar jadi siswa." Pendapat Otto dan Adam ini membuatku meringis kesakitan dalam batinku yang lemah ini. Oh 2 orang tampan. Kalian tidak akan pernah mengetahui bahwa kasta orang pemurung sepertiku ini sangat lemah. Sampai-sampai aku berpikir bahwa kalian akan tertawa dan mengejek ku jika aku memberitahu kalian kalau aku ini menyukai seseorang.

"Sudah kubilang kalau dia itu bukan pacar atau apapun. Dia hanya bibiku kok." Mereka masih menatapku meski aku berbicara seperti itu. Malah ucapan Otto membuat hati kecilku ini meringis kesakitan. "Oh berarti kamu beneran Petapa tua ya? Semangat!" Dia dengan jelas meledekku dengan mengacungkan jempolnya itu.

"Jika aku memang Petapa tua, lantas mengapa aku selalu menempel pada Anjani?" Pertanyaan itu bukannya membuat Otto kebingungan. Malah dia semakin menikmati menggodaku. "Pak tua, kamu itu kurang peka terhadap diri kamu sendiri ya? Sebagai anak muda aku dengan senang hati akan memberitahumu." Aku memukul kepalanya dengan pelan dan membalas "sebagai anak muda kamu harus hormat ke orang tua! Sekarang, kasih tahu pak tua ini apa yang kamu maksud"

Dia memegangi kepalanya yang telah ku pukul itu. "Kamu ngeliat dia bukan sebagai seorang lawan jenis kan? Malah, kamu menganggap dia sebagai anak kecil. Bener gak?" Sial, perkataan Otto telah menusuk hatiku. Itu sangat sakit sampai-sampai aku tidak bisa membalasnya.

"Ng-ngomong-ngomong, kalian berdua kenapa? Kok keliatan canggung, Coba cerita ke pak tua ini." Aku mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Namun, mereka berdua tidak menjawab dan hanya terdiam. Sial, kenapa hari ini orang-orang begitu aneh? Pertama Anjani, sekarang Adam dan Otto. Aku menahan diri untuk mencari tahu lebih jauh. Dan tak lama kemudian guru telah tiba dikelas.

***

Ugh, pelajaran tadi sangat sulit sehingga membuat kepalaku ber asap. Untung saja sekarang istirahat. Jika tidak mungkin kapasitas otakku tidak akan bisa menanganinya. "Kenapa pelajaran tadi itu sangat sulit? Kepalaku bisa meledak karenanya." Aku tahu perasaanmu Otto. Tapi yah, aku tidak seperti dirinya yang benar-benar tidak mampu mengerjakan tugas.

"Tapi syukur deh kamu kuat sampe akhir" itulah ucapan sang Mikhael.....bukan, Rama yang mencoba menghibur Otto. "Tapi tetep aja, nanti udah beres istirahat mapel selanjutnya itu matematika kan? Ugh, aku mana sanggup kalau gini terus. Mana sekarang ujian mingguan lagi." Ah sial, hari ini memang sepertinya para guru berencana ingin membunuh kami.

Rama pun bertanya pada Otto apa dia sudah menghafal semua pelajaran atau belum. "Hehehehe.....tentu saja belum" apa apaan itu? Kau mana bisa memandang wajah bangga dengan ucapan mu tadi sialan! "Kalau gitu cepetan hafalin. Mumpung waktu istirahat kita masih lama. Kalau ada yang gak kamu ngerti bilang aja. Nanti aku bantu." Saran Rama yang dia berikan untuk Otto membuatku tersentuh. Oh Mikhael kamu itu sangat baik.

Namun, Otto menolak tawarannya dengan lembut. Dia berkata bahwa dia memiliki janji temu dengan salah-satu temannya. Lalu dia pergi meninggalkan kami bertiga. "Dia itu orang yang terlalu bebas ya. Sampai-sampai aku suka pusing sama kelakuannya itu." Aku setuju dengan pendapat Adam. Dan aku pun heran kenapa Hana bisa menangani Otto dengan mudah.

Setelah itu Rama mengajak aku dan Adam untuk makan di kantin. Adam setuju saja dengan hal itu. Berbeda denganku yang menolak ajakannya dengan alasan aku sudah membawa bekal dari rumah. Saat itu aku merasa sedikit kesepian. Karena, di saat seperti ini biasanya selalu ditemani oleh Adam dan Otto. Tapi mungkin, sesekali seperti ini pun tidak masalah kan? Aku menyantap bekal buatan bibi sembari memikirkan itu.

Setelah 5 menit berlalu, aku sudah menyelesaikan kegiatan kecilku itu. Awalnya aku ingin memakai sisa waktu ini untuk tidur. Namun, aku merasakan saku celana ku bergetar. Itu berasal dari handphone ku. Dan saat aku membuka pesan tersebut, aku bergetar dengan orang yang mengirimiku pesan ini. Dia mengajakku bertemu di atap sekolah saat ini.

Pantas saja, sedari tadi aku tidak melihatnya bersama Anjani dan lainnya saat ini. Aku ingin sekali menolak ajakan ini. Namun, jika aku menolak itu akan membuat semuanya semakin rumit. Aku berdiri dari bangku-ku dan berangkat menuju atap meski enggan.

Saat menyusuri lorong, aku melihat sebuah poster yang berada di Mading. Poster itu berisikan kegiatan tahunan. Dan itu bersifat wajib bagi kami kelas 2. Jadi, kegiatan kamping kali ini di gunung ya? Mana gunung nya gunung pribadi kepala sekolah lagi. Selain termasuk salah-satu sekolah elite, sekolah ini juga berisikan dengan guru dan murid dari keluarga terpandang. Aku harus berterima kasih dan membalas budi pada bibi karna mampu membayar uang bulananku.

Setelah menyadari bahwa aku terlalu lama berdiam diri disana, aku berlari secepat mungkin ke atap agar tidak membuatnya semakin marah. Sial, berlari di lorong dan menaiki nya dengan tempo yang cepat membuatku lelah. Apa memang aku sudah mengalami kemerosotan ya?

Yah, ini salahku juga karna jarang olahraga dan hanya melakukan pekerjaan rumah. Itu juga membuat bibi seringkali memarahiku karena terlalu fokus pada hal itu yang membuatku tidak melakukan kegiatan anak remaja pada umumnya.

Tanpa sadar, aku telah sampai di atas. Di Depanku terdapat sebuah pintu. Saat aku menyentuhnya tanganku sedikit bergetar. Aku takut jika kami berdua bertemu secara empat mata. Aku memberanikan diri dengan membuka pintu. Merasakan angin segar yang menyentuh pipiku, aku juga dapat melihat seorang wanita yang memiliki rambut panjang yang indah. "Maaf membuatmu menunggu Alya." Hatiku berdegup kencang ketika mata kami saling bertemu.

30 DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang