Chapter 28

1 0 0
                                    

"ahh, aku lelah. Orang dalam ruangan seperti ku harusnya tidak usah ikut pertandingan kayak tadi. Untung aja gak jadi beban."

Hari ini adalah hari terakhir PORA. Dan karena beberapa alasan, aku di tarik paksa dalam bangku pemain dalam permainan basket. Meski sedikit kesal karena paksaan mereka, hal itu tidak bisa dibandingkan dengan senangnya aku melakukan dunk setelah sekian lama. Dan untung saja kami menang dalam final itu.

Aku tidak beranjak dari tempat tidurku semenjak pulang sekolah. Dan yah, aku belum mengganti bajuku yang dipenuhi keringat ini. Bukannya malas, tapi daya tarik dari tempat tidur itu tidak bisa di lawan.

Hari ini bibi akan lembur, jadi aku akan sendirian untuk malam ini. Notif dari ponselku berbunyi. Awalnya aku membiarkan itu dan segera tidur. Namun, karena itu terus berbunyi membuatku terganggu.

Oh ya, sehabis pulang sekolah setelah kejadian atap itu, Arisa menculik ku ke toko elektronik untuk membeli ponsel baru untukku. Meski aku menolaknya, dia terus memaksaku hingga akhirnya dia menaklukan ku dengan cara 'emang segitunya ya kamu gak mau Nerima pemberian dariku?'

Mana bisa aku nolak kalau dia dah bilang gitu! Aku bukanlah orang yang bermental baja yang tetap menolak meski mendengar kata-kata seperti itu. Tapi ya berkat dia, uang tabunganku tidak tersentuh sama sekali. Tapi sungguh, aku niatnya memilih ponsel dengan harga yang sama dengan ponselku. Tapi, dia malah memilih ponsel keluaran terbaru dengan alasan permintaan maaf.

Kembali ke pengirim pesan. Itu adalah Alya. Meski aku belum menjawab perasaannya, kami tetap berhubungan seperti ini malah lebih lebih dari sebelumnya. Dia berkata "meski kamu ngegantung ku bukan berarti kamu nolak aku kan? Lagian sekarang itu kita masih temenan. Jadi apa salahnya saling chattingan kaya gini?"

(Alya)
"Kamu belum mandi kan? Mandi gih. Kalau belum makan, makan sekalian. Jangan bohong, kalau bohong kupukul kamu"

Memangnya kamu esper ya? Tapi karena dia tidak akan tahu, aku bisa aja berbohong kan? Setelah mengirimkan pesan itu aku mendengar suara pintu kamarku dibuka, dan orang itu langsung menerjang tubuhku.

"Dia bohong Alya! Oh iya kah? Ijin dari orang tua? Gak perlu, sekarang itu ayah ibuku lagi diluar kota."

"Otto kenapa kamu tiba-tiba kesini? Dan apa apaan ini? Kukira kamu orang anti kekerasan saat bercanda."

Dia hanya tersenyum lebar yang membuatku ingin memukul wajah tampannya itu. Laku, dia mengarahkan ponselnya ke arahku yang sepertinya sedang terhubung dengan seseorang.

"Aku yang nge izinin dia. Punggung kamu dah gak pegel pegel lagi kan? Atau aku harus minta Otto buat mijitin bagian yang lain? Kepala khususnya."

Apaaa? Hei Alya, apakah sifat overprotektif kakakmu itu sudah tertular padamu? Apa hal ini akan terus berlanjut atau lebih ekstrem dari hal ini saat aku menerimanya? Membayangkannya saja sudah membuatku merinding.

"Lagian, kenapa kamu tahu kalau aku bakal bohong?"

"Tante Rena bilang, kalau kamu ikut acara yang fisik kaya gitu, kamu itu suka males mandi atau makan. Jadi ya aku ngikutin arahan itu. Gimana? Masih pegel? Kalau iya aku minta Otto buat pijitin kamu lagi."

"G-gak perlu, aku udah gak pegel lagi."

"Kalau gitu, mandi sekarang!"

Setelah itu telepon ditutup olehnya. Mau adik sama kakak sama aja ya. Entah kenapa, aku merasa senang dengan perhatiannya itu. Meski agak ekstrem sih.

"Ngomong-ngomong, sampai kapan kamu mau terus duduk di punggungku Otto?"

"Sampai Rama sama Adam datang."

30 DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang