Chapter 12

0 0 0
                                    

Kenapa dia tetap diam? Suasana canggung ini membuatku tidak nyaman kau tahu! Jadi kumohon katakan lah sesuatu Alya. "H-hei, ini tidak seperti dirimu loh. M-maksudku, kamu bisanya akan berterus terang dan mengatakan sesuatu dengan tegas kan? Jika itu tentang kelakuan Anjani hari ini, aku sungguh tidak tahu apapun. Aku bersumpah!"

Kenapa dia tetap diam meski aku menjelaskan hal itu padanya? Ini membuatku semakin tidak nyaman loh. Dan saat itu lah aku sangat terkejut karena dia dengan tiba-tiba mendekati ku sehingga wajahnya yang menawan itu terlihat sangat dekat. Saat itu, aku baru tersadar bahwa dia memasang wajah yang tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat seperti dia sangat menyesal akan sesuatu.

"Ma-maaf, aku udah salah sangka ke kamu." Ah, akhirnya aku bisa mendengar suaranya. Tapi, apa maksudnya itu? "A-aku udah berlebihan, Baik kelakuan atau perkataan aku udah berlebihan ke kamu." Lanjutnya dengan kepala tertunduk. "T-tunggu dulu, coba tenang terus cerita pelan-pelan oke?"

Dia awalnya diam, mungkin dia merasa tegang jadi aku menepuk bahunya dan menenangkannya. Setelah merasa tenang, dia menceritakan apa yang terjadi kemarin dari dia merasa khawatir pada Anjani dan mulai menyalahkan ku. Sampai pada pertengkaran antara Adam dan Otto.

Aku terus mendengarkan ceritanya sehingga perlahan-lahan aku dapat memecahkan alasan kenapa Arisa menelpon ku dan kenapa suasana diantara Adam dan Otto sudah canggung meski mereka telah berbaikan kembali.

Setelah selesai bercerita, dia menatapku seolah mengharapkan sesuatu dariku. "K-kamu gak marah gegara kelakuanku?" Kata-katanya yang terdengar sedih itu membuatku ingin menghiburnya dengan berkata gapapa. Namun, itu hanya akan membuat kebohongan yang terlihat sangat jelas. "Marah sih enggak. Cuman aku hanya merasa kesal dengan kelakuanmu yang seenaknya. Namun, itu juga membuatku senang karena itu jadi bukti kalau kamu beneran sayang dan menghargai Anjani sebagai temanmu."

Aku menarik nafasku dan melanjutkan "aku juga kalau jadi kamu pasti akan melakukan hal yang sama. Meski tidak sampai membuat pertaruhan konyol sih." Dia menarik nafas lega setelah mendengar perkataanku. Namun, dia juga mengeluh karena berkata bahwa pertandingan yang kulakukan dengannya selama bertahun-tahun itu adalah pertandingan konyol.

"Oh ya, kamu ngelakuin hal apa sampai bikin Anjani murung gitu?" Biasanya dia selalu berbicara tegas padaku setiap membicarakan anjani. Namun, kali ini dia berbicara dengan lembut seolah dia tidak marah padaku. Aku hanya menggelengkan kepala dan mengangkat bahuku sebagai jawaban.

Kukira dia akan memaksaku untuk mengatakan hal yang sebenarnya namun, dia hanya tersenyum penuh arti. Dan itu membuatku merinding. "Kalau gitu, gimana kita bikin taruhan? Kali ini kamu bukan ngelawan Adam, tapi aku."

"Kalau kamu menang kamu harus cari tahu alasan Anjani seperti itu. Tapi, kalau kamu kalah, kamu harus mencukur rambut panjang mu itu." Loh? Tumben dia bikin taruhan yang nyuruh aku buat ngejauhin Anjani. "Game nya gampang kok, kamu cuman harus ngerjain ulangan matematika hari ini dengan nilai yang lebih tinggi dariku."

Gampang dari mananya? Dan orang gila mana yang berani nantangin peringkat pertama berturut-turut. Apalagi dia mendapatkan gratis SPP selama satu semester saat kelas 8 lagi. Aku mau tidak mau akan memenuhi tantangan nya. Dari pada dia kembali murung dan menceritakan hal ini pada Adam.

"Yaudah, abis hasil nya keluar kita lakuin isi taruhan. Yah, meski aku yakin bakal menang sih" kalimat terakhirnya itu membuatku sangat kesal. Namun, aku menyingkirkan perasaan ku dan melihatnya. Seragamnya terlihat sedikit basah dengan keringat yang ada pada tubuhnya. Mungkin dia telah menunggu ku dengan waktu yang lama.

"Hei, aku tahu apa yang kamu pikirkan terhadap ku. Tapi setidaknya kamu harus memperdulikan dirimu sendiri." Aku menyerahkan almamater dan minuman yang ada ditangan ku kepadanya. Dia langsung menyadari apa yang kumaksud dan segera memakai almamater dan memegangi nya dengan erat.

"Yaudah, yuk kita pergi." Dia menolak ajakan ku dan membalas "gak, aku mau disini dulu bentar. Kamu duluan aja buat persiapan taruhan kali ini." Meski terdengar menyakitkan aku menurutinya dan berjalan untuk kembali. "Tapi seenggaknya kamu harus berteduh. Hari ini panas banget tau. Dan bisa-bisanya kamu lupa bawa almamater sendiri." Aku meninggalkan dirinya tanpa melihat ekspresi apa yang dia pasang setelah diriku mengatakan hal itu.

Sekarang, yang kupikirkan adalah alasan apa yang harus kuberikan pada teman-teman ku ya? Apalagi Adam, kalau dia sampai tahu kalau almamater ku ada pada Alya mungkin dia akan membunuhku. Memikirkan nya sudah membuat ku merinding.

(POV Otto)

"Kamu udah boleh keluar Otto" aku keluar dari tempat ku bersembunyi setelah mendengar panggilan itu. "Jadi, apa itu doang yang mau kamu tunjukkan kepadaku." Ya, gadis yang telah berbicara dengan Rei tadi sekarang tepat berada di depan mataku. Gadis itu menggeleng kan kepala dan memberitahu alasannya memanggilku. "Enggak, sebenernya aku mau minta tolong ke kamu"

Aku terkejut, karena untuk pertama kalinya orang seperti Alya ingin meminta tolong kepadaku. Aku dapat melihat rona merah yang berada pada pipinya. Dia terlihat malu-malu dan menarik nafas sebelum mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya

"S-sebenernya, aku itu suka Rei" ah, jadi itu alasannya dia memanggilku kemari. "H-hei, katakan sesuatu! Terus, aku kira kamu bakalan kaget sama apa yang kubilang tadi." Keluhannya itu membuatku terkekeh dan membalas perkataannya itu. "Yah, aku tahu kamu suka dia. Tapi aku gak pernah ngebayangin kamu bakalan malu kaya gini."

Dia terkejut dan semakin malu dengan jawabanku dan dia bertanya-tanya sejak kapan aku mengetahui perasaannya terhadap Rei. "Ya jelas aku tahu lah, kamu pikir aja. Mana ada orang yang bikin taruhan yang menguntungkan lawannya apalagi sampai bertahun-tahun kaya gini"

Dia kini telah sadar akan hal itu, dan dia bertanya padaku apakah yang lainnya mengetahui hal ini atau tidak. "Aku gak tahu, tapi kayaknya Hana udah tahu deh." Rei mungkin tidak akan percaya apa yang kulihat. Gadis yang biasanya terlihat galak padanya mengeluarkan ekspresi imut apalagi dia mempunyai perasaan pada Rei.

"Tapi aku penasaran, kenapa kamu untuk pertama kalinya bikin taruhan yang gak bisa dia tangani?" Dia melihatku, rona merah dari wajahnya perlahan menghilang "yah, kamu liat sendiri kan kondisi penampilan nya itu. Dan dengan 100% kemenanganku itu aku akan memanfaatkan kejadian ini untuk jalan bareng bersamanya."

Kesombongan nya ini membuatku teringat dengan ekspresi nya tadi. Jelas perubahan sifatnya yang tiba-tiba itu membuatku ingin tertawa. "Yah, aku akan bantu sebisaku. Tapi, kalau gini terus bukannya akting kamu selama bertahun-tahun itu bisa hancur ya?"

"meski hancur pun aku akan melindungi Rei dari kakak ku itu. Dulu aku seringkali khawatir, tapi jika aku terus berdiam diri Anjani mungkin akan mendahului ku. Jadi saat ini aku sudah membulatkan tekadku." Jadi Alya tahu perasaan Anjani ya. Yah, siapapun pasti akan menyadari hal itu dengan kepedulian Anjani yang sangat besar kepada Rei. "Oh ya, sebagai syarat, aktingmu jangan seperti yang terakhir kali. Meski dia memaafkan mu aku yakin dia juga merasakan sakit dihatinya itu." Alya mengangguk pelan sebagai tanda setuju.

Sepertinya itu membuatnya kembali murung. "Sebagai permulaan, kamu harus ngejelasin yang bener ke Adam perihal almamater yang kamu kenakan sekarang." Wajahnya kembali memerah dan memegang almamater itu dengan erat. Hal ini membuatku terkekeh. Dan saat itu lah kami mendengar suara lonceng berbunyi menandakan jika istirahat telah berakhir. Kami berdua bergegas kembali ke kelas. Dan aku hanya bisa mendoakan semoga aku selamat di ujian Mingguan matematika kali ini.

30 DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang