Chapter 18

0 0 0
                                    

Waktu sudah menunjukan pukul 00.30 dan semua kelompok telah menyelesaikan game kecil ini. Dan sekarang kami sedang mengadakan api unggun. Saat sedang menikmati waktu sendirian ku. Seseorang menghampiriku dan duduk di sebelah ku.

"Yo Rei, gimana? Asik gak tadi?"

"Oh Otto, ya gitulah"

Dia terus menanyaiku pertanyaan itu yang sama. Itu membuatku sebal kau tahu itu.

"Ngomong-ngomong Otto, kamu kenapa gak sama Hana?"

"Kamu anggap aku ini apa?"

"Anjing yang berisik kalau gak sama majikannya"

"Jahatnya, aku itu cuman terlalu suka dia itu aja. Kok gitu sih? tapi soal pertanyaan mu, aku kan gak perlu sama dia. Kadang, aku pengen ngeutamain waktuku sama temen-temenku daripada sama dia. Begitu juga dia."

Diluar dugaan, dia membuatku takjub dengan jawabannya. meski pertanyaan itu untuk pengalihan topik.

"Terus, tipe kamu itu emang dia kah?"

"Enggak, sebenarnya tipe aku itu cewek yang tingkahnya imut. Tapi, semenjak ketemu sama dia dan ngobrol ia. Aku malah pengen macarin dia. Dan hal itu bertahan sampai sekarang."

Aku menanyakan lebih spesifik tentang hal itu, dia menceritakannya dengan senang hati seperti alasan kenapa dia menyukai nya, yang menarik bagiku adalah ketika cewek imut tipenya itu mengkhianatinya. Karna, meski itu adalah cerita yang cukup buruk. Tapi dia bercerita dengan senang. Malah, dia berterima kasih pada cewek itu karna berkatnya, dia bisa bersama Hana sekarang.

"Oke sekarang giliran ku, tipe cewek kamu itu seperti apa? Seperti Anjani kah? Atau Arisa? Atau Alya?"

Padahal keinginanku cuman mendengar ocehannya itu. Tapi ya gapapa lah, setidak aku mengetahui sisi baru makhluk satu ini.

"Gak ada, tapi kalau soal sifat, belakangan ini orang yang membuatku nyaman itu perlakuan Alya padaku. Gimana bilangnya ya, kelakuannya yang dulu itu emang nyebelin. Tapi itu cara dia ngelindungi Anjani kan? Yah dia itu sebenarnya baik."

Otto mengangguk mengerti, dia pun berbicara sedikit tentang perilaku Alya yang dulu. Bagi Otto itu hanya menyebalkan. Dia terus membicarakan sifat Alya itu. Lalu, saat aku melihat alya yang bersama Adam. Aku melihat raut wajahnya. Dia sepertinya masih ketakutan dengan hal itu.

Kalau gak salah, aku udah janji sama dia buat pergi ke danau bareng kan? Aku meninggalkan Otto dan segera pergi ke Alya. Dan disana aku bisa melihat seorang Kakak yang sedikit gila sedang memanjakan adiknya secara berlebihan.

"Alya, ayo pergi"

"Mau bawa kemana adikku itu huh?"

Seharusnya Adam menghentikan ku, tapi saat aku menoleh,aku melihat Adam sedang ditahan oleh Otto dan Rama. Makasih, nanti aku traktir kalian.

***

Setelah berlari cukup jauh, hanya ada pepohonan disekitar kami. Dan kami tiba di tempat saat aku berpapasan dengan Alya.

"Tunggu dulu Rei, kita mau kemana?"

"Aku udah janji kan? Kalau aku bakal ke danau bareng kamu."

"Tapi kan ini udah malem, nanti kalau ketahuan kita bisa dimarahin loh"

"Tenang aja, kalau ketahuan aku bakal bilang kalau aku yang maksa kamu"

Tak lama, kami akhirnya melihat suatu danau, pantulan bintang dan Bulang terlihat dari danau. Itu seperti aku telah melihat cermin langit.

"Wah, indah banget! Kalau siang sih kita gak bakal bisa ngeliat ini."

Aku pun takjub, apakah ini yang disebut pesona alam? Tidak sia-sia aku lari dan membawa Alya pergi.

"Nah gitu dong mukanya, kan enak diliat sekarang mah"

"Eh? Emang kenapa? Perasaan biasa aja deh"

Aku menepuk kepalanya, dia berkata dia bukan anak kecil lagi. Tapi tidak ada perlawanan dalam tindakannya

"Aku juga sebenarnya pengen nangis tahu. teriakan, kritik, dan tekanan yang mereka berikan itu bikin aku pengen nangis"

"Kenapa? Tinggal nangis aja kan? Kan ada kami."

Dia menggeleng kan kepalanya sebelum membalas ucapanku.

"Gak boleh, kamu tahu kan kalau Adam itu sedikit extreme? Kalau aku nangis didepannya kamu tahu kan dia bakal ngapain?"

Uwahh, aku hanya bisa membayangkan dirinya yang menendang OSIS dan alumni. Siscon tampan sialan itu sepertinya harus di rehab.

"Kalau Anjani, kamu tahu kan kalau dia itu kek lagi marah ke aku. Jadi, mustahil ke dia"

Kalau gak salah, dia seperti itu sejak mengetahui Alya menginap di rumahku. Entah siapa yang harus disalahkan saat itu.

"Kalau Arisa, dia itu kadang suka keceplosan. Nanti kalau Adam tahu gimana? Kalau Hana, dia bakalan memperlakukan ku kayak anak kecil."

Sepertinya Otto tidak masuk dalam daftar Alya. Yah itu wajar saja, dia udah punya pacar. Jadi ya.....

"Kalau aku? Gak ada salahnya kan kalau aku tahu itu? Seenggaknya, aku bisa bantu kamu"

Sial, pengen mati aku gegara ucapan tadi. Kenapa aku mengatakan hal itu? Kebodohan itu bisa dibilang berhasil. Karna dia memelukku dan tertawa.

"Apa coba? Kata kata kaya gitu gak cocok sama kamu.....tapi makasih"

Aku tidak membalas pelukannya. Bisa dibilang ini adalah pelukan sepihak dari Alya. Bukannya aku tidak menyukai moment yang sering terjadi di comedy romantis. Hanya saja, pikiranku dipenuhi dengan Adam yang akan membunuhku jika dia mengetahui ini.

"Kamu bilang bisa bantu aku kan? Kalau gitu, boleh minta tolong gak"

"Iya, meski cuman semampunya sih"

Dia melepaskan pelukannya dan meyakinkanku bahwa ini keahlianku. Entah kenapa aku bisa mencium aroma yang tidak mengenakan disini.

"Aku itu pengen banget jadi ketua OSIS."

Hmmm? Kalau soal pemungutan suara aku akan mempertimbangkannya karena ini menyangkut masa depan sekolah.

"Dan aku itu sekarang lagi susah nyari wakilku. Jadi....."

Oh! Dia pengen bantu dicariin wakil ya? Kalau itu mah gampang. Aku mengacungkan jempol pada Alya sebagai isyarat setuju

"Eh? Seriusan? Makasih banget, akhirnya aku punya wakilku sendiri."

Ya, ya, serahkan padaku. Aku akan menjadi wakil.....

"Eh!? Maksudnya?"

"Eh? Bukannya kamu setuju, kalau kamu itu jadi wakilku."

Ehhh!? Bentar, ini diluar pemikiranku. Jadi maksudnya dia mau menjadikan ku wakilnya? Atau aku ditunjuk menjadi wakilnya? Huh? Kenapa aku memikirkan hal yang tau jawabannya. Ah, aku ingin menarik kembali ucapanku.

"K-kamu yakin? Aku gak punya bakat loh"

"Aku gak lihat dari bakatnya, jangan samakan aku dengan yang lain"

Dia sekarang cemberut. Menandakan bahwa aku meremehkannya. Padahal niatku bukan begitu.

"Ayo dong, bantuin aku. Lagian kamu juga nganggur ka?"

Sial kata katanya itu sungguh menyakitkan meski benar. Apa aku harus menerimanya begitu saja? Tapi, kenapa aku bukan Rama? Aku ingin menanyakan itu tapi reaksinya akan lebih daripada tadi.

"Mau ya? Aku janji kamu gak bakal susah kok."

Jika aku menolak, kehidupanku yang tenang dan membosankan bisa terus kujalani. Tapi, jika aku menerimanya. Segala macam rintangan akan datang padaku.

Apakah aku sungguh harus menolaknya? Tidak, aku harus menerimanya. Mereka semua sudah mulai berkembang. Hanya aku yang belum.

"Kamu gak perlu berjanji seperti itu. Kesannya aku gak akan pernah berguna"

Aku melakukan janji lagi tepat setelah memenuhi janji dengannya. Aku akan mengatakan dengan bangga bahwa, partner ku ini adalah yang terbaik di dunia.

30 DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang