02

1.2K 52 2
                                    

Matahari bersinar terang di pagi hari. Si bungsu terusik tidurnya ketika ada cahaya masuk dan mengenai wajahnya lucunya. Joshua terbangun lalu duduk untuk mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu dengan mata yang masih dalam keadaan terpejam.

Ceklek!

Mata sipitnya perlahan terbuka ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka dan menampilkan saudara ke enamnya yang tak jauh umurnya dengannya. Candra Adipati Dirgantara atau bisa dipanggil Candra. Abang paling imut, memiliki kulit seputih susu nan lembut jika disentuh, memiliki suara seperti lumba-lumba tapi versi lucu, keras kepala, dia bahkan jago bahasa Mandarin setelah saudara keduanya.

"Bangun Jo,abang udah bikin sarapan di bawah", tutur Candra.

"Iya bang lima menit lagi,Jo cuci muka dulu", sahut Joshua.

Candra pun meninggalkan kamar si bungsu lalu turun ke bawah bertemu dengan yang lainnya. Sampainya di meja makan hanya ada keheningan di dalamnya. Bahkan Joshua yang baru datang saja dibuat bingung karenanya.

Ke lima laki-laki dewasa di depannya tampak berdiam diri dalam acara makan sarapan paginya. Kemudian Joshua pun duduk di samping saudara ke tiganya yakni Arjuna Laskar Dirgantara atau bisa dipanggil Juna. Laki-laki paling pedas kalau bicara, tegas, gemar melukis, suka berantem sama Haekal, kalau marah dia pasti menggunakan bahasa Mandarin nya agar yang lain tak mengerti artinya kecuali Candra.

"Abang..."

Joshua menatap ke enam kakaknya secara bergantian lalu menghela nafas. Memberanikan diri untuk berbicara penting pada mereka.

"Jo akan-"

"Ga boleh", sela cepat dari kakak ke empatnya.

"Nathan!", peringatan dari si sulung.

Dia Ananda Nathan Adi Dirgantara atau bisa dipanggil Nathan. Kakak paling dingin, tapi aslinya ceria, suka masak, bahkan dia bisa menjadi pengganti bunda di rumah, suka motret asal yang penting aesthetic gambarnya.

"Mau sampai kapan dia mengikuti lomba-lomba seperti itu kak?! Dia ga pintar-pintar amat yang ada malu-maluin keluarga tahu ngga!", jelas Nathan membuat Joshua menundukkan kepalanya karena kecewa.

"Nat, tapi Jo juga sering kok bawain piala atas kemenangannya yang artinya dia itu bisa dan pintar!", bela Jordani.

"Jo selesai", ucap Joshua lalu melangkah menjauh dari ruang makan menuju dapur untuk menaruh piring bekasnya.

"Emang harus banget ya ribut di meja makan? Kalian ini sudah besar harusnya kalian mendukungnya bukan malah mematahkan semangat berjuangnya", ujar si sulung lalu pergi meninggalkan ruang makan di susul oleh Haekal lalu Arjuna juga.

"Abang ngga seharusnya gitu sama adek, kasian dia", ucap Candra lirih lalu pergi meninggalkan Nathan yang kini hanya berdua dengan Jordani di meja makan.

"Gue tahu lu benci dia tapi ngga gini Nat,dia masih adek kita bukan orang lain inget itu", ucap tegas Jordani lalu pergi meninggalkan Nathan sendirian.

Sorenya, Joshua duduk di taman dekat komplek rumahnya yang mana banyak anak-anak kecil bermain leluasa dengan para orangtuanya masing-masing. Ada rasa ringisin dari hati Joshua setelah melihat hal itu.

"Bunda, Jo suka bermain. Tapi sekarang Jo harus bermain dengan siapa?", gumam Joshua dengan air mata terbendung di matanya.

Dug

Buru-buru Joshua menyeka air matanya lalu menatap bola yang baru saja mengenai kakinya. Joshua menatap sekitar dan mendapati seorang pemuda yang ia yakini kalau mereka seumuran.

"H-hai, maaf bola ku mengenai kaki mu", ucapnya pada Joshua.

"Ah tidak apa,ini bola mu", ucap Joshua sembari memberikan bola itu pada pemuda itu.

"Kau sendirian?"

"Iyah, hanya sebatas menghirup angin sore. Lalu kau?", tanya balik Joshua.

"Aku juga sama seperti mu, bermain bola sendirian itu tidak asik yah. Biasanya aku bermain dengan adik ku", jelasnya sembari duduk di samping Joshua.

Pemuda itu mengulurkan tangannya pada Joshua membuat Joshua menerima uluran tangan itu dengan ramah.

"Nama ku Jaiden Alaska Malves,kau?", ucapnya.

"Aku Joshua Adi Dirgantara, panggil aja Joshua", balas Joshua.

"Senang bertemu dan berteman dengan mu Jo. Ah akhirnya aku memiliki teman juga disini"

"Memang kamu tidak punya teman?"

"Ada tapi jauh,karena aku baru pindah ke sini dua hari lalu", jawab Jaiden.

"Oh ya,pantas aku baru melihat mu disini"

"Oh ya tadi kau bilang kau punya adik,lalu mana adik mu kenapa tidak di ajak main bersama disini?", sambung Joshua.

Jaiden bukannya menjawab namun menunjukkan jari telunjuknya ke arah langit yang cerah dengan cahaya matahari yang mulai menghilang. Joshua menatap Jaiden bingung.

"Dia ada di atas sana", ucap Jaiden dengan tersenyum.

"M-maaf aku tidak bermaksud-"

"Tak apa Jo,memang sudah takdir dan nasib adik ku untuk berpulang lebih dulu karena tuhan sayang padanya", sela Jaiden.

"Maaf yah den, aku ngga bermaksud untuk seperti itu"

"Gapapa kok, nanti lama-lama juga terbiasa"

"Oh ya omong-omong kamu sekolah dimana?", tanya Jaiden.

"Di SMA Negeri Neo 127, kelas IPA 2. Lalu kamu?"

"Wah sepertinya kita akan menjadi teman kelas,karena aku baru saja mendaftar tadi pagi di sana lalu kelas ku juga sama seperti mu", ucap antusias Jaiden.

"Oh ya? Wah bagus dong biar kita bisa lebih akrab lagi iya kan"

"Bener banget, nanti tolong bimbing aku disana yah Jo,kali aja aku nyasar ke kelas IPS 1 kan ga lucu"

"Bisa aja kamu den", ucap Joshua terkekeh geli.

"Matahari bentar mau tenggelam, ayo pulang bentar lagi mau adzan Maghrib", ujar Joshua.

"Iya benar,ayo pulang"

To be continued>>

Tinta Terakhir Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang