20

514 31 0
                                    

Cahaya putih menyilaukan mata Joshua sehingga dirinya menutupi wajahnya dengan tangannya. Setelahnya ia terdiam membeku mendengar suara familiar menurutnya.

Ia menatap ke depan dengan tegun. Pandangannya jatuh pada seseorang yang berdiri yang tak jauh darinya. Memakai baju serba putih dengan senyuman manisnya.

"B-bang N-nathan?", ucap Joshua terbata-bata.

"Jo lihat apa? Tempat mu bukan disini Jo. Kembalilah ke bumi", tutur Nathan lembut.

"J-jo dimana?", tanya Joshua gugup.

Nathan tak menjawab melainkan menatap ke atas diikuti oleh Joshua juga. Joshua semakin terkejut kala melihat orang-orang yang ia sayangi ternyata ada di atasnya menatapnya dengan senyuman manisnya.

"A-ayah...b-bunda...", panggil Joshua terbata-bata.

"Anak ku sudah besar yah, sayang lihat. Joshua kita sudah besar", ucap bunda.

"Iyah bunda, dia tampan seperti ku", candanya.

"Tapi dia manis seperti ku", ucap bunda tak mau kalah.

"Manis dan tampan", ucap ayah.

"Joshua Adi Dirgantara, anak ku yang paling kecil. Ayah bangga sama kamu, sudah berjuang sampai saat ini. Ayo bangun jo, lihatlah disana..."

Joshua mengikuti arah yang ditunjuk oleh ayahnya. Dan ternyata itu adalah om, tante serta teman-temannya yang menatap sendu. Bahkan mawar sudah menangis sambil memeluk Jamal.

"...Joshua ga harus disini nak, ayo bangunlah dan beri mereka senyuman manis mu itu. Kami disini selalu menjaga kamu, jangan khawatir. Anak ayah dan bunda kan hebat. Kami sayang kamu Jo"

Cahaya putih itu kembali menyilaukan mata Joshua.

…⁠ᘛ⁠⁐̤⁠ᕐ⁠ᐷ

Jari-jari Joshua bergerak perlahan serta mata joshua yang perlahan terbuka. Suci yang melihatnya pun berteriak.

"Joshua bangun!", teriak suci membuat yang lain menoleh ke arah Joshua.

Jamal dan mawar langsung mengusap lembut pipi Joshua. Hanif berlari keluar untuk memanggil Anggara.

Kini Anggara tengah memeriksa keadaan Joshua. Anggara menghela nafas panjang lalu menatap Jamal.

"Alhamdulillah kondisi Joshua stabil, ia melewati masa komanya", jelas Anggara.

Jamal bernafas lega lalu memeluk mawar. Hanif dan Jaiden pun saling berpelukan dengan menatap sendu ke arah Joshua. Suci menyeka air matanya setelah mendengar keadaan Joshua sudah stabil.

Farhan dan Lukas hanya bisa diam di belakang Hanif dan Jaiden. Walaupun mereka sudah jadi mantan kakak kelas tapi tali persahabatan tak membuatnya putus pertemanan.

Yana juga ada disana, dekat dengan suci. Yana hanya diam melihat Joshua. Tapi sesekali ia melirik ke arah suci tak suka.

"Jika Joshua tak bisa jadi milikku maka ia tak bisa jadi milikmu juga", batinnya.

"Baiklah, kalian berenam sebaiknya makan dulu pasti kalian lapar kan? Om yang traktir", tutur jamal.

"Asik!", seru mereka.

"Hus jangan berisik Jo baru juga bangun", omel Anggara yang tengah membenarkan posisi selang infus Joshua.

"Ups, maaf om", cengengesan Hanif.

"Sudah ayo kita ke kantin", ajak Jamal.

…⁠ᘛ⁠⁐̤⁠ᕐ⁠ᐷ

Joshua menatap langit-langit kamar rumah sakitnya. Memikirkan hal yang baru saja terjadi.

"Jadi tadi itu hanya mimpi? Tapi kenapa terasa nyata sekali", gumam Joshua lirih.

Tuk tuk tuk

Joshua menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia melihat suci datang dengan membawa sesuatu. Suci duduk di samping tempat tidur Joshua lalu memperlihatkan barang itu pada Joshua.

"Aku harap kamu mau terima ini", ucap suci lembut.

"Apa ini?", tanya Joshua.

"Bukalah", pinta suci.

Joshua membuka amplop putih berlogo rumah sakit itu. Joshua mulai membacanya dengan teliti. Matanya terhenti di tulisan 'pendonoran darah' lalu 'dari pasien Suci Anastasya'.

Joshua menatap tak percaya pada suci. Ia menggelengkan kepalanya pada suci namun suci hanya merespon dengan senyuman manisnya.

"Jo, tau ga. Ada hal yang suci ingin katakan"

Joshua menatap sendu ke arah suci.

"Suci sakit leukemia Jo"

Deg

"Suci sebentar lagi akan pergi dari dunia ini. Umur suci ga lama lagi", penuturan suci membuat Joshua terkejut.

"Maaf, suci ikhlas kok untuk pergi. Tapi...disisi lain, suci juga ga mau pergi", lanjut suci.

"Kenapa?", tanya Joshua penasaran.

"Suci suka sama Joshua"

Deg

Bukan hanya Joshua tapi seseorang dibalik pintu kamar Joshua pun ikut terkejut.

"A-apa ci?", tanya Joshua tak percaya.

"Lupakan, suci harap Joshua setuju dengan keputusan suci. Suci akan marah kalo Joshua tolak pendonoran darah ini", ancam suci.

"Suci kamu juga sakit!", sentak Joshua.

"Biarkan suci pergi Joshua, suci sudah lelah dengan semuanya. Suci ingin ikut ibu", isak suci.

"Jangan, suci harus tetap hidup. Jo yakin kamu pasti sembuh suci", ucap Joshua yakin.

"Terlambat Jo, suci sudah parah. Lagian dokter sudah memprediksikan bahwa suci akan pergi ga lama lagi", ujar suci sambil tersenyum walaupun air mata terus mengalir.

"Jo jangan lupain suci yah", ucap suci.

Joshua ingin menangis tapi ia menahannya. Ia tak mau menangis di depan suci. Joshua menarik tangan suci lalu memeluk suci dengan erat. Suci pun membalas pelukan itu dengan senang hati.

Lalu orang yang dibalik pintu pun merasa bersalah dengan apa yang ia pikirkan tentang suci selama ini.

"Suci ga mungkin kan?", batinnya lalu pergi meninggalkan ruang Joshua.

…⁠ᘛ⁠⁐̤⁠ᕐ⁠ᐷ

To be continued>>

Hayo hayo ada yang bakalan sad end beneran nih, jika boleh jujur author juga sebenarnya merasa bersalah membuat cerita ini, salahnya author adalah membuat kalian menangis dan merasakan kehilangan seseorang yang sangat kalian cintai namun tuhan lebih menyayanginya

Segini dulu ya sisanya kapan-kapan lagi

Seperti biasa see you(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

Tinta Terakhir Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang