Aku menjalani hidupku seperti biasa, rutinitas yang sama setiap harinya. Aku bersyukur bisa menjalani hari – hari seperti ini lagi, mengurangi pikiranku yang masih stuck bersama Adit.
Aku tersenyum geli, padahal tadi ibu sudah ingatkan untuk bawa payung. "Kan cuma ke mini market depan aja bu," kataku tadi. Nyatanya beneran hujan. Aku berteduh depan mini market berharap hujan berhenti sambil menimbang apakah lebih baik menunggu atau menerjang badai – mengingat jarak ke rumah hanya 100 meter.
"KIRANA!!"
Aku mengikuti suara yang memanggil. Alif berdiri sambil memegang payung disebelah mobilnya, dia tersenyum padaku. Ku rasakan senyumku kaku. Dia mendekat, setelah merasa nggak kehujanan dia meletakkan payungnya lalu bicara padaku. "Kamu daritadi?"
Aku mengangguk pelan.
"Hujannya deras dan sepertinya awet, kamu mau ikut mobilku?"
Aku menggeleng.
Alif mengangguk, lalu dia justru mensejajarkan diri disebelahku. Aku menoleh, matanya bertemu mataku. "Karena kamu menolak jadi aku temani kamu disini." kedua tangannya masuk ke saku celana dan tatapannya lurus menatap hujan.
"Ini sudah jam 10 Kirana, kamu yakin nggak mau ikut mobilku?"
Aku mengabaikannya.
"Kiranaa..."
Sudah habis rasanya kesabaranku, "Pak Alif, bapak kalau mau pulang silahkan. Saya masih mau menunggu hujan reda."
Alif melihat langsung kedalam mataku, "Kirana sampai kapan kita seperti ini? Berpura – pura seperti orang asing?"
Mendengar ucapannya entah kenapa bikin aku marah, ku tatap sengit dia. "Bukannya kita memang orang asing?"
"Kita sudah saling kenal sejak lama Kirana."
STOP! Pikiranku mulai berkecamuk, "Saya terima tawaran Pak Alif, saya mau ikut mobil Pak Alif." Kataku, mengalihkan diri agar nggak meledak isi kepalaku ini dan mengeluarkan kata – kata nggak pantas.
Ku dengar Alif mendengus kesal dibelakang, aku mempercepat langkah menuju mobil karena hujan masih lumayan deras. Selama dimobil kami memilih diam. Andaikata hubungan kami dulu berakhir dengan baik pasti aku akan bersikap seperti kawan lama yang baru berjumpa kembali.
Hanya saja, ini berbeda.
######
Ibu berpesan agar aku menunggu pakle sayur, menyuruhku membeli wortel, bayam, dan kecambah. Semenjak ada Kia, kami selalu masak sayur. Ibu menganggap Kia seperti cucunya sendiri. Ibu kelihatan bahagia saat bersama Kia.
TTIIIITTTT TTTIIIIIITTTT
Pakle sayur yang biasanya dipanggil Lelek Peri itu mengklakson panjang - panjang. Jam 8 teng pasti sudah tiba tepat waktu. Pangkalan lelek peri ya depan rumah Bu Dandi. Aku berjalan menghampiri lelek Peri, baru Bu Dandi yang absen beli sayur.
"Ibu kemana mbak?" tanya bu Dandi.
"Lagi kontrol, bu, ditemani Amena."
"Mbak Amena?"
Aku mengangguk sambil memilih bayam dan wortel. "Soalnya aku kan nunggu Kia."
"Ohiya biasa jam segini ya udah diantar." arah mata Bu Dandi melihat ke rumah Alif. Aku pun ikut melirik.
"Duh bu ibu, mulai deh gibahnya." kata Lelek Peri.
"Belum mulai ini Lek." seloroh Bu Dandi, dia meletakkan kacang panjang dam tempe. "Ini dihitung dulu lek."
Aku juga mendekatkan sayuranku agar bisa dihitung lek Peri.
"Tapi beberapa minggu ini nggak ada lihat mamanya Kia sih kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Sorry
RomanceMaybe, its just the wrong time for our story! Ku kira aku sudah baik - baik saja, bertemu dengannya tak ada dalam rencana. Dia hadir tanpa ku duga. Satu - satunya yang tak ingin ku sapa. Dia hal terindah yang terjadi dalam hidupku tapi berubah menja...