24

54 5 0
                                    

Berperang sama pikiran sendiri itu capeknya luar biasa, banyak hal sebenarnya yang kita takutkan padahal belum terjadi tapi seolah sudah muncul aja dikepala dengan sejuta kata 'seandainya' atau 'bagaimana kalau...'. Manusia punya rasa khawatir yang berlebihan sampai nggak sadar ternyata itu bikin sakit kepala.

Aku sendiri kadang overthinking, apalagi setelah kejadian semalam. Nyatanya sekarang seperti nggak terjadi apa – apa. Aku ke dapur untuk sarapan dan ternyata disana sudah kumpul keluarga Alif - 8 orang sedang duduk menikmati sarapan sambil ngobrol - aku kenal mereka saat dirumah sakit. Keluarga yang ramah dan modern. Bu Jasmin dan Pak Tony masing – masing bertiga saudara. Mama Alif punya dua kakak laki – laki, om Jusman dan Om Anjas. Sedangkan Bapak punya dua adik perempuan, tante Dewi dan tante Yuma.

Om Jusman datang bersama isterinya, tante Raya dan Om Anjas beserta tante Maya, usia mereka lebih tua dari kedua orangtua Alif kisaran 60 tahunan dengan rambut yang sebagian memutih. Mereka serupa sama mama Alif, tipikal orangtua modern dan trendy. 

Mereka menyambutku dengan senyum ramah, aku heran kapan mereka datang. Ya Tuhan! Aku yang bangun kesiangan, ku lirik jam tanganku. 08.00 WITA.

"Baru bangun cantik?" sapa Dewi, tante Alif menyodorkan roti bakar selai kacang padaku. Tante Dewi datang sama suaminya Om Vicky. Usia mereka kisaran 40an.

Tante Yuma sendiri seumuran Alif, anak Yuma ini lah yang katanya menjadi teman main Kia disini. Aku melirik suami Yuma, Edwin – dia blasteran Belanda gitu dan kelihatan bucin banget sama isterinya. Meski mereka seusia Alif, tetap harus panggil om dan tante. Dan aku akhirnya paham kenapa Alif anak tunggal, karena orangtuanya harus mengurus Yuma juga saat awal menikah dulu.

Aku mengangguk, "Maaf tante." ucapku, baru saja aku mau memasukkan potongan roti ke mulut – Alif muncul membawakan susu strawberry.

"Tenang Kirana, lebih baik kamu bangun siang daripada lihat kegaduhan 11 orang disini." kata Alif lalu duduk disebelahku. 

Jusman seperti ingin mengutarakan sesuatu, Alif langsung peka gelagat itu. "Ayolah om ngomong aja!" kata Alif layaknya bro and bro.

"Oke..." Jusman melihat saudaranya bergantian lalu ke Alif. "Bagaimana kamu dan Kirana bisa ketemu?"

Ku dengar erangan penuh jengkel dari Raya, isteri Jusman. "Malah nanya gitu? To the point aja Bang Jusman."

"Gini - gini, aku jelasin ya. Jadi kami semua penasaran. Kalian ini hubungannya apa?" Yuma memotong jalan karena sudah nggak tahan ingin menumpahkan pikirannya.

"Dia Kirana mantan kamu dulu itu?" Vicky melempar pandangan menyidik.

"Yang bikin kamu jadi amburadul?" Dewi ikut komentar.

"Wooahh... satu – satu dong nanyanya." Alif terdengar panik. Aku sendiri sejak pertanyaan pertama rasanya seperti dilempar es batu – beku sekujur badan.

Alif melihatku sekilas sebelum menanggapi mereka satu persatu. "Pertama - aku yakin Kirana sekarang nggak nyaman sama pertanyaan kalian ini. Kita biasa sefrontal ini tapi belum tentu Kirana."

Ku dengar ucapan maaf dari mereka, ku rasakan sudut bibirku mengembang tapi entah bagaimana bentuk senyumanku ini. Kenapa jadi gini? Kejadian semalam lalu pertanyaan – pertanyaan ini. Mereka terlalu modern nggak sih?

"Aku dan Kirana nggak ada hubungan apa – apa. Kami berteman." Alif melanjutkan jawabannya. "Terus perihal Kirana mantanku itu tahu darimana?"

"Ayolah Lif, hubungan kalian terekspos kan dipengadilan. Jangan lupa aku kerja disana." kata Vicky.

"Sorry." ucap Alif. "Iya dia Kirana mantanku dulu, hanya itu."

Setelahnya aku tersentak dengan respon keluarga Alif. "Kirana, aku prihatin."  Dewi memegang tangaku. "Junita memang tabiatnya buruk, tapi kami semua ada dipihakmu."

Love, SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang