Sabtu ketiga Agustus
21.30
Malam ini aku inisiatif mengganti tirai pintu yang menghubungkan store butik dan ruang jahit. Kursi kayu ini memang sedikit kurang rata, tapi aku berpijak kokoh dan satu tangan berpegangan pada kusen pintu.
"Selamat malam Kirana."
Suara yang sangat ku kenal, aku menoleh kasar dan lupa pada pijakan kursi yang nggak sempurna. Ku rasakan kursi ini goyang, tanganku terlepas pada kusen tapi satu tangan lain mencoba meraih tirai.
Sial! Tirai ini terlepas dari gantungan.
Tubuhku seakan membeku saat ku rasakan tangan kokoh melingkar dipinggangku, ku lihat Alif berusaha menahanku dan satu tangan lainnya memegang kursi supaya tetap berpijak dilantai. Ada getaran listrik yang tiba-tiba muncul di dadaku, Aku meraih bahunya, berpegangan, dan pelan-pelan mengikuti iramanya menuntun kakiku berpijak dilantai.
Dia nggak melepaskan tangannya di pinggangku meski aku sudah tegak berdiri dan melepaskan tanganku dari bahunya. Jarak kami sangat dekat, dia menatapku kosong. Aku menggeliat pelan untuk melepaskan diri, dia sadar lalu melepaskan tangannya dan mundur beberapa langkah. Raut wajah salah tingkah terpancar disana.
"apa kabar Kirana?" suaranya lirih tapi jelas terdengar.
Aku tersenyum samar, berharap senyumku kali ini seramah aku menyambut cust yang datang ke store untuk menjahit atau shopping baju. "Baik. Kapan datang Pak?"
"Siang tadi," dia menjawab sambi lalu karena tangannya mulai membenahi tirai yang gagal ku pasang tadi. Beberapa kali ku lirik dia sambil memerhatikan penampilannya, terlihat kacau dari biasanya seperti tak terurus dan banyak pikiran.
"Kamu suka melakukan ini malam malam?"Pertanyaan Alif membuyarkan isi pikiranku, aku mengerjap sepersekian detik sebelum menjawab. "Biasanya nggak cuma karena lagi mengisi waktu jadinya ku kerjakan."
"Ini malam minggu Kirana, kenapa kamu nggak milih jalan bareng yang lain?" Dia masih bertanya saat tangannya sibuk memperbaiki tirai-tiraiku. Aku diam ditempat karena Alif memberi kode dia bisa sendiri.
"Yang lain?" Keningku berkerut.
"Mena, Nia, Suci, Anggi. Ku lihat di SW mereka lagi hangout bareng."
Ku rasa keningku sekarang berkerut dan berlapis - lapis.
Alif menoleh melewai bahu kanannya, memandangku dengan tatapan kelembutan. SIALAN!
"Aku berteman sama Mena dan Nia di WA." Alif menjawab kebingunganku.
Mulutku membentuk hurf O lalu menjawab pertanyaan Alif. "Saya kurang suka jalan malam minggu, terlalu rame."
"Selesai." Kata Alif takjub melihat hasil karyanya itu. Tiraiku terpasang sempurna disana. Dia membalik badan dan berhadapan denganku. "Terakhir kali aku pasang tirai mungkin saat ngekos dulu." Dia terkekeh lalu terdiam. Aku yakin dia merasa salah bicara, membahas masa ngekos sama dengan mengungkit kenangan lama kami.
"Terimakasih," ucapku memecah keheningan beberapa detik ini. "Ohya kabar Kia gimana?"
Alif mengulurkan tangan kanan menunjuk Sofa sebagai tanda 'bolehkah aku duduku?', aku persilakan dia duduk dengan mengangguk. Dia duduk dan aku tetap berdiri ditempatku. Harus ada jarak diantara kami.
"Kia baik, dia cepat menyesuaikan diri, aku senang dia tumbuh bahagia." Sorot mata Alif terlihat bersinar dan raut wajahnya lebih cerah. "Dia punya teman disana Kirana, keponakanku juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love, Sorry
RomanceMaybe, its just the wrong time for our story! Ku kira aku sudah baik - baik saja, bertemu dengannya tak ada dalam rencana. Dia hadir tanpa ku duga. Satu - satunya yang tak ingin ku sapa. Dia hal terindah yang terjadi dalam hidupku tapi berubah menja...