18

58 7 0
                                    

Dia tak berwujud namun terasa nyata, Dia datang tanpa diminta, Juga pergi begitu saja, Dia sejuta warna, Dia adalah sebuah rasa - Rasa CintA - Hanya hati yang bisa merasa, Tak teraba namun nyata adanya

Aku merebahkan diri pada daybed sofa dekat jendela kamarku, rasanya segar enak dibadan setelah mandi,handuk sengaja masih ku lilitkan menutup rambut. Langit malam bahkan belum menampakkan gemintang. Aku menghirup udara dalam-dalam, ku sentuh perutku, aku meringis kesakitan saat tanganku tepat berada di bekas jahitan meski sudah nggak sakit lagi. Fakta sempat ada bayi didalamnya membuatku mengingat malam itu.

Anehnya, aku merasa baik – baik saja. Benar kata Mena, aku harus berdamai dengan diriku sendiri. Melanjutkan hidup bukan berarti menutup segala kemungkinan yang datang. Aku nggak bisa menghapus kenangan burukku, yang bisa ku lakukan berteman dengan semua hal yang terjadi dimasa lalu. Meski akhirnya menjadi kenangan buruk setidaknya aku bisa berdamai dengan menerima bahwa jalan takdirku memang seperti itu.

Jika aku bertanya, "Kenapa aku,Tuhan?" lalu saat Tuhan menjawab, "Kenapa tidak?" dan aku bisa apa?

Semingguan sudah perayaan kemerdekaan berlangsung, berbagai kegiatan berjalan lancar dan tentu saja menghibur. Aku bahkan lupa memikirkan Alif saat menonton lomba lomba ini, anak – anak, ibu – ibu dan bapak – bapak semua berpartisipasi. Paling seru lomba make up, bapak – bapaknya memberi make up istrinya. Hingga aku tersadar, acara semeriah ini, penuh tawa dan sendagurau tapi aku merasa kesepian.

"Hey!" Nia menyenggol lenganku saat aku melamun, kami berdiri disisi lapangan setelah teamku kalah voli.

"Melamun?"

Aku menggeleng.

"Om Ares keren ya, pesonanya kalau sudah main voli lain dari yang lain."

Aku menyipit – ku tatap Nia dengan keseriusan yang menghujam. "Masih naksir?"

"Nggak lah. Sudah pupus semenjak tahu suka gonta ganti cewek."

Aku menahan geli, aku merapikan tas ku sebelum pulang. Teman team ku yang lain lagi diseberang lapangan – asyik ngobrol sama teman mereka dari team lain.

"Om tetangga kemana ya?"

Pertanyaan Nia sukses bikin tanganku berhenti dari menutup resleting tas. Aku nggak mau merespon, khawatir pertanyaan itu hanya jebakan semata. Padahal aku sendiri penasaran tapi ku tahan – tahan selama semingguan ini. Nggak mungkin kan aku merindukan dia?

"Nggak ada kabarnya sejak dia gagal main voli."

"Bukannya kamu dan Bu Dandi paling pertama tahu ya soal apapun di kompleks kita."

"Yyyeeee... kebetulan saja itu mba. Cuma ini beneran nggak ada kabar. Mba nggak kepo?"

Aku menatapnya bingung, aku tahu aku akting.

"Secara dia sudah nyatain cinta ke mba, kan?"

Aku menepuk pundaknya. "Mending kamu antar mbak pulang."

"Mba nggak khawatir?"

Aku menggeleng meski hatiku sepertinya berkata lain, "Dia kan sudah dewasa, jadi pasti baik baik saja dan kan memang nggak bisa main voli karena ada kerjaan dianya."

"Iya juga sih. Palingan juga lagi kelur kota kan? Eh tapi nggak kayak biasanya deh mbak, semalam ku lihat rumahnya itu mati lampu total, nggak kayak sebelum – sebelumnya. Apa mungkin om tetangga sakit?"

Nia paling bisa bikin aku jadi memikirkan hal – hal yang ku hindari, rasa khawatir misalnya. Kata – kata Nia seperti kaset rusak yang mengulang dikepala, 'Apa mungkin om tetangga sakit?'

Love, SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang