12

62 9 0
                                    

Bukan pertama kalinya aku berziarah ke makam Adit dan anakku, bahkan itu adalah kegiatan rutin yang udah ratusan kali ku lakukan. Lalu, hari ini terasa berbeda, ada yang mengganjal dihatiku. Ada sesuatu yang aku sendiri bingung ini tentang apa. Aku duduk ditepi ranjangku, menggeser - geser layar ponsel tanpa ada yang ingin ku cari. Begitu saja selama 15 menit.

"Kirana..." Ibu mengetuk pintu kamarku sebelum membukanya. Senyum wibawa ciri khas ibu menyapaku.

Aku balas tersenyum, meski ku rasakan senyumku kaku. "Mena udah dijalan, bentar lagi nyampe. Kita nunggu depan aja." katanya.

Aku mengangguk setuju lalu beranjak dari dudukku, "Bentar ya Bu."

Tanpa membalas – ibu menutup pintu dan membiarkan ku sendiri lagi dikamar ini. Lagi – lagi airmataku keluar tanpa permisi, ku usap pipiku dengan punggung tangan kanan. Ku seret kaki ini menuju meja rias. Pantulan diriku tercermin disana.

Aku kenapa?

Ku tanyakan pada diriku di cermin.

Hening!

Kakiku goyah, ku cengkeram sisi meja dengan kedua tanganku agar tidak ambruk. Aku sudah terbiasa dengan perasaan duka ini, belajar menerima dan melepaskan. Aku bahkan sudah berdamai dengan diriku sendiri.

"Maafkan aku..." pekikku, disela – sela derai airmata ini. Lalu aku menyadari sesuatu. Maaf? Maaf untuk apa? Kenapa aku minta maaf?

semakin kuat cengkeraman tanganku pada sisi meja - rasanya ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam diriku.

"Kirana...."

Suara yang amat sangat ku kenal, aku menoleh pada Mena. Dia segera menutup pintu rapat – rapat dibelakangnya saat melihat kondisku.

"Kamu nggak apa – apa?" Mena berjuang menjaga suaranya tetap tenang walau jantungnya berdebar kencang. Terakhir kali dia melihatku begini – aku habis minum beberapa pil tidur. Dia muali terlihattenang saat matanya tak menemukan benda – benda aneh yang berserakan.

Aku semakin menangis – tanganku terkulai lemas – dan aku terduduk dilantai. Mena melompat mendekatiku lalu memelukku erat, tanpa berkata apa – apa, hanya memelukku dan menepuk pelan punggungku sambil berkata, "Aku ada disini Kirana."

"Maafkan aku Mena..."

"Maafkan aku...."

Entah kenapa hanya itu yang keluar dari mulutku. 

######

Mena mengajariku menarik napas pelan dan panjang lalu menghembuskan perlahan, ku lakukan beberapa kali sampai suasana hatiku tenang. Anggukan Mena seolah berkata, "Semua baik - baik aja."

"Kamu mau dirumah aja?" tanya Mena setelah nggak ada respon apa - apa dariku.

Aku menggeleng lemah.

"Kirana...." suara Mena menuntutku untuk menatap matanya. 

ku tatap mata saudaraku ini lekat - lekat, aku butuh pertolongan.

"Aku bisa." suaraku terdengar hanya bisikan. 

Mena mengangguk lalu berusaha meraih lenganku - menuntunku berdiri. "Aku tahu kamu selalu bisa Kirana."

Mena nggak pernah sekalipun bertanya alasan kenapa aku menangis - sedih - marah - kecewa. Dia bisa menempatkan diri sebagai seseorang yang ku butuhkan. Dia juga nggak marah andaikata aku nggak pernah cerita apapun ke dia. Ku pejamkan mataku - rasanya nggak mau ku buka lagi. Rasa bersalahku semakin tumbuh membesar.

#########

Biasanya, ini bagian paling aku suka - memegang nisan suami dan anakku yang letaknya bersebelahan ini lalu ku ajak keduanya ngobrol. Apapun! Seolah mereka ada didunia ini.

Aku selalu merindukan mereka, ku usap perutku - ku rasakan bekas jahitan ku. Aku masih suka berandai - andai. Andaikan suamiku masih hidup, andaikan anakku juga masih hidup. Kami pasti jadi keluarga sempurna.

tiba - tiba ku rasakan bahuku naik turun, airmata nggak bisa lagi ku bendung. Ibu merangkulku, menenangkan. Mena memberiku tissue - dia meremas pelan salah satu pundakku.

"Maafin Mama," ku usap nissan anakku.

"Maafin aku." lalu tanganku yang lain mencengkeram nissan suamiku.

aku mulai mengenali arti rasa mengganjal dalam hatiku, suatu perasaan bersalah! Dan aku belum mengerti perasaan bersalah ini tentang apa.

########




Love, SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang