Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan, semua skenario hidup telah terancang dengan sempurna di tangan Tuhan, entah baik ataupun buruk. Abah sering menyebutnya takdir, apapun yang terjadi dalam hidup adalah takdir. Tak peduli apakah jalanan berbatu ataukah jalanan berlumpur yang kami lalui, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melanjutkan nafas di atas langkah.
Aku memang tidak seberuntung gadis lain, aku terlahir dari ketidaksempurnaan, yang membawa ku pada fase tersulit dalam perjalanan tanpa akhir. Hidup dalam sebuah rumah sederhana berbahan dasar kayu dan dinding anyam, tinggal bersama Abah, Emak dan juga Bapak, menjadikan ku sosok gadis yang tidak mengenal dunia luar.
Sejak belia hingga saat ini usia 22, aku menghabiskan waktu untuk bekerja di perkebunan teh milik juragan Agus, mengurus Bapak yang terkena stroke dan membantu Emak mengerjakan urusan di dalam rumah. Terkadang aku merasa cemburu disaat melihat puluhan burung camar terbang tinggi melintasi desa, membentangkan sayap dengan bebasnya, sementara aku masih terkurung dalam sangkar rapuh.
Sudah satu bulan lebih aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kediaman juragan Agus, sekarang tempat ini kembali ramai setelah juragan pulang dari rumah sakit. Beliau tidak melakukan rawat inap karena tidak ingin meninggalkan kediamannya, oleh karena itu dokter hanya memberikan pengobatan rawat jalan.
Banyak orang berkumpul di ruang keluarga, termasuk Bu Sekar, Nauval dan Teh Sinar yang kebetulan sudah pulang mengajar. Sedangkan Teh Intan masih menjalankan tugasnya di rumah sakit, sebagai seorang dokter spesialis anak.
Aku memasuki ruang keluarga dengan membawa beberapa gelas teh hangat yang diletakkan di atas nampan bundar, setelah ini tugas ku akan selesai dan biasanya juragan memperbolehkan untuk pulang.
"Juragan? Semua pekerjaan hari ini sudah selesai, makanan untuk makan malam sudah siap di meja makan, di dalam tudung saji. Kalau begitu Kenanga pamit pulang ya, semoga juragan lekas pulih.." Aku menundukan badan dari arah yang cukup jauh, sorot mata Bu Sekar selalu membuat ku takut akhir-akhir ini.
"Iya, terimakasih... Nauval? Tolong antar Kenanga pulang ya." Ucap juragan Agus.
Nauval langsung berdiri dan menghampiri ku. "Siap Pah! Ayo berangkat sekarang, mumpung belum turun hujan."
Setelah mengucap salam kepada tiga orang tersisa, aku dan Nauval memulai perjalanan menuju rumah Abah dengan berjalan kaki. Melintasi jalanan setapak, kanan-kiri sepanjang jalan di hiasi oleh berbagai macam bunga aneka warna. Udara sejuk kian menusuk, membuat ku semakin mengeratkan kepalan tangan dibalik sweater.
Nauval tampak tenang, menoleh ke kiri dan ke kanan, terkadang berbicara singkat setiap kali melihat hal yang menakjubkan. Sudah sangat lama sekali, kami tidak bersama seperti ini, rasanya canggung dan bahagia diwaktu yang sama.
Hingga, kami sampai di area perkebunan teh milik juragan Agus. Nauval menghentikan langkah kaki nya, berdiri di bawah pohon cemara berukuran besar dengan tinggi sekitar 4 meter. Aku turut berhenti melanjutkan langkah, menghampiri Nauval yang masih asyik memandang langit mendung di sebelah timur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arah (SELESAI)
General FictionKenanga tak pernah menyangka akan berhadapan dengan situasi sulit saat beranjak dewasa, jiwanya diserang dari berbagai sisi namun ia hanya memiliki dua arah yang terasa serba salah. Jalan manakah yang akan Kenanga pilih? jalan manakah yang akan memb...