Pertemuan dengan Bu Sekar membawa ku dalam situasi dilema luar biasa, ia datang ke rumah sakit bersama juragan Agus, untuk melihat kondisi Fahmi yang mengalami kecelakaan tunggal. Bu Sekar bercerita jika Fahmi hendak menjenguk Ustadz Sulaiman ke rumah sakit, namun tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan saat ada seorang anak kecil menyebrang jalan tanpa aba-aba, menurut penuturan saksi mata di lokasi kejadian.
Satu hari setelah Fahmi mendapatkan penanganan medis, ia sempat siuman dan menyampaikan beberapa pesan kepada ibunya. Hingga beberapa jam kemudian dokter menyatakan Fahmi telah meninggal dunia, hal tersebut diakibatkan oleh pendarahan serta benturan hebat yang terjadi di area kepala bagian belakang yang langsung terhubung dengan saraf otak.
Hatiku sakit, sangat. Banyak sesal yang ku keluarkan lewat airmata, mengapa aku bersikap sedingin itu pada pria sebaik Fahmi, meskipun aku tidak memiliki perasaan apapun setidaknya aku bisa memberikan respon yang lebih baik jika tahu Fahmi akan berpulang secepat ini. Sekarang jenazah Fahmi masih berada di ruangan tempat dimana ia terakhir kali menghembuskan nafas, aku masih mendengar jelas jeritan serta isak tangis Bu Sekar setelah kehilangan anak semata wayang nya.
Aku terduduk lemas, masih ditemani Bapak karena Kak Aisyah harus menghadap dokter, ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan pihak keluarga pasien. Pikiran ku semakin rumit, setelah kepergian Fahmi, aku semakin takut jika suatu saat nanti Allah akan menjemput Ustadz Sulaiman juga. Aku akan semakin merasa bersalah karena telah mengabaikan perasaan dua pria sekaligus tanpa jawaban ataupun penjelasan, bahkan hingga saat ini kami belum berhasil menemukan donor mata yang tepat untuk Ustadz Sulaiman.
Tak lama berselang, Kak Aisyah kembali, memandangiku dengan senyuman kecil namun airmata nya masih terus bercucuran, di susul oleh kedatangan Bu Sekar dan juragan Agus. Kak Aisyah memelukku cukup lama, menangis terisak hingga membasahi hijab yang ku kenakan.
"Kenanga..." Lirih Kak Aisyah, lalu melepaskan pelukan kami.
"Iya? ada apa?" tanya ku pelan seraya meraih bahu nya.
"Fahmi mendonorkan matanya untuk Sulaiman.." Jawab Kak Aisyah terbata, tangisnya semakin deras, dengan sigap Bapak memeluk nya.
Entah, apakah aku harus bersyukur atau berduka? aku, tidak, kami, baru saja kehilangan Fahmi. Sekarang mendapat kabar bahwa Fahmi mendonorkan matanya untuk Ustadz Sulaiman, aku tak dapat tersenyum untuk saat ini, meskipun dalam hati ada secuil harapan yang masih tersimpan.
"Ibu ikhlas jika itu kemauan Fahmi, semoga bermanfaat dan menjadi ladang pahala untuk Fahmi di akhirat.." Ucap Bu Sekar, aku melihat jelas kesedihan dibalik senyuman simpulnya tapi Bu Sekar masih berusaha terlihat tegar.
"Bu? terimakasih banyak atas kelapangan hati Ibu, semoga Allah membalasnya berkali lipat ganda." Ucap ku lirih.
Bu Sekar mengangguk beberapa kali, memeluk ku sekejap. "Sebentar lagi jenazah Fahmi akan pulang, tidak apa-apa jika kalian tidak datang saat dikebumikan, Ibu paham, sekarang pun sudah malam.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arah (SELESAI)
General FictionKenanga tak pernah menyangka akan berhadapan dengan situasi sulit saat beranjak dewasa, jiwanya diserang dari berbagai sisi namun ia hanya memiliki dua arah yang terasa serba salah. Jalan manakah yang akan Kenanga pilih? jalan manakah yang akan memb...