18. Pernikahan kedua

1 0 0
                                    

Hari sudah berganti, sesuai rencana semalam Kenanga tetap pergi ke rumah Wisnu, ia berangkat sendiri tak di dampingi siapapun.

Kenanga berjalan kaki untuk sampai kesana, melewati jalan biasa yang kini sudah diperbaiki. Di tengah perjalanan seorang pemuda turun dari motor sport yang baru saja berhenti di dekat warung kopi, gadis berusia 23 tahun itupun terdiam setelah mendengar namanya di panggil.

"Fahmi?" gumam Kenanga dengan wajah merona efek terkena sinar matahari pagi.

"Udah lama ya kita gak ketemu.. Gimana kabar Bapak kamu?" tanya Fahmi antusias seperti biasanya.

"Alhamdulillah semuanya sehat.." Jawab Kenanga pelan.

"Syukurlah kalo gitu, kamu mau kemana? Kok sendirian?"

"Ke rumah Mang Wisnu.."

Raut Fahmi berubah masam, namun tidak lama, hanya sekian detik lalu kembali tersenyum canggung. "Mau ketemu Nauval?"

Tatapan Kenanga menajam dengan hembusan nafas kesal. "Bukan, sudah ya aku mau lanjutkan perjalanan nanti keburu siang.."

"Tunggu.." Fahmi meraih lengan Kenanga yang masih tertutup kain baju, tak terlalu kencang namun membuat pemiliknya kembali berbalik dan melepaskan lengan nya dari genggama pria berkulit putih langsat itu. "Maaf, aku anterin mau?"

"Tidak perlu, terimakasih.."

"Eh tau gak, sekarang aku mondok di ponpes Darull Qur'an, ponpes cabang punya Ustadz Sulaiman.." Cerita Fahmi dengan antusias, entah mendapat hidayah dari mana pemuda liar yang sebagian hidupnya dihabiskan dijalanan kini belajar memperdalam kitab suci Al-Qur'an disebuah pondok pesantren baru yang terletak di Desa Sukaluyu.

"Alhamdulillah kalau begitu, belajar yang giat... Aku mau pergi sekarang ya, nanti gak keburu ke tujuan selanjutnya, Assalamualaikum..."

Mendapat respon tak sesuai ekspektasi membuat Fahmi sedikit fesimis, padahal ia ingin menunjukan kepada orang-orang bahwa pemuda senakal apapun bisa berubah menjadi lebih baik. Meski begitu, respon Kenangan tak menghilangkan niat di hati nya untuk benar-benar kembali ke jalan yang lurus, Fahmi kembali menaiki motor sport nya dan pergi ke pondok pesantren tempatnya menimba ilmu.

Tak berselang lama Kenanga sampai di rumah Mang Wisnu, tempat yang semula selalu ramai karena Bi Rahma membuka warung kini tutup dan sepi. Halaman depan tampak dipenuhi dedaunan kering yang berserakan, tumbuhan di dalam pot tak lagi terurus. Kenanga berjalan memasuki halaman dengan perasaan lain, antara takut dan juga pengap.

"Assalamualaikum.." Ucap Kenanga seraya mengetuk pintu utama.

Sudah tiga kali mengucap salam namun tidak ada jawaban, Kenangan berbalik arah, bola matanya menjelajahi setiap sudut halaman, tak ada keberadaan keluarga Mang Wisnu disana. Langkah kakinya terasa semakin hampa, lalu berhenti di dekat pohon mangga kweni, disana ada ayunan yang terbuat dari tambang dan kayu, dulu disaat masih kecil Kenanga dan Sindi selalu bermain ayunan disana, sebelum doktrin kotor dari orangtua Sindi mempengaruhi segalanya.

"Neng? cari siapa?" penduduk setempat, seorang wanita 40 tahunan, berpakaian sederhana, menghampiri Kenanga yang masih terpaku.

"Umm, cari Mang Wisnu.. Sudah diketuk tapi tidak ada jawaban, mereka kemana ya, bi?"

"Sejak Aleena meninggal mereka jarang sekali keluar rumah, apalagi sekarang Sindi sama Nauval sudah cerai, Wisnu sudah tidak kerja di juragan Agus, Rahma juga sudah tidak kerja di Desa, warung nya tidak pernah buka lagi neng..." Cerita wanita itu hampir bisik-bisik.

"Apa bibi tau jam berapa mereka biasanya keluar?" tanya Kenanga setelah menelan ludah pahit, begitu banyak hal yang terjadi pada keluarga mamang nya.

"Bibi kurang tau, biasanya Winsu keluar malam buat beli mie di warung Ceu Ikah. Saran bibi sih kalau mau ketemu Sindi harus ditemenin siapa gitu neng, soalnya Sindi sekarang gila sering ngamuk gak jelas, makanya warung si Rahma sepi karena anak-anak pada takut mau jajan juga."

Dua Arah (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang