“Anak perawan lo noh, Sha, lagi galau.” ujar Akbar menoleh ke arah Derland sebentar, lalu terkekeh kecil.
“Kenapa?” tanya Shaka.
“Udah seminggu ngga ketemu sama bocilnya,” jawab Eric.
Derland yang tengah asik bermain kubik, menoleh kearah mereka dan menatapnya dengan tajam.
“Lo belum ngejelasin tentang kejadian malam itu?” tanya Shaka menatap Derland.
“Belum,” jawab Derland singkat. Kembali memainkan kubiknya.
“Yaelah, Sha! Kan nomernya di block, gimana mau ngejelasin. Sedangkan kalo ditemuin secara langsung Naya nya langsung ngehindar,” celetuk Akbar.
“Ibunya juga udah lama ngga keliatan di kantin,” kata Shaka.
Dia juga udah resign dari kafe, sebenernya ada apa sih? Tanya Derland membatin.
“Baru kali ini gue liat Derland segalau itu cuman gara-gara bocil SMP,” kata Eric.
“Aku bisa jelasin, jangan kayak gini!”
“Mau di jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas, Bar! Jelas, kamu cuman main-main sama aku!”
“Aku serius sama kamu. Kemarin itu--”
“Cukup! Aku ngga mau lagi denger sepatah-kata pun dari kamu.”
“Aku serius--”
Brak! Derland meletakkan kubik tadi di atas meja dengan kasar. Menghentikan drama Akbar dan Eric yang sedang berlangsung. Cowok itu menatap keduanya dengan datar lalu beranjak dari duduknya, dan pergi begitu saja.
*****
Derland berjalan santai memasuki rumah. Namun langkahnya langsung terhenti ketika melihat Delvin dan Galen tertawa ngakak di depan layar televisi.
Yang membuat Derland heran. Kenapa mereka bisa ngakak padahal yang sedang mereka tonton itu adalah acara debat politik, bukan acara komedi atau lawak yang bisa membuat mereka tertawa hingga terpingkal-pingkal seperti sekarang.
“Kalian ngapain?” dahi Derland mengernyit heran. Ia menatap Delvin dan Galen bergantian.
“HAHAHAHAHA...” Galen justru tertawa semakin keras dan tidak memedulikan kehadiran Derland.
Delvin melirik kearah Galen kemudian ikut tertawa lagi. “HAHAHAHAHAHA....”
“Heh! Dakjal!” Derland menendang pantat Delvin cukup kencang.
“Awh!” menghentikan tawanya. Kini Delvin menatap Derland dengan horor sekilas, lalu kembali melanjutkan tawanya lagi.
“HAHAHAHAHAHAHA....”
“Setan!” Kini Derland beralih pada Galen, ia mengguncang bahu Galen cukup kencang.
Menghentikan tawanya. Galen menatap Derland. “Lo ngomong sama gue?” tanya Galen menunjuk dirinya sendiri, dan Derland mengangguk.
“Nggak mungkin gue ngomong sama panu lo!” semprot Derland. “Kalian kenapa? Kesurupan? Gila? Perlu gue panggil dukun atau telfon RSJ?” tanya Derland bertubi-tubi.
“Sembarangan!” dengan refleks Delvin dan Galen memukul Derland menggunakan bantal sofa.
Derland me-rolling bola matanya. “Ya terus? Apalagi yang bisa mendeskripsikan kalian sekarang selain kesurupan sama gila?”
“Gue sama bang Delvin lagi ngetawain mereka. Biar nanti gue bisa kayak mereka,” tunjuk Galen ke televisi. Derland mengikuti arah tunjuk Galen. Lalu dahinya mengernyit tidak paham. “Katanya kita ngga boleh ngetawain orang lain. Karena bisa jadi kita kayak orang itu. Yaudah gue sama bang Delvin ngetawain mereka, biar bisa kayak mereka.” lanjut Galen menjelaskan. Bahkan tanpa Derland minta.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Petite Amie
Teen Fiction"Emang Om ngga malu pacaran sama anak SMP?" "Berhenti panggil gue 'Om', gue masih SMA!" © kimviitaelove, 2022.