BAB [3]

2.7K 153 0
                                    

Arka pulang sambil mengendarai mobilnya di tengah hujan, sejak pagi dia sudah menyangka kalau hari ini semesta akan menumpahkan jutaan air untuk membasahi bumi. Dengan setengah melamun dia membawa mobil membelah jalanan ibu kota yang mulai lengang, saat ini hari sudah pukul 10 malam, mungkin orang-orang malas ke luar saat cuaca tidak bersahabat seperti saat ini.

Ketika dia sampai di dekat TVRI, matanya menangkap seseorang yang dia kenal. Seorang gadis yang baru saja keluar dari mobil, dan saat ini sedang menendang ban mobilnya dengan wajah kesal. Arka segera menepi di belakang mobil tersebut, gadis itu menatap ke arahnya sambil menutup wajah untuk menghalau cahaya dari lampu mobil.

Arka mengambil payung dan membukanya sebelum dia berjalan keluar, dan mendekati gadis itu dengan langkah lebar. "Anggi, mobilnya kenapa?" Dia bertanya setelah sudah berada tepat di hadapan gadis itu. Bahkan dalam keremangan cahaya lampu yang seadanya, Arka bisa melihat kalau tubuh gadis itu menegang, Anggi bahkan tidak menatap ke arahnya saat dia bicara.

"Bannya kempes," Anggi menjawab singkat.

"Aku antar pulang," suara Arka terdengar tegas, tapi Anggi menggeleng cepat sambil membuka pintu mobil.

"Gak usah, aku bisa sendiri!" Anggi menjawab datar, lalu dia meraih ponsel dan bersiap untuk menghubungi seseorang, tapi Arka sudah terlebih dulu menahan tangan, dan menyeretnya menuju mobil pria itu.

"Aku gak mau pulang sama kamu, Kak!" Anggi berteriak dan tetap bergeming.

"Ini udah malem, Gi. Gak baik kalau kamu pulang sendirian!" Arka tidak mau kalah, dia tetap berusaha menarik gadis itu, tapi Anggi malah semakin berontak.

"Aku udah biasa pulang malem sendiri dan enggak ada masalah," dia berkata sinis sambil menatap Arka dengan pandangan marah. "Jadi Kak Arka gak usah sok baik karena berpura-pura khawatir dengan keselamatanku!"

"Aku cuma gak ingin kamu kenapa-napa!" Arka mulai merasa frustasi dengan keadaan yang sedang di hadapinya, dia tahu kalau Anggi sengaja menjaga jarak, bahkan setiap kata yang dilontarkannya, terdengar seperti mengandung kebencian untuknya. Arka tidak bisa menyalahkan gadis itu, karena pada kenyataannya dirinyalah yang bersalah. Dia mengabaikan Anggi tanpa memberikan penjelasan apapun, masa indah yang pernah mereka lewati; sengaja Arka buang, hanya karena dirinya-dulu-terlalu takut untuk menghadapi sikap Angga, sahabat baik sekaligus kaka dari gadis itu.

"Haha," Arka merasa jantungnya seperti diremas saat dia mendengar Anggi tertawa sumbang, "Seharusnya kamu bilang seperti itu tiga bulan yang lalu! Sebelum aku dan perasaanku sudah kenapa-napa!" Dia berkata sarkastik.

"Gi...," suara Arka melemah saat mendengar nada sakit hati dalam suara Anggi, "Kita bahasa hal itu nanti, tapi untuk sekarang. Aku mohon kamu harus ikut aku pulang," dia meremas tangan Anggi dan berusaha membujuk gadis itu agar mau ikut dengannya. Tapi reaksi yang ditunjukan Anggi malah sebaliknya, gadis itu menghempaskan tangan Natha, sementara payung yang dipakainya mulai tidak bisa berdiri tegak.

"Jauhin aku, Kak!" Anggi menggelengkan kepala dengan sedih, "Jangan pernah temui aku lagi, jangan pernah muncul dalam hidup aku lagi," dia berani mendongak dan menatap Arka, Anggi yakin kalau air hujan akan menyamarkan air matanya yang sudah mengalir deras. Sikap Arka selama tiga bulan terakhir sudah membuat banyak sayatan untuk hatinya. Sayatan yang secara perlahan sudah membuat hatinya menjadi potongan yang tidak berbentuk "Sekalipun suatu saat kita berpapasan dalam acara keluarga, tolong anggap aja kalau kita tidak pernah dekat, atau saling mengenal sebelumnya!"

Tepat setelah ucapan itu sampai di telinga Arka, tangan dokter muda itu meraih wajah Anggi dan menjatuhkan payungnya dengan sembarangan, secepat kilat dia membawa wajah Anggi dan mendaratkan ciuman di bibir gadis itu. Hal tersebut sontak membuat tubuh Anggi menegang, payung yang sejak tadi masih dipenganya kini sudah terkulai bersama bahunya yang perlahan menerima kecupan Arka.

Anggi ingin sekali menolak, tapi sisi dirinya yang lain sangat merindukan pria itu. Dia membalas ciuman Arka bersama air mata yang meleleh di ke dua pipinya, rasa asin dari cairan bening itu tersamar, dan perlahan terbasuh oleh air dari langit. Tapi rasa sakit yang Anggi rasakan, tetap bersarang dalam dada dan masih enggan beranjak.

"Pulang bareng aku ya," Arka berkata lembut setelah melepaskan ciuman mereka, dia tidak menunggu Anggi untuk menjawab, melainkan segera membawa tubuh gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Dia mengambil tas Anggi dari mobil jazz warna merah yang ban depannya bocor, lalu menguncinya. Dan setengah berlari saat kembali ke dalam Harrier miliknya.

Sesampainya di balik kemudi, Arka segera berbalik ke kursi belakang untuk mencari handuk yang biasa dia bawa untuk berjaga-jaga, lalu dia menyerahkan pada Anggi saat sudah menemukannya, "Keringkan rambutmu, biar gak masuk angin."


Dengan enggan Anggi menerima handuk yang diulurkan Arka, dia mengeringkan rambut sambil menatap ke luar jendela, sorot matanya yang tampak tenang berbanding terbalik dengan detak jantungnya yang menggila. Berada di samping pria yang dia cintai, hal itu masih selalu membuatnya gugup dan salah tingkah. Sekalipun rasa itu sudah membaur dengan rasa sakit hati yang Anggi rasakan, namun jantungnya tetap berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Maaf," satu kata lirih yang terucap dari bibir Arka sontak membuatnya menoleh.

"Untuk apa?" Anggi bertanya datar.

"Untuk tiga bulan ini," Arka melirik sekilas ke arah Anggi, dan dia merasa menjadi manusia paling brengsek karena sudah menumbuhkan guratan kesedihan di wajah cantik itu.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan," Anggi menarik napas berat, lalu dia menghembuskannya dengan perlahan.

"Mungkin aku yang terlalu banyak berharap sama kamu, Kak," dia menoleh, dan matanya bertemu dengan tatapan Arka yang kebetulan sedang meliriknya. "Seharusnya aku tahu kalau selama ini Kaka hanya menganggapku hanya sebagai Adik."

Arka ingin meluruskan pemikiran Anggi terhadapnya, tapi dia hanya mampu meremas kemudi sambil membuang wajah ke arah samping. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dirinya menjauh karena memikirkan perasaan Angga, sementara dia tidak memikirkan luka yang tertoreh di hati Anggi akibat sikapnya tersebut.

Sekalipun dia berusaha untuk menjelaskan, apa yang bisa dia janjikan pada Anggi? Karena pada kenyataannya Arka sendiri masih belum bisa memilih jalan mana yang akan dia tempuh. Jadi dia hanya memilih diam, biarlah Anggi membencinya untuk saat ini, asalkan esok hari gadis itu bisa kembali tersenyum bahagia di sampingnya.

Arka berjanji pada diri sendiri akan hal tersebut, dia tidak akan mengumbar kata-kata manis yang belum tentu pasti, tapi Arka ingin menunjukan pada Anggi, jika dirinya sudah mampu, dan sudah memilih untuk membuat gadis itu tetap berada di sisinya. Dan Arka yakin dirinya bisa!

***

Selamat menjalankan ibadah puasa teman-teman, semoga ibadahnya lancar.

Mr And Mrs Players Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang