Jika cinta adalah sejenis dopamin yang bisa membuat kecanduan, maka Arka tengah merasakannya saat ini. Dia sudah berusaha untuk bersabar dan menunggu jawaban dari Anggi mengenai lamarannya, tapi gadis itu seolah terus mengulur waktu. Bahkan Arka merasa nyaris gila saat dia melihat Anggi bersama pria yang pernah dilihatnya saat di cafe waktu itu.
Pria itu terlihat begitu posesif, seolah-olah Anggi adalah miliknya. Dan melihat hal tersebut hati Arka terasa seperti diremas, dia ingin muncul dan menarik Anggi untuk pulang bersamanya, tapi Arka tidak Ingin Anggi semakin menjauh; jika dirinya bersikap protektif di saat belum ada ikatan yang jelas di antara mereka.
Arka memilih untuk menenangkan diri, hatinya tergerus oleh rasa sakit, setiap kali dia melihat Anggi dekat dengan pria lain. Dan demi segala yang ada di dunia, rasa itu sungguh menyesakan, menanti keputusan Anggi, bagi Arka terasa seperti tengah menunggu detik-detik hukuman mati yang akan dilangsungkan padanya.
Arka hanya butuh sedikit saja celah untuk menyusup ke dalam hidup Anggi, tapi akhir-akhir ini gadis itu menolak setiap kali diajak bertemu dengannya. Ini sudah satu minggu berlalu, dan Arka merasa kepalanya nyaris meledak. Kepahitan akan letihnya menunggu sudah menggerogoti kesabarannya.
"Ka," suara seseorang menyadarkan Arka dari lamunannya, dia mendongak dan mendapati Arsya—sahabatnya—tengah berdiri di depan pintu, sementara tangannya membawa kantung yang berisi makanan. "Ini udah jam berapa? Loe gak bisa kayak gini terus, yang ada loe bisa sakit dan harus dirawat."
Arka menatap Arsya dengan tatapan lemah, dia tidak memiliki kekuatan untuk membela diri, karena pada kenyataannya, apa yang dikatakan pria itu adalah benar. Sejak Anggi terus menjaga jarak, Arka memilih menghabiskan waktu dengan terus berkerja di rumah sakit, dan malamnya dia lanjutnya untuk membantu pekerjaan di statius televisi milik Ayahnya.
Arka memilih untuk membuat badan dan pikirannya lelah karena pekerjaan, karena jika dia pulang ke rumah dan bersitirahat. Di sana dia pasti hanya akan berteman sepi dan rasa sedih, bayangan Anggi tidak pernah mau beranjak dari benaknya. Dan itu sangat menyakitkan bagi dirinya yang masih awam dengan perasaan seperti itu. Tapi Arka juga tidak yakin kalau orang yang sering galau akan kebal jika menghadapi perasaan yang sedang dialaminya.
"Gue gak tahu," Arka berkata pelan, dia mendongak sambil memijat pelipisnya. "Rasanya nyesek tiap kali Anggi nolak buat ketemu sama gue," dia melirik Arsya yang sudah duduk di sofa sambil bertumpang kaki. "Gimana kalau dia nolak gue? Apa harus gue pake cara licik yang Angga tuduhin buat dapetin Anggi?"
"Gila loe!" Arsya langsung duduk tegak saat mendengar penuturan Arka barusan, "Itu namanya dosa, kita bisa cari jalan lain supaya hati Anggi luluh. Loe bisa terus berusaha dan buktiin sama dia kalau loe udah berubah."
"Tapi gue gak tahu harus dengan cara apa buat ngeyakinin Anggi," Arka menundukan kepalanya ke meja, sementara tangannya meremas rambutnya dengan kasar, dia mulai merasa pesimis dengan keadaan, Anggi masih belum memberikan tanda akan menerima lamarannya. Anggap saja dirinya cengeng atau tidak memiliki banyak semangat.
Sisi hati Arka sudah lebih condong ke arah sakit hati dan menerima kekalahan, jika Anggi menolaknya untuk kali ini. Arka hanya takut dia akan menyerah, tanpa mau berusaha terlebih dulu, diam di tempat tanpa mau mengejar, dan tidak berusaha meraih Anggi untuk kembali ke dalam dekapannya.
"Loe jangan pesimis dulu," Arsya bangkit lalu menepuk bahu Arka sebagai dukungan, "Kita semua akan berusaha buat bantuin loe, kalau loe yakin sama perasaan yang loe miliki dan yang Anggi miliki. Gue rasa kalian bisa bersama kalau memang saling cinta."
"Tapi gimana kalau Anggi beranggapan kalau cinta tidak harus memiliki?" Arka mengangkat kepala dan menatap Arsya dengan tatapan letih.
"Gue gak tahu loe kenapa, tapi ini bukan Arka yang gue kenal," Arsya melipat tangan di depan dada, sementara cemooh terdengar jelas dalam suaranya. "Gue yakin banget kalau Anggi akan memilih bersama loe, setelah melihat apa yang udah loe lakuin buat dia," Arsya meyakinkan. "Cewek itu memiliki hati yang lembut, dia akan luluh, terlebih loe gak punya cewek atau sedang menjalin hubungan dengan cewek lain. Gak ada yang salah kalau kalian bersama-sama."
Arsya memberi jeda sebelum melanjutkan, dia memberi kesempatan pada Arka untuk mencerna semua perkataannya. "Cewek itu lebih banyak menggunakan ini," dia menunjuk tepat di ulu hatinya. "Dan sisanya baru menggunakan ini," lalu dia menunjuk kepalanya sambil tersenyum lemah.
"Meskipun perasaan sering kali lebih unggul daripada logika."
"Begitukah?" Arka bertanya dengan suara lemah, matanya menunjukan setitik harapan. Tapi jujur saja dia tidak berani berharap banyak, jika yang dikatakan Arsya adalah sepenuhnya benar, maka Arka akan tetap menyisakan ruang dalam hatinya untuk patah hati. Dia tidak sepenuhnya berharap, lalu kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Sakitnya pasti lebih mengerikan daripada apa yang sedang dia alami saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr And Mrs Players
RomantizmAnggi Hazeline Deviana harus merelakan pernikahan yang dia impikan menjadi kepingan yang tidak berbentuk, dia tidak memiliki harapan lagi setelah salah satu mantan kekasihnya melakukan tindakan asusilah terhadap dirinya. Tapi di saat dia bersikeras...