Bab [6]

2.1K 126 0
                                    

"Eh, ada Nak Arka," suara Ibu Anggi menyambut kedatangan Arka, wanita itu tersenyum ramah saat Arka mencium tangannya dengan hormat. "Tumben main ke sini? Angga kan lagi gak ada di rumah Tante," wanita itu merasa heran saat melihat Arka berkunjung seorang diri ke rumahnya.

"Ehm... itu," Arka menjadi salah tingkah, sekalipun dia sudah sering bertemu dengan orang tua Anggi, tapi kali rasanya berbeda, mengingat dirinya akan menyampaikan sesuatu yang penting. "Boleh Arka masuk, Tante? Arka mau ngobrol sama Om dan Tante," Arka melihat wanita yang telah melahirkan Anggi itu mengerutkan kening, "Penting," tandasnya.

"Oh iya, masuk-masuk," Tante Aini mempersilahkan Arka untuk masuk, "Tante panggilin Om dulu ya," dia berlalu dari ruangan tersebut, dan beberapa saat kemudian kembali bersama suaminya.

"Bi tolong ambilin minum, ada tamu," Aini meminta asisten rumah tangga untuk menyiapkan minuman, sementara itu dia dan suaminya sudah duduk di hadapan Arka.

"Kata Tante Aini kamu nyari Om sama Istri Om ya?" Om Bagas bertanya sambil menu njukan wajah ramah seperti biasa, hal tersebut membuat Arka bertanya-tanya, akankah senyuman itu tetap terukir untuknya, setelah tahu apa yang akan dia katakan?

"Iya, Om," Arka berusaha untuk menenangkan detak jantungnya yang menggila, sementara tangannya terus saling meremas satu sama lain.

"Ada apa, Ka? Tante liat kayaknya kamu gugup banget?" Aini cukup mengenal Arka dan teman-teman Angga yang lain, terlebih selama ini dokter muda itu tidak pernah bersikap seperti itu.

"Jadi begini Om, Tante," Arka bicara sambil berdo'a dalam hati, "Saya ke sini mau membicarakan sesuatu tentang Anggi," pungkasnya lalu menarik napas berat.
Entah apa yang salah dengan perkataannya, tapi yang jelas wajah orang tua Anggi saat ini sudah berubah pias. Mereka seperti baru saja mendengar kabar duka tentang kematian kerabat terdekat.

"Ya Tuhan, sudah berapa lama?" Om Bagas bertanya dengan suara berat, sementara raut wajahnya berubah keras. Orang bodoh pun pasti tahu kalau pria yang berusia setengah abad itu sedang menahan amarah.

Berapa lama? Pertanyaan tersebut seperti tamparan yang mengenai wajah Arka dengan telak. Dia bergerak gelisah dalam duduknya, sementara mulutnya terus menarik napas berat, Arka mendongak, dia menatap orang tua Anggi dengan perasaan bersalah. Selama ini dia tidak pernah bermaksud untuk membuat hati anak mereka terluka.

"Nak Arka," Aini bertanya dengan wajah memohon, sementara gurat kesedihan tampak jelas menghias wajahnya. "Tolong kasih tahu Tante, udah berapa lama?"
Arka yang sudah sejak lama tidak pernah bertemu dengan Ibunya, dia merasa tidak tega saat melihat Tante Aini bersedih seperti itu. "Tiga bulan, Tante," dia menjawab dengan suara lirih, lalu menundukan wajah karena merasa sangat bersalah. Maafin aku Om, Tante. Aku janji setelah ini pasti akan bahagiain Anggi.

Setelah beberapa saat tidak ada yang bersuara, Arka memaksakan diri untuk mendongak. Tapi yang dilihatnya jauh lebih menyedihkan dari sebelumnya, Om Bagas sedang memegangi dadanya sambil menarik napas panjang-panjang, sementara Tante Aini sedang berusaha menyembunyikan tangisannya.

Arka merutuki diri sendiri, dia merasa sangat brengsek karena sudah membuat orang tua Anggi sedih. Saat mereka sedang berusaha menenangkan diri, tiba-tiba saja Angga muncul dan menarik Arka untuk keluar dari ruang tersebut.

"Angga mau dibawa kemana Arkanya?" Aini masih sempat bertanya, tapi Angga meminta orang tuanya tetap berada di rumah, dan menghubungi Anggi agar gadis itu cepat pulang.

***

"Lepasin gue, Ga!" Arka menepis tangan Angga yang saat ini masih meremas bajunya dengan kasar. Pria yang berstatus kakak kandung Anggi itu menatapnya dengan tatapan murka.

"Gue kira loe sahabat gue, tapi kenapa loe bikin gue sakit hati dengan cara gak beradab kayak gini?!" Angga melayangkan pukulan di wajah Arka, dokter muda itu tidak sempat mengelak saat kepalan tangan Angga mengenai rahangnya. Arka menyeka cairan pekat yang dia rasakan mengalir dari sudut bibirnya, tepat sesuai perkiraanya. Dia melihat telapak tangannya yang berwarna kemerahan—terkena darahnya.

"Sial! Loe kenapa sih, Ga? Dateng-dateng main tarik, main hajar," Arka mengomel sambil berusaha meredam kekesalan hatinya. "Apa yang udah gue lakuin, sampe loe ngira kalau gue gak ngehargain persahabat kita? Pake acara bawa-bawa soal adab lagi," dengusnya.

"Loe masih berani nanya apa? Anggi itu Adik gue, Ka! Cuman gara-gara gue nyuruh loe jauhin dia, loe tega pake cara licik kayak gini?" Angga berkata sambil terangah-engah, dia baru saja akan kembali memukul Arka, tapi dokter muda itu sudah terlebih dulu menahan tangannya.

"Cukup sekali loe bikin bibir gue pecah!" Arka tetap menahan tangan Angga dan tidak berniat untuk melepaskannya, "Terus apa hak loe nuduh gue pake cara licik? Gue datang ke rumah orang tua loe secara baik-baik, mau ngelamar Anggi sama mereka secara langsung, terus bagian liciknya di mana?"

Angga memasang senyum sinis, "Jadi setelah apa yang loe lakuin sama Anggi, sekarang loe mau ngaku dan tanggung jawab soal Anak yang lagi dikandungnya, Hah?"

Tanpa sadar tangan Arka yang sejak tadi memegangi tangan Angga terlepas begitu saja, berita yang disampaikan Kakak Anggi itu terasa seperti sebilah belati yang merobek jantungnya. Anggi hamil? Anak siapa?

"Akting loe bagus banget! Gue tahu loe suka gonta ganti cewek, tapi kenapa loe sampe tega ngerusak masa depan Adik sahabat karib loe sendiri?!" Angga mendorong tubuh Arka, tapi pria itu seolah tidak memiliki kekuatan untuk melawan, dia tersungkur mundur dengan posisi duduk. Tapi sedetik kemudian Arka menatap Angga dengan tatapan menuntut.

"Bilang sama gue siapa pelakunya?! Bajingan mana yang udah bikin Anggi hamil?" Kemarahan dan rasa sakit hati membuat Arka kalap, "Gue sendiri yang bakalan ngehajar itu cowok sampe babak belur!" Angga menatap Arka dengan wajah ngeri, dia mulai bingung dengan situasi ini. Kenapa Arka terguncang saat mengetahui kehamilan Anggi? Dan sekarang pria itu terlihat seperti iblis yang siap membunuh siapa saja yang ditemuinya.

"Kenapa loe nanya sama gue? Apa kepala loe barusan mendadak rusak sampai lupa apa yang udah loe lakuin sama Anggi?"

"Apa yang gue lakuin?" Arka menatap Angga dengan tatapan nanar, "Gue cuma pengen tahu siapa bapak dari Anak yang lagi dikandung Anggi, tapi kenapa loe seolah berpikir kalau gue Bapaknya? Jangankan buat bikin Anak, nyium bibir Adik loe aja gue gak pernah, karena bagi gue Anggi terlalu berharga."

"Eh maksud loe apaan?" Angga sewot saat mendengar soal Arka dan bibir Anggi, tapi kemudian dia merenung dan berusaha mencerna perkataan sahabatnya itu. "Kalau loe bukan bapak itu Anak, terus kenapa tadi loe bilang tiga bulan sama orang tua gue? Kalau udah begitu berarti loe tahu dong siapa pelakunya?"

Tepat setelah Angga menyelesaikan perkataannya, Arka tertawa frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri dengan sangat keras. "Jadi loe kira gue ngehamilin Anggi dan usia kandungannya udah tiga bulan?" Arka menatap Angga yang sepertinya sedang bingung, Kakak Anggi itu hanya mengangguk tanpa berniat buka suara, "Denger ya, Ga. Gue datang ke rumah loe buat ngelamar Anggi sama orang tua loe secara langsung, dan soal tiga bulan...," Arka menggeleng karena tidak habis pikir kalau waktu tiga bulan bisa memberi efek dahsyat seperti saat ini.

"Itu adalah masa di mana gue menjauh dari hidup Adik loe, tapi semakin gue mencoba, rasanya semakin sakit," Arka merasa hatinya kembali sesak, tiga bulan itu terasa seperti hidup di tengah badai salju tanpa mengenakan pakaian. "Dan tibalah saat gue gak sanggup lagi buat nanggung semuanya, sekalipun loe maksa gue buat jauhin Anggi," Arka menggeleng sedih, "Udah cukup tiga bulan itu buat bikin hidup gue dan Anggi sama-sama menderita."

Untuk pertama kalinya sejak bersahabat dengan Arka, Angga melihat kesedihan yang mendalam, serta kebulatan tekad dari wajah pria yang selalu mendapat julukan playboy itu. Angga juga melihat amarah yang besar saat Arka bertanya siapa orang yang sudah membuat Anggi hamil, tapi Angga tidak bisa memberikan tanggapan apapun, hatinya seolah terbelah menjadi dua, satu sisi menyetujui hubungan Arka dan Anggi, sementara sisi yang lain merasa ketakutan setengah mati.

Dia takut kalau Arka akan menyakiti Anggi, kebahagiaan Adiknya itu sangat penting bagi hidup Angga dan keluarganya, dan sekarang Angga sendiri tidak tahu harus menjawab apa, jika ke dua orang tuanya meminta pendapat dan jawaban darinya atas lamaran dokter muda itu.

***

Wkwk makasih ya, yang udah pada nyasar dan baca ke sini. Salam kenal buat yang belum kenal

Mr And Mrs Players Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang