"Kenapa Kakak meminta bertemu?" Anggi yang baru datang langsung bertanya pada Arka, pria itu menumpukan tangan di atas meja, sementara tatapannya tidak pernah lepas dari wajah gadis yang sudah membuat dunianya jungkir balik itu.
Untuk beberapa saat Arka hanya menatap Anggi dengan tatapan intens, lalu dia mencondongkan tubuh ke depan agar wajahnya berada lebih dekat dengan gadis itu "Kita mulai semuanya dari awal lagi, Ya?" Perkataan Arka sontak membuat Anggi memutar kepala, dia mengalihkan pandangan dari jendela untuk menatap wajah Dokter muda itu.
"Apa maksudnya itu?" Anggi bertanya datar, meskipun reaksinya tersebut berbanding terbalik dengan jantungnya berdebar-debar. Anggi tidak ingin terlena hanya karena mendengar sebuah kata, dia ingin lebih memastikan apa makna dari ucapan Arka. Dia tidak ingin kembali merasa sakit untuk yang ke sekian kalinya. Tidak. Tidak setelah dia merasa seperti berjalan di atas bara selama tiga bulan terakhir."Kita mulai semuanya dari awal," Arka meraih tangan Anggi dan menggenggamnya dengan penuh kelembutan. "Kita minta ijin sama keluarga kamu untuk menjalin hubungan, dan aku ingin kamu tetap di sisiku saat Kakakmu menolak hubungan kita."
Anggi menatap Arka tanpa berkedip, dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria itu sebelumnya menjauh tanpa alasan, menghindar dan sengaja menorehkan luka, tapi apa ini? Dia tiba-tiba saja datang, memintanya untuk bertahan saat Angga tidak merestui hubungan mereka.
"Apa Kakak sadar dengan apa yang Kakak ucapkan barusan?" Anggi tidak bisa menyembunyikan kesinisan dalam suaranya, "Sekarang bisa aja aku nerima usulan Kakak barusan," Anggi membuang harga dirinya saat dia akan melanjutkan kata berikutnya.
"Karena sekuat apapun aku berusaha untuk melupakan Kak Arka, tapi rasa sakit hati tetap gak bisa menyentuh perasaan yang tumbuh sejak aku masih kelas lima SD."
Pernyataan Anggi membuat Arka membatu, fakta yang baru saja gadis itu utarakan, terasa membuat hati Arka menjadi sesak, selama itukah? Tapi belum sempat Arka berpikir semakin jauh, Anggi sudah kembali berkata dengan nada sinis dan rasa takut di dalamnya.
"Gimana kalau setelah aku terima, lalu tiba-tiba Kakak pergi, menjauh dan sengaja menghindar tanpa alasan yang jelas? Hati aku bukan pom bensin, yang bisa Kakak datangi hanya di saat membutuhkan bahan bakar saja," Anggi menggeleng dengan wajah sedih, sekuat tenaga dia berusaha untuk tetap terlihat tegar. Dia tidak ingin menangis di hadapan pria yang sudah menyakitinya itu. "Silahkan cari gadis lain, jika hanya untuk bermain-main, karena sampai kapanpun aku gak mau kalau hanya didatangi saat Kakak kehabisan bahan bakar saja.""Anggi...," Arka merasa lidahnya berubah kelu, apa yang harus dia katakan? Sepertinya pembelaan diri saja tidak cukup untuk menghapus rasa sedih yang sudah dia buat untuk Anggi. Sementara itu Anggi menunggu dengan sabar apa yang akan Arka katakan, tapi pria tidak kunjung juga berucap, dan saat mereka terjebak dalam suasana canggung, serta pemikiran masing-masing yang terus menggantung tak kasat mata. Seseorang menyapa Anggi sambil melingkarkan tangan di pundak gadis itu.
"Sayang, kamu ngapain di sini?" Pria yang baru datang itu melirik ke arah Arka, sementara tatapan Arka terfokus pada tangan yang saat ini tersampir di pundak Anggi dengan santai. Ada perasaan marah yang menelisik hatinya, sebelumnya Arka tidak pernah merasa seperti itu—saat teman wanitanya dekat pria lain—tapi dengan Anggi... Dia merasa marah dan tidak rela.
"Tolong jauhkan tangan kamu dari tubuhnya!" Arka berkata pelan, namun sarat akan ketegasan saat dia balas menatap tatapan pria yang saat ini masih merangkul Anggi.
"Siapa dia?" Pria itu bertanya pada Anggi dengan raut wajah mengeras, "Bukannya kemarin kamu bilang gak mau punya cowok dulu?" Rasa heran yang bercampur ingin tahu tergambar jelas dalam wajah pria yang Arka sendiri tidak tahu siapa namanya. "Apa dia calon korban kamu yang baru?"
"Cukup!" Arka marah saat pria asing itu menganggap dirinya calon korban Anggi. Calon korban? Dia mendengus sinis saat mengulang kata tersebut dalam hati.
"Van, tolong tinggalin gue," Anggi mendorong Revan untuk menjauh dari tubuhnya, "Dia bukan siapa-siapa, jadi loe gak perlu khawatir ditolak cuman karena gue udah ada cowok lain."
Anggi menyadari perubahan sikap Arka, pria itu saat ini sedang menatapnya dengan tajam. Tapi Anggi tidak perduli, toh apa yang baru saja dia katakan memang kenyataan. Dia dan Arka bukan sepasang kekasih, pria itu hanya seseorang yang sudah sejak lama mengisi relung hatinya. Seseorang yang bisa Anggi lihat, namun tidak pernah sekalipun dapat dia miliki.
"Oh, oke," pria bernama Revan itu melirik ke arah Arka dengan tatapan sinis, "Gue pegang kata-kata loe, Gi. Kalau sampai loe bohong dan sengaja main-main sama perasaan gue selama tiga bulan kemarin," Revan menyunggingnya senyum misterius, "Gue bakal bikin perhitungan sama loe!"
Lalu dia berbalik dan menjauh dari tempat Anggi dan Arka berada, Anggi hanya dapat mengeluarkan napas pasrah. Dia tahu kalau dirinya salah, dia dekat dengan Revan dan beberapa pria lain secara bersamaan, tapi semua itu dia lakukan hanya demi melampiaskan sakit hatinya terhadap Arka.
"Siapa dia?" Arka bertanya dengan mata memincing."Pertanyaan macam apa itu?" Anggi tetap mempertahankan sikap dinginnya.
"Aku rasa kamu tahu maksudku apa, Gi!" Arka mulai kehilangan kesabarannya, sikap Anggi yang tetap menjaga jarak membuatnya jengah.
"Dia hanya seorang teman," Anggi menjawab acuh sambil mengedikan bahu, berpura-pura tidak perduli pada perangai Arka yang berubah keruh."Liat aku, Gi," Arka berusaha meminta Anggi untuk menatapnya, tapi gadis itu malah mengalihkan pandangan ke arah luar. "Anggi Hazeline Deviana Bagaskara liat aku!" Ketegasan dalam suara Arka membuat Anggi menghembuskan napas lelah, lalu dia memutar kepala untuk menatap tepat ke wajah tampan yang sering kali membuat hatinya patah. Mungkin Arka tidak mengetahui hal itu, tapi sejak Anggi tahu bahwa perasaannya untuk teman Kakaknya itu begitu besar, diam-diam dia selalu mencari tahu dengan siapa saja Arka berhubungan.
"Kita mulai semuanya dari awal...," Arka menggantungkan ucapannya, "Kalau kamu menolak, tolong bilang kalau kamu gak cinta sama aku."
Kata-kata Arka membuat Anggi terhenyak, dia melempar pandangan ke arah samping, apa yang baru saja dia bilang? Dengan seenak jidatnya dia meminta memulai dari awal, dan menyuruhnya untuk mengatakan hal mengerikan seperti itu jika dirinya menolak?
"Aku memilih opsi ke tiga," Anggi menjawab sambil menatap meja—seolah di sana ada hal yang sangat menarik daripada objek yang ada di hadapannya. "Aku menolak ke duanya," tepat setelah mengucapkan kata tersebut, Anggi bangkit dan meninggalkan Arka yang masih menatapnya dengan pandangan terkejut.
Arka tidak menyangka jika Anggi akan menolaknya seperti barusan, dia cepat-cepat mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan meletakannya di atas meja. Lantas Arka berlari ke luar untuk menyusul Anggi, tapi sesampainya dia di parkiran, matanya disuguhnya Anggi yang sedang berhadapan dengan pria yang tadi menyapa mereka saat di dalam cafe.
Sekali lihat saja Arka tahu kalau Anggi terpaksa pergi dengan pria itu, dia sudah akan mengejar, namun Anggi sudah masuk ke dalam mobil, dan pria bernama Reval itu menyusul, lalu membawa mobil tersebut menjauh.
"Sial!" Arka mengumpat, melihat Anggi pergi dengan pria lain, hal tersebut membuat hatinya semakin merasa yakin tentang apa yang dia inginkan. Dia sudah merasa mantap dengan keputusannya, Anggi terlalu berharga untuk dilepaskan dan dibiarkan dekat dengan pria lain.
"Kamu harus jadi milik aku, Gi."***
Makasih buat yang udah baca and kasih vote tetep semangat ya puasanya teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr And Mrs Players
RomansAnggi Hazeline Deviana harus merelakan pernikahan yang dia impikan menjadi kepingan yang tidak berbentuk, dia tidak memiliki harapan lagi setelah salah satu mantan kekasihnya melakukan tindakan asusilah terhadap dirinya. Tapi di saat dia bersikeras...